Tragedi G30S/PKI: Pemberontakan Para Tokoh PKI Madiun Bikin Soekarno Murka, Sebut Pengacau

Soekarno pun mengecam aksi PKI di Madiun, menyebutnya sebagai tindakan yang memecah belah umat dan pengacau.

Editor: Faisal Zamzami
Via Intisari
Amir Sjarifuddin digiring oleh aparat TNI setelah tertangkap pada November 1948 di Kudus, Jawa Tengah. 

Ketika itu, Kabinet Amir Sjarifuddin tidak lagi mendapat dukungan setelah dituding membawa kerugian bagi Indonesia saat mengadakan Perjanjian Renville dengan Belanda.

Masa jabatan perdana menteri Amir Sjarifuddin berakhir pada 28 Januari 1948, kemudian, Mohammad Hatta pun maju membentuk kabinet baru.

Dalam pembentukan kabinet baru itu, fraksi Amir sempat ditawari posisi, tetapi tidak terjadi kesepakatan karena pihak Amir menginginkan posisi kunci.

Dengan tidak dicapainya kesepakatan, Hatta akhirnya membentuk kabinet baru tanpa golongan sayap kiri.

Kecewa dengan keputusan Hatta, golongan sayap kiri mulai masuk ke pihak oposisi dan melakukan rapat di Surakarta pada 26 Februari 1948.

Rapat itu menghasilkan pembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PSI, PKI, PBI, Pesindo, dan SOBSI, dengan Amir Sjarifuddin sebagai pemimpinnya.

Kemudian dalam perkembangannya, FDR berubah menjadi radikal dan programnya fokus untuk menentang program Kabinet Hatta.

FDR memiliki dua basis kekuatan utama, yaitu TNI-Masyarakat dan SOBSI, yang merupakan organisasi buruh terbesar dengan hampir 300.000 anggota.

Baca juga: Kisah Burhan Kapak, Berani Bantai Orang Komunis Usai G30S/PKI, Tekad Membunuh Sebelum Dibunuh

Sementara itu, program utama Kabinet Hatta adalah melaksanakan Perjanjian Renville dan rasionalisasi tentara Indonesia.

Saat Hatta memulai program rasionalisasi dan memandang TNI-Masyarakat sebagai organisasi militer berhalun komunis yang tidak terlatih, kebencian FDR terhadap pemerintah pun semakin bertambah.

Puncak Pemberontakan PKI Madiun 1948, Umumkan Hal Ini

Pemberontakan PKI Madiun diawali dengan melancarkan propaganda anti pemerintah dan pemogokan kerja oleh kaum buruh.

Pemerintah pun marah dan menuding pemogokan sebagai tindakan yang membahayakan Republik.

Kondisi yang sudah memanas diperparah dengan kembalinya Musso, tokoh komunis senior Indonesia yang pernah belajar ke Uni Soviet.

Musso kembali dan membentuk badan baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved