Opini
MBKM dan Kisah Abunawas
Program ini diluncurkan tahun 2020 lalu, seiring dengan peluncuran Program Merdeka Belajar untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah
OLEH A WAHAB ABDI, Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala
SALAH satu kebijakan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim adalah Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM).
Program ini diluncurkan tahun 2020 lalu, seiring dengan peluncuran Program Merdeka Belajar untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Kebijakan MBKM ini dimaksudkan untuk menyiapkan lulusan pendidikan tinggi yang tangguh dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu akseleratif dan atraktif.
Terutama sekali dalam menyongsong datangnya revolusi industri four point zero (4.0).
Merujuk kepada Permendikbud Nomor 34567 Tahun 2020 sebagai Landasan Hukum Kampus Merdeka, ada empat pokok kebijakan Kampus Merdeka.
Keempat pokok kebijakan Kampus Merdeka tersebut adalah terkait dengan (1) Pembukaan Program Studi Baru; (2) Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi; (3) Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum; dan (4) Hak Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi.
Dari belajar ke kegiatan
Dari empat kebijakan tersebut, kebijakan keempat merupakan program yang sangat terkait dengan kegiatan belajar mahasiswa.
Baca juga: Program MBKM USK Unggul Diluncurkan
Baca juga: Optimalisasi MBKM, Prodi Pendidikan Matematika FKIP Unsam Langsa Kerja Sama dengan Unimed dan UISU
Menurut konsep Kampus Merdeka poin keempat ini, mahasiswa diberikan hak untuk mengambil mata kuliah di luar program studi dan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS).
Bagi perguruan tinggi, program ini semacam pemberian hak otonom untuk mengembangkan kopetensi mahasiswa sesuai kebutuhan.
Program yang ditawarkan mencakup kampus mengajar, pertukaran pelajar, riset, proyek kemanusian, penelitian, kegiatan wirausaha, studi independen hingga magang di suatu perusahaan besar.
Namun, agar program ini terlaksana dengan baik, maka perguruan tinggi, dunia industri, dan pemerintah harus bersinergi.
Karena dengan cara demikian akan mampu membangun pendidikan yang memiliki muatan sesuai dengan kebutuhan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat.
Tentu saja ini merupakan suatu terobosan dalam rangka mempersiapkan SDM ke depan yang siap beradaptasi dengan dinamika zaman atau link and match.
Bagi mahasiswa, program ini dimaksudkan untuk mereduksi anggapan bahwa selama ini mahasiswa tidak memiliki ruang fleksibilitas untuk mengambil kelas di luar program studi (prodi) atau kampus.
Kalaupun ada kegiatan di luar kampus, jumlah SKS dan kegiatannya amat kecil.
Mahasiswa lebih banyak mengorbankan waktu untuk belajar di kampus.
Melalui kebijakan MBKM ini, perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela mengambil sejumlah SKS di luar kampus.
Namun bagi mahasiswa, pengambilan SKS di luar kampus bersifat sukarela.
Boleh mengambil atau boleh tidak.
Jumlah SKS yang dibolehkan untuk diambil di luar prodi sendiri adalah 40 SKS atau setara dengan 2 semester.
Selain itu, mahasiswa juga dibolehkan mengambil 20 SKS atau setara dengan satu semester di prodi lain.
Mahasiswa dapat mengambil antarprodi dalam satu fakultas dan satu perguruan tinggi, atau antarprodi di luar perguruan tinggi.
Program ini kemudian dikenal sebutan permata andi, permata sari, dan permata sakti.
Jika kedua program ini diikuti oleh mahasiswa, maka jumlah SKS yang wajib diambil di prodi asal adalah 5 semester dari 8 semester yang harus diselesaikan.
Program ini tak berlaku untuk prodi kesehatan.
Terkait dengan program MBKM di luar prodi sebanyak 40 SKS, ada penekanan khusus.
Definisi SKS yang selama ini diukur berdasarkan jam belajar tatap muka di dalam kelas dan terstruktur di luar, ditransformasikan ke jam kegiatan di luar prodi yang memiliki ekuivalensi dengan SKS di dalam kurikulum prodi.
Artinya bahwa beban SKS yang harus dituntaskan oleh mahasiswa adalah berdasarkan kegiatan di lapangan.
Produk dari kegiatan dimaksud adalah laporan yang juga disertai dengan assesment pihak ketiga.
Terjadi miskonsepsi
Lalu bagaimana implementasi atau realita pada tataran praksisnya? Ini hal penting menjadi kajian, khususnya kajian akademis sehingga diperoleh feed back bagi program ini.
Sebab, setiap program butuh monev dan evaluasi berkelanjutan sehingga ditemukan plus minusnya suatu program.
Berdasarkan pengalaman yang terekam di sejumlah perguruan tinggi, dapat dikatakan program ini disambut euforia.
Sejumlah perguruan tinggi berlombalomba menyahuti program ini penuh antusias.
Antusiasme sambutan terhadap program ini dapat dimaklumi karena adanya korelasi antara MBKM dengan indikator kinerja utama (IKU) suatu perguruan tinggi saat mengajukan akreditasi institusi.
Sementara itu, bagi mahasiswa daya tarik terhadap program ini paling tidak ada dua faktor.
Pertama, mereka yang ikut MBKM kemungkinan akan mendapat insentif dari Kemendikbudristek atau dari perguruan tinggi.
Insentif tersebut boleh jadi dalam bentuk pemberian uang tunai atau pembebasan biaya pendidikan.
Kedua, program ini membuka peluang bagi mahasiswa untuk mempercepat waktu kuliah.
Sejumlah mata kuliah (MK) yang ada dalam kurikulum prodi bisa dikonversikan dengan kegiatan MBKM, terutama MK yang ada kaitan dengan rekognisi.
Lalu bagaimana realita pada tataran praktiknya? Ternyata tak jauh berbeda dengan program terobosan lainnya.
Pada tataran pelaksanaan di lapangan, ditemukan sejumlah persoalan yang menjadi entropi dalam sistem manajemen perguruan tinggi.
Persoalan tersebut umumnya disebabkan oleh miskonsepsi, dan sebagian lainnya bersifat teknis.
Sebagian besar stakeholder di perguruan tinggi masih belum memahami betul konsep MBKM ini.
Misalnya persoalan konversi antara kegiatan di luar kampus dengan SKS MK dalam kurikulum, beban SKS antara kurikulum suatu prodi dengan prodi lainnya, produk yang harus dihasilkan oleh mahasiswa, dan sebagainya.
Pada tataran teknis juga ditemukan aneka persoalan.
Misalnya di suatu prodi lazim dipraktikkan bahwa adakalanya suatu MK itu bersyarat.
Artinya mahasiswa diperbolehkan mengambil suatu MK tertentu jika sudah lulus MK prasyarat pada semester sebelumnya.
Hal ini dibuat demikian karena materi antara suatu MK dengan MK lainnya berkaitan dan berkelanjutan.
Namun saat mahasiswa mengikuti MBKM, masalah tersebut luput dari pertimbangan, atau bahkan harus dilewati karena terpaksa.
Mahasiswa hanya terpaku bagaimana memenuhi 20 SKS yang harus dipenuhi untuk ikut MBKM, sehingga ketetuan yang ada tak dapat dipenuhi.
Masalah ini terjadi disebabkan oleh berbagai faktor.
Di antaranya adalah konsep program MBKM yang belum begitu matang.
Seharusnya pada tataran gagasan atau ide harus digodok lebih intensif sehingga konsepnya jelas.
Setelah itu baru dibuat regulasinya sebagai acuan pelaksanaan program MBKM ini.
Selain tidak matang, program MBKM juga minim sosialisasi dan informasi, hanya terkesan euforia.
Pimpinan perguruan tinggi, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa kurang memperoleh informasi yang memadai tentang MBKM.
Akibatnya adalah program ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan program lainnya.
Mungkin hanya akan bertahan lima tahunan.
Kelak akan senyap bersamaan dengan saat pergantian materi.
Sepertinya pelaksanaan MBKM ini mirip dengan alur cerita dalam dongeng Abunawas (orang Aceh menyebutnya: Anunawah).
Tatkala dia hendak dibunuh dan dibuang di tengah laut, Abunawas mengajarkan doa kepada para algojo yang sudah berada dalam perahu dengan syarat yang duduk di depan tak boleh menoleh ke belakang.
“Abunawah ka digrop, ka digrop ka keuh”.
Baca juga: Percepat Implementasi Program MBKM, Umuslim Kerja Sama dengan USU
Baca juga: Implementasi MBKM, 560 Mahasiswa UTU Magang di 200 Perusahaan Seluruh Indonesia