Sri Mulyani: Butuh Tambahan Rp 198 Triliun Jika Tak Naikkan Harga BBM Subsidi, dari Mana Dananya?
Sri Mulyani menjelaskan, saat ini alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi pada 2022 dipatok sebesar Rp 502,4 triliun.
SERAMBINEWS.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah membutuhkan tambahan anggaran Rp 198 triliun jika tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite dan Solar.
Kondisi itu akan semakin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena harus menanggung bengkaknya anggaran subsidi BBM tersebut.
"Duitnya sudah disediakan Rp 502 triliun, tapi habis. Pertanyaannya 'ibu mau nambah (anggaran subsidi BBM) atau enggak?' Kalau nambah dari mana anggarannya? Suruh ngutang?," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD RI, Kamis (25/8/2022).
Sri Mulyani menjelaskan, saat ini alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi pada 2022 dipatok sebesar Rp 502,4 triliun.
Nilai itu sudah membengkak dari anggaran semula yang hanya sebesar Rp 152,1 triliun.
Penambahan itu dilakukan untuk menahan kenaikan harga energi di masyarakat imbas lonjakan harga komoditas global.
Namun, kini tren harga minyak mentah masih terus menunjukkan kenaikan, apalagi kurs rupiah mengalami depresiasi terhadap dollar AS.
Di sisi lain, konsumsi Pertalite dan Solar juga diperkirakan melebihi kuota yang ditetapkan.
Alhasil, kondisi tersebut membuat anggaran Rp 502,4 triliun itu tidak akan cukup untuk kebutuhan subsidi dan kompensasi energi hingga akhir tahun.
Baca juga: 6.000 Warga Aceh Daftar MyPertamina, Konsumsi BBM Bersubsidi Masih Kencang
Ia mengatakan, mulanya pemerintah mengasumsikan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sebesar 100 dollar AS per barrel.
Namun, realisasinya hingga saat ini berada di level 105 dollar AS per barrel.
Sementara nilai tukar rupiah yang semula diasumsikan sebesar Rp 14.450 per dollar AS, kini semakin melemah menjadi ke level Rp 14.750 per dollar AS.
Kondisi depresiasi rupiah ini membuat RI harus membayar lebih mahal untuk impor minyak mentah.
"Itu nambah lagi jadinya karena minyaknya masih juga diimpor," imbuh Sri Mulyani.
Ia mengungkapkan, dengan asumsi ICP 100 dollar AS per barrel dan kurs Rp 14.450 per dollar AS saja, harga keekonomian Solar mencapai Rp 13.950 per liter, jauh lebih tinggi dari harga jual di masyarakat yang sebesar Rp 5.150 per liter.
Begitu pula dengan Pertalite yang harga keekonomiannya mencapai Rp 14.450 per liter, tetapi harga jual di masyarakat hanya sebesar Rp 7.650 per liter.
Selisih inilah yang pada akhirnya ditanggung oleh pemerintah melalui subsidi dan kompensasi.
"Perbedaan Rp 8.300 untuk Solar dan Rp 6.800 untuk Pertalite itu yang harus kami bayar ke Pertamina. Itulah yang disebut subsidi dan kompensasi," ucapnya.
Adapun terkait konsumsi BBM, berdasarkan prognosis konsumsi Pertalite hingga akhir tahun akan mencapai 28 juta kiloliter (KL), melampaui kuota yang ditetapkan tahun ini sebanyak 23,05 juta KL.
Sementara konsumsi Solar diperkirakan mencapai 17,2 juta KL hingga akhir tahun, padahal kuota yang ditetapkan untuk tahun ini hanya sebesar 14,91 juta KL.
"Jadi kalau ikuti tren (konsumsi) ini, bulan Oktober habis kuotanya (Solar), bahkan kalau diikuti akhir September ini habis kuota untuk Pertalite," pungkasnya.
Baca juga: Di Tengah Kenaikan Harga Minyak Dunia, Malaysia Umumkan Penurunan Harga BBM RON 97
Subsidi BBM dalam APBN 2022 Capai Rp502,4 Triliun Ternyata Setara 4 Hal Ini
Pemerintah akan kembali mengambil kebijakan penyesuaian subsidi BBM setelah mengetahui kuota Solar dan Pertalite subsidi akan habis pada Oktober 2022.
Walaupun, sebelumnya dalam Perpres 98/2022, pemerintah telah memperbarui perhitungan kompensasi subsidi BBM, elpiji tiga kilogram, dan listrik dalam APBN 2022 dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, langkah ini harus diambil karena jika dibiarkan dengan tren subsidi seperti ini maka belanja subsidi dan kompensasi BBM akan semakin besar.
“Perlu ditambah lagi 195,6 triliun sehingga menjadi Rp698 triliun sampai akhir tahun,” ujarnya, dalam jumpa pers yang juga dipantau KOMPAS.TV, Jumat (26/8/2022) petang.
Sri Mulyani memaparkan nominal Rp502,4 triliun subsidi energi ternyata setara dengan pembangunan di daerah tertinggal dan terluar.
Jika dianalogikan, Rp502,4 triliun bisa digunakan untuk membangun empat hal sebagai berikut:
1. Pembangunan 3.333 rumah sakit (asumsi biaya Rp150 miliar per rumah sakit)
2. Pembangunan 227.886 sekolah dasar (biaya Rp2,19 miliar per SD)
3. Pembangunan 3.501 ruas tol baru (biaya Rp142,8 miliar per kilometer)
4. Pembangunan 41.666 puskesmas dengan biaya Rp12 miliar per unit)
“Ini hanya untuk memberikan sign of magnitude ini angka yang besar dan riil, dan ini masih belum cukup, masih akan berpotensi, menambah Rp195,6 triliun dengan tren harga minyak dan jumlah volume konsumsi yang dilakukan masyarakat,” ucap Sri Mulyani.
Lebih lanjut Menkeu menjelaskan jika Rp195,6 triliun tidak disediakan pada tahun ini maka akan ditagih lewat APBN 2023.
“Tagihannya tahun depan pas kita menjaga APBN supaya sehat mengurangi defisit 3 persen. Angka itu memakan separuh dari anggaran subsidi kompensasi tahun depan, yakni Rp 336,3 triliun,” tandas Sri Mulyani.
Baca juga: VIDEO Seratusan Warga Bireuen Gotong Royong Bersihkan Masjid Jamik Jeunieb
Baca juga: Sekolah Arab Saudi Bersiap Menyambut Puluhan Ribu Siswa Baru
Baca juga: GCC Minta Inggris Beri Jaminan ke Wisatawan Teluk, Kejahatan Berulangkali Menimpa Warga Arab
Kompas.com: Sri Mulyani: Kalau Anggaran Subsidi BBM Ditambah, dari Mana Dananya?