17 Tahun MoU Helsinki
17 Tahun MoU Helsinki, Wartawan Serambi Yarmen Dinamika Sebut Pusat Masih Berhutang Ini untuk Aceh
Mengenang 17 Tahun MoU Helsinki, apa saja butir-butir yang belum tertunai hingga saat ini?
Penulis: Sara Masroni | Editor: Mursal Ismail
Mengenang 17 Tahun MoU Helsinki, apa saja butir-butir yang belum tertunai hingga saat ini?
SERAMBINEWS.COM - Setiap 15 Agustus menjadi tanggal penting dan bersejarah bagi masyarakat Aceh.
Karena pada momen itu ditandatanganinya nota kesepahaman damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tahun 2022 ini tepat 17 tahun nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM.
Peringatan 17 tahun MoU Helsinki dipusatkan di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh pada Senin, (15/8/2022).
Seperti apa sejarah hingga terjadinya MoU Helsinki, dan butir-butir mana saja yang belum tertunaikan dari nota kesepahaman itu hingga saat ini?

Sejarah MoU Helsinki
MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 lalu merupakan akhir dari konflik panjang antara Pemerintah RI dan GAM.
Konflik tersebut diketahui telah menyebabkan banyak nyawa melayang, sejumlah anak menjadi yatim, ayah dan ibu kehilangan buah hatinya dan masih banyak lagi.
Konflik antara Pemerintah RI dan GAM dimulai sejak 1976 dan berakhir pada 2005 silam.
Selama 29 tahun masyarakat bergumul dalam perang.
Suara letusan senjata, ledakan di sana sini dan mayat bergelimpangan di pinggir jalan menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat Aceh kala itu.
Penyebab terjadinya konflik karena GAM menginginkan Aceh merdeka atau lepas dari Indonesia.
Gerakan tersebut dipimpin oleh Dr Tgk Muhammad Hasan Di Tiro, sang Deklarator GAM sekaligus tokoh kunci perdamaian Aceh.
Hasan Tiro mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap pemerintah RI di kawasan Kabupaten Pidie pada 4 Desember 1976.
Ihwal kenapa Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan terhadap pemerintah RI, dapat dibaca dalam tulisan Wartawan Serambi Indonesia Yarmen Dinamika berjudul "In Memoriam Berakhirnya Sebuah Catatan Harian" yang pernah diterbitkan Serambi edisi 4 Juni 2010.
Pemerintah RI memberi perlawanan keras hingga berujung pada operasi militer bernama Daerah Operasi Militer (DOM) pada akhir 1980-an.
DOM di Aceh sebagaimana catatan sejarah telah banyak menyebabkan nyawa melayang, baik itu dari kubu militer (TNI), GAM dan masyarakat sipil yang tak bersalah.
Baca juga: Refleksi 17 Tahun Damai Aceh, Mahasiswa Tuntut Realisasi Butir MoU Helsinki
Celah Menuju Damai Tersibak
Setelah Joint of Understanding (JoU) atau Jeda Kemanusiaan pada tahun 2000 gagal, berganti dengan darurat militer dan darurat sipil.
Allah menggenapkan darurat Aceh dengan darurat tsunami.
Hasan Tiro yang saat itu menonton tayangan televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan air mata.
Aceh yang ingin dia rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke títik nadir peradaban.
Perlu kondisi damai untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan.
Kemudian, Hasan Tiro dan elite GAM menyahuti tawaran RI untuk berdamai di Helsinki ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman pada 5 Agustus 2005.
Baca juga: Bahas MoU Helsinki, Mahasiswa Pascasarjana UIN Lakukan Pertemuan dengan Wali Nanggroe
Setelah 17 Tahun MoU Helsinki, Butir Apa Saja yang Belum Tertunai?
Hampir dua dekade MoU Helsinki, beberapa butir dari nota kesepahaman itu belum tertunaikan.
Berdasarkan analisis Wartawan Senior Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika, dari 71 butir MoU Helsinki, ada delapan yang belum tertunaikan.
Artinya sekitar 88,73 persen butir MoU Helsinki sudah jalan dan sisanya 11,27 persen belum dilaksanakan di Aceh.
"Kalau diumpamakan nilai di kampus, itu 88,73 persen sudah dapat A," kata Yarmen di ruang redaksi media ini, Minggu (14/8/2022)
"Tapi ingat, sisanya yang delapan butir lagi adalah utang yang harus ditunaikan oleh pusat," tambah Wartawan Senior Serambi Indonesia itu.
Ia merincikan, delapan butir MoU Helsinki yang belum tertunaikan sebagai berikut:
• Komisi Bersama Penyelesaian Klaim dan Pengadilan HAM untuk Aceh
Korban konflik yang mengalami kerugian harta benda, semestinya bisa menuntut kerugian melalui Komisi Bersama Penyelesaian Klaim.
Meski demikian, hingga kini belum juga dibentuk komisi tersebut, meski sudah menjadi amanat MoU Helsinki hampir dua dekade silam.
"Kerugian-kerugian besar katakanlah di atas Rp 500 juta, itu harus dibentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim. Itu belum ada," kata Yarmen.
Sementara mengenai Pengadilan HAM untuk Aceh, ada perdebatan antara pusat dan Aceh terkait pembentukannya.
Hal ini mengingat sudah adanya Pengadilan HAM di Medan mencakup area Sumatera bagian Utara (Sumbagut) seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau.
Meski demikian, terkait pembentukan Pengadilan HAM untuk Aceh ini sebenarnya sudah diatur dalam MoU Helsinki dan menjadi utang pemerintah pusat.
• Nama Resmi Aceh dan Gelar Pejabat Senior
Belum ditetapkan nama resmi Aceh seperti menggunakan ejaan Acheh, Atjeh, Asyi atau Aceh seperti yang sekarang.
Padahal itu tertuang dalam butir MoU Helsinki untuk diatur dan ditetapkan satu versi saja sebagai nama resmi.
"Dan itu belum ditetapkan nama resmi Aceh," kata Yarmen.
Kemudian gelar pejabat senior setingkat gubernur, bupati atau wali kota juga belum ditetapkan di Aceh.
Sebab pada masa konflik, para pejabat di Aceh tidak mau menyebut dirinya sebagai gubernur, melainkan panglima sagoe, panglima sagoe cut atau panglima sagoe rayeuk.
Masih menjadi pertanyaan apakah nama itu masih dipakai, atau menggunakan gelar sultan atau gubernur seperti yang sekarang.
"Gubernur di Jogja namanya Sultan. Aceh di masa konflik menggunakan gelar panglima sagoe. Apakah kita pakai yang seperti itu, atau gubernur. Ini belum ada ketetapan," ujar Yarmen.
"Gelar pejabat senior dipilih dan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilu tahun 2007 lalu. Tapi sampai sekarang belum ada gelar itu. Padahal perintah MoU adalah utang" tambahnya.
• Bendera dan Lambang
Bendera dan Lambang sudah disepakati, tapi hingga saat ini belum disetujui oleh pusat.
Padahal dalam MoU Helsinki, Aceh berhak menentukan tiga hal yakni lambang, bendera dan himne.
"Alhamdulillah himne sudah disetujui," katanya.
• Peradilan Independen
Selama ini, apapun perkaranya akan berujung ke Mahkamah Agung (MA).
Namun harus menunggu antrean putusan hingga 2-3 tahun lamanya karena MA mengurusi hingga 37 provinsi se-Indonesia sekaligus.
Pihak GAM menghendaki suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
"Sehingga putusan akhirnya tidak mesti harus ke MA Jakarta, nah semacam membuat kantor cabangnya di Aceh," jelas Yarmen.
"Setara MA tetapi mengurus khusus untuk Aceh," tambahnya.
Baca juga: Pon Yaya Mulai Sisir Realisasi MoU Helsinki
• Kejahatan Sipil Aparat Militer Diadili di Aceh
Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh, berdasarkan MoU Helsinki, semestinya diadili pada pengadilan sipil di Aceh.
"Pengadilan sipil, itulah Pengadilan Negeri (PN). Tapi mana ada sekarang aparat militer yang diadili di PN, semuanya masih harus ke Pengadilan Militer," ungkap Yarmen.
• Akses Langsung ke Negara Asing via Laut dan Udara
Salah satu amanat MoU Helsinki menyebutkan, ada butir di mana Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa ada hambatan ke negara-negara asing melalui jalur laut dan udara.
Namun kenyataannya, hingga kini pesawat dari Aceh masih belum dibolehkan ke Malaysia secara langsung melalui Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar.
Melainkan harus ke Medan terlebih dahulu, baru bisa ke negara asing.
• Pekerjaan dan Jaminan Sosial
Belum semua eks kombatan, mantan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) GAM, serta masyarakat sipil korban konflik mendapatkan haknya.
Hak tersebut sebagaimana diamanatkan MoU Helsinki seperti pekerjaan, jaminan sosial, dan tanah pertanian yang pantas atau memadai apabila mereka tidak mampu bekerja.
Terkait tanah atau lahan yang dibagikan, sedikitnya harus ada 320.000 hektare.
• Tentukan Bunga Bank Sendiri
Aceh berhak menentukan suku bunga bank sendiri yang berbeda dengan ketetapan Bank Indonesia (BI).
"Orang GAM maunya Aceh boleh menetapkan suku bunga sendiri yang berbeda dengan ketetapan BI," kata Yarmen.
"Namun sampai saat ini belum ada. Itulah antara lain MoU Helsinki yang belum terwujud," tutupnya.
Jadi catatan ke depan, di momen peringatan ke 17 tahun MoU Helsinki, tinggal delapan butir lagi utang pusat terhadap Aceh berdasarkan nota kesepahaman yang ditandatangani 2005 silam. Harus ditagih terus!
(Serambinews.com/Sara Masroni)