Kupi Beungoh
Melesat, Meleset (Konklusi Diskusi Pendidikan Aceh)
Yang saya tangkap, sekarang, petinggi Disdik tidak siap menerima kritik. Seperti lupa, bahwa pekerjaan yang mereka lakukan adalah mendidik anak-anak m
Oleh Syarbaini Oesman*)
Kegaduhan ini bersumber dari multitafsir posisi Aceh pada seleksi SBMPTN tahun 2022. Diskusi jadi melebar kemana-mana.
Sedikit mereview. Posisi Aceh pada seleksi SBMPTN tahun 2022 adalah peringkat 8. Ada pihak yang kemudian membuat interpretasi sendiri, memunculkan kesan bahwa pendidikan Aceh telah mengalami kemajuan pesat.
Aceh diklaim menduduki ranking 1 dalam hal persentase kelulusan SBMPN 2022.
Di tabel keterangan yang dirilis LTMPT, persentse kelulusan Aceh adalah sebesar 37,01 persen. Memang lebih tinggi dari provinsi lain. Tapi jumlah kelulusan Aceh adalah ranking 8, bukan juara 1.
Meski angka persentase disebut lebih tinggi dari provinsi lain, tapi itu tidak mengubah apa pun.
Selain karena klaim sepihak, data lain yang dirilis LTMPT secara tegas membantah semua.
Bahwa, berdasarkan nilai rata-rata kelulusan pada SBMPTN tahun 2022 siswa dari daerah ini tidak berhasil menembus 10 besar nasional, baik untuk kelompok Saintek maupun Soshum.
Di situ punca polemik ini.
Barisan Dinas Pendidikan Aceh, di bawah komando Alhudri sebagai Kadis, dengan segala resistensi pasti keukeuh pada prinsipnya: Aceh ranking 1.
Sementara masyarakat luas tetap dengan sikap kritisnya, bahwa kualitas pendidikan Aceh masih payah.
Salah satu pendapat dikemukakan Dr Samsuardi yang menulis artikel berjudul “15 Tahun Pendidikan Aceh Terpuruk” di harian ini.
Hari berikutnya, muncul argumentasi pembanding berjudul “Guru sudah Berbuat yang Terbaik” yang ditulis Ratnalia Indriasari, direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif.
• 15 Tahun Pendidikan Aceh Terpuruk
Artikelnya sangat komprehensif. Si penulis, terlihat, menguasai dengan sangat detail data anggaran pendidikan. Seakan-akan dia menulis dari “dapur” Disdik Aceh.
Di sebuah media online dengan segmen pendidikan, muncul perlawanan bernada sarkasme terhadap tulisan Dr Samsuardi. Judulnya “Kesesatan Logika Berpikir Seorang Doktor”.
Diskusi telah bias, melenceng dari sumbunya.
Menurut saya, Dr Samsuardi terlalu bersemangat dengan menyebut rentang waktu 15 tahun. Selain terkesan bombastis, artikel itu tentu saja saja dengan sendirinya memancing permasalahan baru.
Makanya, dalam hal ini, saya sependapat Syariful Azhar dan Abdul Hamid (dua pejabat Disdik Aceh) dalam tulisan mereka di media online.
Bahwa, pengelola pendidikan tidak ansih Disdik Aceh yang notabene hanya mengurus SMA, SMK, dan SLB. Juga ada persoalan input, output, dan outcame seperti kata dua birokrat ini.
Tapi, mereka juga tidak seluruhnya benar. Bahwa pengelolaan pendidikan jenjang TK, SD, dan SMP berada di bawah manajemen administrasi kabupaten/kota, itu betul.
Tapi, jangan lupa. Sistem yang dijadikan pedoman penyelenggaraan pendidikan tetap mengacu pada sumber yang sama, yaitu kurikulum nasional. Itu gagasan untuk membantah bahwa permasalahan pendidikan tidak bisa dilihat secara parsial.
Bahwa gedung sekolah, urusan kenaikan pangkat guru, pelatihan, dan urusan administrasi penyelenggaraan SD dan SMP itu merupakan kewenangan kabupaten/kota, itu benar sekali.
Tapi, perencanaan pendidikan dan seluruh sistemnya tetap berada dalam sebuah skema besar yang disebut sistem pendidikan nasional. Kesanalah semua mengacu.
Jadi, tidak bisa dengan seenaknya menarik garis demarkasi dengan mempermasalahkan input pendidikan di jenjang SMA/SMK yang dihasilkan oleh proses pada jenjang sebelumnya. Ini juga sesat pikir.
Pernyataan yang berpotensi membuat tersinggung pihak lain.
Jangan lupa juga. Setiap tahun Disdik Aceh membuat rapat koordinasi (rakor) dengan kabupaten/kota. Tentu saja rakor itu bukan acara ngumpul-ngumpul untuk merokok atau sekedar ngaso di hotel.
Mestinya, forum itu sudah membahas seluruh kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan, termasuk dugaan redahnya kualitas input tadi, pasti sudah dibahas di dalam rakor.
Dulu, sekitar tahun 2012 hingga 2015, seingat saya, Disdik Aceh juga memfasilitasi penyelenggaraan KKG (forum untuk guru SD membahas permasalahan pembelajaran) di seluruh Aceh.
Ini membuktikan, bahwa pernah ada juga “tangan” Disdik Aceh dalam mengurus “input” tadi. Tidak tahu sekarang, apakah dikotomi yang ada juga telah menghapus kerja baik tersebut.
Yang saya tangkap, sekarang, petinggi Disdik tidak siap menerima kritik. Seperti lupa, bahwa pekerjaan yang mereka lakukan adalah mendidik anak-anak masyarakat.
Masyarakat tentu saja berhak mengetahui, apakah putra-putri mereka sudah disiapkan secara benar menghadapi tantangan kehidupan kelak? Kenapa berhak?
Karena rakyat sudah menggaji mereka dengan membayar pajak. Kenapa harus dikritik? Karena Disdik itu bukan perusahaan pribadi.
Pelaku pendidikan yang ada di dalam gedung itu juga pasti bukan orang-orang yang mahasempurna.
Maka, sangat wajar masyarakat ingin mengetahui apa yang sedang dilakukan di dalam gedung mewah itu. Makanya tidak perlu sikap resisten, karena para pejabat di instansi itu bukan sedang menjaga harta warisan.
***
Semua kita menginginkan yang terbaik. Termasuk soal kualitas pendidian Aceh.
Semua kita juga senang ketika, pertama, mendengar kabar baik Aceh ranking 1.
Kita sangat bahagia, prestasi pendidikan kita dikabarkan telah melesat jauh.
Tapi, yaaa … kita juga kurang sepakat dengan sesuatu yang berlebihan.
Misalnya, ketika ada pihak-pihak tertentu yang merayakan prestasi ranking 1 -- yang ternyata tidak benar itu -- dengan semangat hura-hura.
Misalnya, ada informasi instruksi pasang papan punga dan iklan di media massa.
Hal itu tentu saja berlebihan. Apa lagi karena prestasi yang digambarkan “melesat” tadi ternyata meleset.
Makanya sangat tidak pantas, uang rakyat yang ada di SKPA digunakan untuk membiayai pemasangan papan bunga dan iklan di media.
Mari kita cooling down. Mari berikir untuk membangun pendidikan dengan semangat memperbaiki.
Tidak perlu ada resistensi, apalagi -- semoga ini tidak benar -- harus membuat berbagai “teori” pembenaran sendiri.
Karena kita sedang menyiapkan generasi masa depan Aceh sesuai visi: pendidikan Islami yang berdaya saing dan akhlak mulia.(*)
*) PENULIS adalah pemerhati pendidikan berdomisili di Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI
• FBI Gerebek Rumah Donald Trump, Dituduh Hilangkan Dokumen Rahasia
• Ismail Rasyid Batal Akuisisi Saham Persiraja, Tim Transisi Minta Manajemen Lama Segera Lakukan RUPS