Kupi Beungoh
Anies: Politik “Tueng Bila” dan “Tob Abeh” Surya Paloh (II)
KISAH perjuangan Anies Baswedan “selamat” dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI adalah sebuah prestasi yang menunjukkan sesuatu yang baru
Panglima Itam adalah gelar dari Efendi Muhammad Risyad- sepertinya berasal dari keturunan Turki, karena Efendi adalah gelar bangsawan Turki.
Kumpulan sejarah oral-tutur di kalangan tetua masyarakat Pidie, terutama di Kuala Gigieng-Simpang Tiga menyebutkan Pang Itam lahir di Kuala Gigieng.
Pang Itam adalah pengusaha sukses yang kemudian setelah mengumpulkan banyak uang, memutuskan untuk berperang.
Sejarah tutur para tetua di kawasan Kota Bakti dan Bambi menguraikan baik tentang kegigihannya dalam berperang, dan kematiannya dalam tahanan di sebuah sebuah rumah di Bambi, Pidie.
Berbeda dari panglima Brahim Reubee yang menjadi pengawal Sultan Aceh terakhir Muhammad Daudsyah, pang Itam melarikan diri.
Mereka bertiga berada dalam tahanan Belanda di sebuah bangunan yang diduga terletak antara Masjid Raya Baiturrahman, dan Pendopo hari ini-sebagian catatan menyebutkan di gampong Keudah, Banda Aceh.
Sambil menunggu pembuangan Sultan Aceh ke Ambon, Pang Itam berhasil malarikan diri, konon diceritakan atas perintah Sultan untuk melanjutkan peperangan.
Namun tak lama setelah Sultan diasingkan ke Bandung dan Ambon, Pang Itam berhasil ditangkap.
Ia ditahan oleh Belanda dalam waktu yang tak lama.
Diperkirakan ia meninggal pada ujung dekade pertama abad ke 20.
Sekalipun banyak orang menyebutkan sejarah itu tak penting, namun sepak terjang Surya Paloh, termasuk keputusannya kali ini menjadi wali politik Anies Baswedan sama sekali tidak terjadi begitu saja.
Ada “nasab” Paloh kepada indatunya Pang Itam yang berani membuat keputusan untuk terus melawan Belanda walaupun Aceh praktis berada dalam pemerintahan Belanda.
Ada DNA “tueng bila” Aceh yang ia miliki dan kini dijadikannya sebagai salah satu nilai-nilai nasional melalui partai Nasdem yang ia wariskan untuk sebuah perjuangan yang ia yakini kebenarannya.
Paloh juga sangat sadar akan resiko apa yang akan ia jalani, terutama kemungkinan dikeluarkannya Nasdem dari koalisi pemerintah, dan bahkan diberhentikannya sejumlah menteri Nasdem dari kabinet.
Itu adalah keputusan “pang Itam” yang tak takut mati dalam menjalankan perintah Sultan untuk terus berperang.