Mihrab
Dayah, Pusat Pembentukan Karakter
Di Aceh, dayah merupakan lembaga pendidikan nonformal yang telah berlangsung lama ditengah masyarakat
DI Aceh, dayah merupakan lembaga pendidikan nonformal yang telah berlangsung lama ditengah masyarakat.
Proses pembelajarannya secara tradisional sudah mampu membimbing umat untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan mengamalkanya.
Dayah masih menggunakan kurikulum turast (kitab kuning klasik, Arab gundul) dan menggunakan pola tradisional dalam pembelajarannya.
“Pola pembelajaran secara tradisional ini dianggap ampuh untuk mengajarkan kitab-kitab klasik bermazhab Syafi’i sebagai pembelajaran utama di Dayah,” kata Tgk Suhaimi SAg MAg, pengurus DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh.
Menurutnya, tujuan pendidikan dayah adalah untuk membentuk watak, pembinaan sikap, karakter, akhlakul karimah, yang diharapkan menjadi tumpuan penyiapan generasi masa depan.
Dayah sudah terbukti sebagai benteng pertahanan aqidah umat dan mampu memperjuangkan dan mempertahankan bangsa dan negara.
Dayah sangat identik dengan pembelajaran kitab kuning.
Pembelajaran kitab kuning di dayah sebagai warisan Ulama yang selalu dipelajari dari dahulu hingga sekarang.
Baca juga: Sebanyak 50 Poskesda di Dayah Bireuen Masih Aktif
Baca juga: PB HUDA Rakor Bersama Pemkab Bireuen, Bahas Rencana Pembentukan Pos Kesehatan Dayah di Kota Santri
Kitab kuning ini selalu dipelajari secara terus menerus secara konsisten, masif dan simultan.
Hal ini dapat ditemukan pada proses pembelajaran di dayah yang mempelajari kitab kuning di siang hari maupun malam.
“Para santri begitu sangat akrab dengan pembelajaran kitab kuning yang terdiri banyak dari khazanah ilmu pengetahuan mulai dari fiqh, tauhid, akhlak tsawuf, nahu saraf dan lain-lain,” terang Pengasuh Asrama Putra Dayah Al-Athiyah, Banda Aceh ini.
Dinamakan kitab kuning karena memang kertas yang digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning.
Maklum saja istilah ini bertujuan memudahkan orang dalam menyebut.
Sebutan kitab kuning ini adalah khas Indonesia, ada juga yang menyebutnya kitab gundul.
Ini karena disandarkan pada kata perkata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab belakangan.