Kupi Beungoh

Menjaga Warisan Ilmu, Menyemai Akhlak : Kisah Abu Muda Syukri Waly Ulama Kharismatik Aceh

Siapakah dia? Dialah Abu Muda Syukri Waly anak dari seorang ulama besar di Aceh Selatan yaitu Abuya Syeikh Amran Waly Al - khalidy. 

Editor: Amirullah
Serambinews.com
Cut Sadiah, Mahasiswa KPI UIN Ar-Raniry 

Oleh: Cut Sadiah

Ditengah derasnya arus modernisasi, ternyata masih ada sosok ulama muda yang berdiri teguh menjaga nilai-nilai keilmuan dan moralitas di Aceh. Siapakah dia? Dialah Abu Muda Syukri Waly anak dari seorang ulama besar di Aceh Selatan yaitu Abuya Syeikh Amran Waly Al - khalidy. 

Beliau lahir pada tanggal 06 Oktober 1981, anak ke 2 dari 6 bersaudara. Sejak kecil Abu Syukri sudah hidup dilingkungan dayah, karena berhubung ayah dan kakeknya juga seorang ulama sekaligus pendiri pondok pesantren, dimana ilmu dan keteladan itu sudah menjadi asupan di kehidupan sehari- hari, hingga meneruskan warisan ilmu, dakwah, dan pendidikan yang telah ia dapatkan dan mencurahkannya dalam suatu bentuk bangunan dengan mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama “NUR YAQDHAH”.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Sedari kecil, Abu Syukri sudah terbiasa tumbuh dilingkungan yang religius dan taat agama.Ia tumbuh dan berkembang bersama kedua orangtua nya yaitu Abuya Syeikh Amran Waly Al – Khalidy dan Umi Rosmiati. Didikan yang keras dan tegas namun penuh kasih sayang dari kedua orangtuanya menjadikan Abu Syukri terbiasa mencintai ilmu agama berupa ilmu tauhid, tasawuf, fiqh dll sejak kecil.

Abu mengenang masa kecilnya dengan penuh rasa syukur. Diusianya yang dulu di bawah sepuluh tahun, ia sudah mulai menghafal ayat-ayat pendek dan ayat kursi langsung dari dorongan dan bimbingan ayahandanya.

Kemudian setelah lulus dari Sekolah Dasar dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama, Abu mulai serius dan menekuni kitab-kitab klasik seperti : sanusi, matan bina, muttatsar, kafrawi, ya’nah, mahalli, dan kitab-kitab kuning besar lainnya. Dari ayahnya juga abu belajar apa itu arti kesabaran dan disiplin dalam menuntut ilmu agama.

“Dulu apabila tidak bersungguh dalam belajar, pasti dimarahi seperti dipukul, tapi bukan berarti pukulan kekerasan, melainkan pukulan dalam bentuk kasih saying, agar abu betul-betul dan bersungguh-sungguh dalam belajar ilmu agama”, ujarnya sambil tersenyum kecil.

Baca juga: Wali Nanggroe Dorong Sejarah Perjuangan Aceh Masuk Kurikulum Pembelajaran di Sekolah

Perjalanan Menuntut Ilmu

Perjalanan Abu dalam menuntut ilmu tidak hanya berhenti di pesantren keluarga, Abu melanjutkan pengembangan intelektualnya ke berbagai macam pesantren besar seperti di Lamno dan Samalanga. Di sana, ia banyak bertemu teman-teman dan guru  dari berbagai macam daerah.

Selain itu, ada pengalaman yang paling berkesan yang tidak pernah abu lupakan selama masa belajar di pondok itu.

“Ketika di pondok itu apapun segala sesuatu semua kita lakukan bersama, mulai dari makan bersama, nyuci bersama, mandi juga bersama, kalau di pondok mandinya ramai-ramai satu bak mandi mandi yang gede itu bisa sampe sepuluh orang, kemudian juga belajar bersama sampai larut malam, hingga tercipta persaudaraan yang luar biasa”, ucapnya.

Dan abu juga terkesan pada sebuah kitab, dari banyaknya kitab yang sudah ia pelajari kitab “Manteq” ini yang paling berkesan dan berpengaruh dalam kehidupannya.

“Dulu Abu mengira bahwa belajar manteq ini sama halnya dengan belajar kitab-kitab biasa pada umumnya, jadi Abu hanya sekedar duduk dan mendengar saja ketika Abuya menjelaskan dan Abu tidak terlalu fokus, kemudian Abuya memerahi Abu hingga Abu menangis, terus Abuya melemparkan sesuatu yan ada didepannya, seketika Abu langsung terdiam dan lanjut serius dan lebih fokus. Kemudian Abuya langsung menasehati Abu bahwa ilmu manteq ini susah harus di pelajari dengan betul-betul dan serius”, ucapnya sembari tertwa.

Baca juga: Tampang Pria yang Check Ini Bareng Anti Puspita Sari, Berujung Tewas di Kamar, Si Pria Diburu Polisi

Guru dan Panutan

Setelah ia menekuni dan mempelajari ilmu manteq tersebut dengan teguh keyakinan, yang awalnya membosankan sekarang menjadi pelajaran yang paling ia gemari, hingga ketika ia meneruskan ilmu manteqnya ini ke Lamno.

 Abu di Lamno yaitu Abu Ibrahim pimpinan pesantren Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah yang disingkat dengan pesantren Budi. Ilmu manteq sangat terkenal di pesantrennya. Di Aceh, Abu lamno ini dikenal dengan sebutan “Almantiqi”, jadilah Abu Ibrahim Al-Mantiqi.

“Barulah ketika sudah beranjak dewasa Abu mulai paham kenapa abu begitu ditegaskan saat belajar ilmu manteq ini, karena dengan belajar kitab manteq ini, InsyaAllah kitab-kitab lain akan lebih mudah untuk di pahami”, tegasnya.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved