Internasional

Reformasi Status Hukum Perempuan di Lebanon Tidak Berjalan Lancar, Pelecehan Tak Berhenti

Reformasi status hukum perempuan di Lebanon telah menarik perhatian khusus dalam beberapa tahun terakhir ini.

Editor: M Nur Pakar
AFP/JOSEPH EID
Ruang sidang tampak kosong di Istana Keadilan Lebanon, Beirut, Selasa (30/8/2022). 

SERAMBINEWS.COM, BEIRUT - Reformasi status hukum perempuan di Lebanon telah menarik perhatian khusus dalam beberapa tahun terakhir ini.

Khususnya, setelah diperkenalkan sejumlah undang-undang yang dirancang untuk melindungi mereka dari pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.

Namun, pemantau hak asasi manusia mengatakan reformasi tidak berjalan cukup jauh.

Pada Desember 2020, parlemen Lebanon mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi pelecehan seksual.

Kemudian, menguraikan langkah-langkah untuk melindungi pelapor.

Tetapi gagal memenuhi standar internasional untuk menangani pelecehan di tempat kerja melalui undang-undang perburuhan.

Baca juga: Paus Fransiskus Sebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga Hampir Seperti Prilaku Setan

Parlemen juga mengamandemen undang-undang kekerasan dalam rumah tangga untuk memperluas cakupannya untuk memasukkan kekerasan yang terkait.

Tetapi tidak harus dilakukan selama pernikahan, yang memungkinkan perempuan mencari perlindungan dari mantan suaminya.

Namun, tidak mengkriminalisasi perkosaan dalam pernikahan.

Runtuhnya keuangan Lebanon 2019 dan dampak pandemi Covid-19 tampaknya telah menambah tekanan lebih lanjut pada hubungan ketika standar hidup anjlok.

Apalagi, orang-orang kehilangan pekerjaan dan rumah tangga dipaksa untuk berada dalam jarak dekat yang konstan dalam waktu lama di bawah penguncian Covid-19.

“Setelah karantina akibat pandemi Covid-19, kami menyaksikan peningkatan permintaan cerai,” Sheikh Wassim Yousef Al-Falah, seorang hakim Syariah di pengadilan agama di Beirut, Minggu (11/9/2022).

Baca juga: Angka Perceraian di Timur Tengah Tinggi, Ini Daftar Negara Dengan Angka Tertinggi

“Beberapa pasangan menemukan bahwa mereka tidak dapat mentolerir satu sama lain dan keretakan di antara mereka menjadi jelas," ujarnya.

“Tingkat permintaan perceraian meningkat setelah krisis ekonomi meningkat; suami berhenti bekerja, bank berhenti menguangkan deposito, dan pinjaman lunak perumahan tidak lagi diberikan," tambahnya.

“Kami menyaksikan kasus permintaan cerai untuk pasangan yang telah hidup bersama selama 13 atau 20 tahun, yang tidak terjadi sebelumnya," katanya.

"Kita dapat mengatakan tingkat perceraian meningkat 35 hingga 40 persen di pengadilan agama Beirut dalam tahun ini," jelasnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved