Bincang Politik
Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Disarankan Hukum Rajam, Ini Kasus di Aceh Hingga Juli 2022
"Kalau hukum kebiri banyak ulama yang berpendapat tidak boleh. Maka harus pilih hukum terberat yakni rajam sampai mati" ujarnya dalam Bincang Politik
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Mursal Ismail
Program yang mengangkat tema “Aceh Darurat Kekerasan Seksual, Hukuman Apa Yang Setimpal Untuk Predator”, menghadirkankannya sebagai narasumber.
Laporan Agus Ramadhan | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Alumni Dayah atau DPP ISAD Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla, menyarankan pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Aceh harus dihukum rajam.
Tgk Mustafa Husen Woyla menyampaikan hal ini dalam program “Bincang Politik”, yang tayang secara langsung di Youtube Serambi On TV dan Facebook Serambinews.com, Selasa (6/9/2022).
Program yang mengangkat tema “Aceh Darurat Kekerasan Seksual, Hukuman Apa Yang Setimpal Untuk Predator”, menghadirkankannya sebagai narasumber.
Sedangkan narasumber satu lagi Ketua Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Anak Aceh, Rudy Bastian.
Diskusi ini dipandu Jurnalis Serambi Indonesia, Masrizal.
Tgk Mustafa mengatakan bahwa hukum rajam bisa menjadi pilihan terakhir bagi pelaku kekerasan.

Baca juga: Wacana Revisi Qanun Jinayat, Hukum Rajam Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak
“Bagi pelaku pelecehan dapat dicambuk 100 kali atau penjara yang paling berat,” katanya.
Terkait wacana revisi Qanun Jinayat oleh DPR Aceh, ia berharap agar memasukan hukum rajam dan menghilangkan poin alternatif tersebut.
Menurutnya, hal ini harus segera dilakukan karena Aceh sudah darurat.
Kendati demikian, ia meminta bahwa produk hukum yang dikeluarkan oleh legistlatif nantinya tidak boleh berdasarkan nafsu.
Sebab, Islam melihat pada aspek kemaslahatan dan kemudharatannya.
“Kalau hukum kebiri banyak ulama yang berpendapat tidak boleh.
Maka harus pilih hukum terberat yakni rajam sampai mati. Malah kebiri dan suntik mati itu justru menyakitkan,” tuturnya.
Jumlah kasus di Aceh
Sementara itu, selama Januari-Juli 2022, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh mencatat ada 419 bentuk kekerasan yang terjadi pada anak di Aceh.
Dari jumlah itu, 85 kasus merupakan pelecehan seksual dan 82 kasus pemerkosaan terhadap anak.
Dalam diskusi ini, Ketua Anak Aceh, Rudy Bastian, mengatakan bahwa tingginya angka kekerasan terhadap anak terjadi karena faktor ekonomi dan pergaulan.
“Selama ini yang melatarbelakangi bahwa ada keterilbatan anak atau anak sebagai korban itu karena faktor ekonomi,” ujarnya.
Baca juga: Hukuman Kebiri Masuk Draf Revisi Qanun Jinayat
Rudy mengatakan, aturan yang terdapat dalam Qanun Jianyat yang saat ini berlaku sudah cukup baik dan komprehensif, tetapi hukuman tersebut belum mampu membuat pelaku jera.
“Padahal dalam Qanun tersebut bukan hanya tentang cambuk yang diatur tapi ada hukuman penjara.
Menurut kajian kami bahwa hukuman penjara dalam Qanun Jinayat lebih besar dari pada UU Perlindungan Anak,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa beberapa pasal dalam Qanun Jinayat harus dilakukan penyesuaian terhadap hukuman bagi pelaku kekerasan dengan memberikan hukuman maksimal.
Sebab, saat ini Qanun Jinayat masih mengatur poin alternatif, yakni uqubat cambuk atau penjara.
“Akhirnya ini menjadi asumsi Majelis Hakim untuk menerapkan hukuman cambuk (daripada hukuman penjara),” paparnya.
Baca juga: DPRA Perkuat Qanun Jinayat, Ketua Komisi I: Tidak Tertutup Kemungkinan Hukuman Kebiri Kita Terapkan