Berita Nasional

Wali Nanggroe Sampaikan Kuliah Umum di UII Yogyakarta, Wujudkan Adil dan Sejahtera

Tgk Malik Mahmud Al Haythar secara khusus diundang oleh Prorgam Studi (Prodi) Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Editor: bakri
FOR SERAMBINEWS.COM
Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Al Haythar memaparkan tentang konflik Aceh pada kuliah umum di Prorgam Studi (Prodi) Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta 

Pihak internasional tidak diberikan akses untuk memantau dan mengetahui keadaan Aceh yang sebenarnya.

” Pada 24 Desember 2004 terjadi peristiwa gempa dan tsunami di Aceh.

Pihak internasional kemudian mengajak Pemerintan Indonesia dan GAM melanjutkan perundingan untuk menyelesaikan konflik Aceh, dan pihak internasional akan mudah dan aman dalam memberikan bantuan kemanusiaan di Aceh.

Baca juga: Bahas Pananganan Penyelamatan Lingkungan dan Hutan Aceh, Menteri LHK Temui Wali Nanggroe

Kedua belah pihak bersepakat melanjutkan perundingan di Helsinki Finlandia, yang difasilitasi oleh CMI (Crisis Management Initiative) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari.

“Kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM dituangkan dalam MoU Helsinki,” kata Wali Nanggroe yang saat itu menjadi pihak yang menandatangani MoU Helsinki dari pihak GAM.

Selanjutnya, pelaksanaan MoU Helsinki diawasi dan dimonitor oleh Uni Eropa dengan melibatkan empat negara Asean yaitu Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Negara-negara tersebut menjalankan tugas memastikan keamanan di Aceh dan mengawasi implementasi butir-butir MoU Helsinki.

Mereka tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM).

Kata Wali Nanggroe, ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI.Pertama.

Membangun kepercayaan kedua belah pihak, dimana masing-masing pihak memiliki kesadaran sama, bahwa perundingan damai adalah jalan terbaik dalam penyelesaian konflik Aceh.

Kedua, membangun kepercayaan terhadap fasilitator dari lembaga internasional (CMI) yang memfasilitasi perundingan antara GAM dan Pemerintah RI.

Dalam perundingan disetujui bahwa Aceh diberikan kewenangan khusus dalam mengelola pemerintahan sendiri, kecuali dalam enam hal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, moneter fiskal, pertahanan, keamanan, yudisial dan sebagian urusan agama.

“Kewenangan khusus Aceh yang bersifat otonomi asimetris berbeda dengan otonomi daerah pada provinsi lain di Indonesia.

Kewenangan khusus Aceh yang berasal dari butir-butir MoU Helsinki dituangkan dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” terang Wali Nanggroe.

Di akhir kuliah umum, Wali Nanggroe mengatakan, untuk mewujudkan kesepakatan damai dalam MoU Helsinki memerlukan proses, dan waktu.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved