Kupi Beungoh

Cerita Tiga Pemimpin Dunia, dan Takdir Anies Baswedan

Walaupun sudah 6 bulan, Tom belum menulis tentang Indonesia, padahal dia tahu negeri ini adalah demokrasi tiga besar dunia, setelah India dan AS.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Demokrasi “seumur tauge” yang terjadi pada masa transisi Gorbachev dan awal Yeltsin, sangat gampang dirobah oleh Putin.

Lebih dari itu gelombang swatanisasi BUMN Rusia dan rejeki nomplok kenaikan harga migas membuat Putin punya dua produk andalan berkelanjutan, otokrasi, dan oligarki.

Cina yang memang sama sekali belum demokratis memberi peluang besar kepada Jin Ping untuk berbuat sesukanya.

Sambil menegaskan slogan sosialisme dengan karakter Cina, memberangus otonomi Hongkong, mengikis “radikalisme” Uyghur, mempertegas kartu Cina tentang Taiwan, menantang siapapun di Laut Cina Selatan, Jin Ping menyatakan siapa dirinya.

Dengan cepat ia menggupload aplikasi ketua Mao, dan jadilah ia sebagai calon presiden seumur hidup.

Baca juga: Xi Jinping Tiga Periode, Kongres Partai Komunis Cina Tuntas

Bagaimana Indonesia? 

Berbeda dengan Putin, Jin Ping, dan Trump, apa yang terjadi di Indonesia menunjukkan sebuah kreativitas tidak biasa.

Mulai dari strategi malu-malu, tukar guling jabatan, sampai dengan menghalangi calon presiden yang antithesis rezim petahana.

Dimulai dengan menggerakkan 3 tokoh partai koalisi di parlemen, ide perpanjangan masa jabatan dilemparkan.

Ibarat makanan basi yang dijual di kaki lima, wacana tokoh dari tiga partai itu ditanggapi dingin dalam koalisi.

Kreativitas itu menjadi tumpul, ketika dua partai pendukung utama mengirim signal tidak setuju.

PDI Perjuangan dan Nasdem berdiri tegak tak menyambut gagasan perpanjangan masa jabatan itu.

Dalam status tak jelas tentang wacana itu, tampillah promotor utama, yang sudah lama berada di balik tabir, atau mungkin tak berani tampil.

Tak tanggung tanggung, yang diperkenalkan adalah gagasan hibrid baru demokrasi.

Namanya demokrasi digital. 

Klaim yang diajukan juga tak sembarang, 110 juta pengguna media sosial, ingin pemilu ditunda.

Jika Putin mengacaukan pemilihan Presiden AS yang membuat Trump menang dengan berbagai propaganda di sosial media, di negeri ini justeru perbincangan sosial media yang ingin dijadikan jusfikasi penundaan pemilu.

Itupun belum pasti ada dan benar.

Kegagalan upaya merobah konstutitusi rupanya tak menghentikan  impian untuk kelanjutan berkuasa.

Mungkin karena rujukan Rusia, perlu dicari Dmitry Medvedev Indonesia.

Ide untuk mengawinkan yang sempat bertanding pada dua kali Pilpres dimunculkan.

Tukar guling Rusia sangat sederhana, Presiden menjadi Perdana Menteri, sementara Perdana Menteri menjadi menjadi Presiden.

Walaupun Putin sebagai presiden berpindah menjadi Perdana Menteri pada tahun 2008, dan Medvedev menjadi Presiden, semua orang tahu siapa penguasa Rusia yang sesungguhnya.

Ide untuk mengawinkan yang sempat bertanding pada dua kali Pilpres dimunculkan.

Improvisasi model Rusia untuk Indonesia kemudian didapatkan rumusnya.

Prabowo Subianto -pernah menjadi Capres dua kali- kini Menteri Pertahanan, menjadi presiden, sementara Jokowi menjadi wakilnya.

Apa yang terjadi?

Publik tak menanggapi, dan bahkan menjadi sebuah olok-olok.

Tak berlebihan, ketua Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai sosok idealis dan objektif, mengeluarkan kritik keras, baik untuk presiden tiga periode, maupun untuk menjadi Wapresnya Prabowo.

Warna asli keinginan untuk bertahan dengan segala cara dan membendung Capres yang tak diiginkan, akhirnya terbongkar dengan sangat gamblang ketika HUT Golkar pada tanggal 22 Oktober yang baru lalu.

Dalam sambutannya, yang nampaknya seolah rileks dan penuh guyon, Presiden Jokowi melepas dua missil Javelinnya.

Peringatan itu ditujukan kepada keluarga besar Golkar, anggota partai koalisi, dan bahkan publik nasional secara keseluruhan.

Kedua missil itu adalah ungkapan, “sembrono”, dan “jam terbang”.

Dan itu jelas ditujukan kepada Nasdem dan Anies Baswedan.

Sekalipun tersenyum,  ketika ia mengatakan “sembrono” ada nada dan bahasa tubuh yang mengirim pesan kepada audien, terutama kepada Nasdem, bahwa “saya ndak suka itu”.

Ketidaksukaan itu kemudian menjadi lebih terang benderang, ketika ia menyebut “jam terbang”, dan itu jelas ditujukan kepada Anies yang seolah hanya baru satu periode menjabat Gubernur.

Penafsiran tentang kepemimpinan Indonesia masa depan, kini seolah menyatu dengan diri Presiden Jokowi sendiri.

Apa yang ia rasakan dan apa yang ia pikirkan, seolah itulah jalan Indonesia masa depan yang benar.

Kalaulah terlalu sukar untuk menemukan posisi Jokowi terhadap Anies Baswedan, dua ungkapan tentang Pipres 2024 pada malam HUT Golkar adalah klimaks dari seluruh ketidaksukaannya terhadap Gubernur DKI itu.

Walupun  statemennya  ringan dan rileks, kedua ungkapan itu adalah refeleksi emosi yang umurnya sudah tahunan.

Bukan tidak mungkin, ketidaksukaan itu dimulai dari pemecatan Anies dari Mendiknas pada akhir Juli 2016, tanpa sebuah penjelasan kepada publik.

Ketidaksukaan itu terus mengalir mencapai sejumlah titik puncak, Anies mengalahkan Ahok, Anies stop reklamasi, Anies tentang Covid-19, dan Anies Formula E.

Lanjutannya, Anies dicintai warga DKI, dan kini bahkan dicintai masyarakat nasional secara luas.

Pengumuman Nasdem untuk pencalonan Anies sebagai Capres seolah menjadi “nubuat” final  bagi rezim petahana.

Sejarah kejatuhan Konstantinopel pada 22 Mai 1453 yang dihubungkan dengan gerhana bulan pada tanggal yang sama, yang disaksikan oleh Konstantin IX dan rakyatnya, seolah mempunyai analogi profetik dengan keputusan launching Anies sebagai Capres Nasdem oleh Surya Paloh.

Namun, alih-alih meniru Konstantin IX yang turun ke gelangang bertarung secara jantan melawan pasukan Mehmet sang penakluk, apa yang terjadi justeru tontonan yang sangat tidak berkelas.

“Sembrono” dan “jam terbang”  adalah dua ungkapan yang seharusnya tidak dialamatkan kepada Nasdem dan Anies, karena Jokowi pun ketika dicalonkan berurusan dengan dua ungkapan itu.

Kalaulah ia sadar tentang pencalonanya pada Pilpres 2014 yang dilakukan oleh PDI Perjuangan dan Partai Nasdem, ia tidak akan pernah menggunakan ungkapan itu. 

Salah satu sebab Capres PDI Perjuangan 2014 menjadi tidak sembrono dan menggelegar adalah kehadiran Surya Paloh dengan Nasdemnya pada waktu itu.

Menggunakan ungkapan sembrono untuk keputusan Nasdem mencalonkan Anies untuk Capres 2024, juga jelas sekali sangat emosional.

Karena 3 dari 4 Pilpres yang menang adalah pasangan yang salah satu “a few first” promotornya adalah Surya Paloh.

Dua di antaranya membuat Jokowi menang.

Kalaulah jam terbang Anies yang diragukan, seharusnya Jokowi juga harus ingat bahwa rekam jejaknya sebelum menjadi Capres juga tak lebih hebat, untuk tidak mengatakan dibawah jam terbang Anies.

Prestasi Jokowi tujuh tahun sebagai Wali Kota Solo dengan penduduk sekitar setengah juta pada tahun 2010, lima kecamatan,  51 kelurahan, dengan luas 44,1 kilometer persegi, bukanlah sesuatu yang amat luar biasa.

Ditambah dengan pengalamannya memimpin Jakarta selama 2 tahun, untuk kemudian maju sebagai Capres pada 2014 juga tak memberikan nilai lebih kepadanya untuk layak menyebut Anies tak cukup jam terbangnya sebagai Calon Presiden.

Siapapun yang membaca riwayat hidup Anies, berikut dengan prestasinya semenjak siswa sampai menjadi Gubenur DKI pasti akan tertawa ngakak mendengar narasi jam terbang versi Presiden Jokowi.

Tanpa harus merunut capaian akademik yang didapatkannya, semua orang tahu kapasitas intelektualnya yang  kadang tampak seperti “polymath”-cakupan luas.

Berbagai posisi, dari Rektor Paramadina, intelektual publik yang teruji integritasnya, Mendiknas, dan Gubenur DKI yang paling “dianiaya”, semua orang tahu siapa Anies yang sebenarnya.

Itu belum lagi dengan prediksi dan pengakuan lembaga internasional  yang sangat imparsial baik sebelum dan selama menjadi Gubernur DKI. Mungkin Anies rendah jam terbangnya dibandingkan dengan banyak orang lain, tetapi tidak dengan orang yang memberinya label itu.

Penyakit Jin Ping, Putin, dan Trump memang menjalar ke Indonesia, namun wabah itu masih teratasi, paling kurang untuk saat ini.

Walaupun hari ini Megawati dan Surya Paloh berbeda, kedua merekalah yang berjasa memberikan vaksin itu ke DPR-RI.

Kalau saja satu di antara mereka lalai atau terbawa arus, maka skor akhir sudah menjadi 3-1. 

Ibarat Omicron, kini gejala itu tampak lagi sangat kentara.

Kali ini Paloh dan Megawati berbeda gerbong.

Perjalanan menuju Pilpres masih panjang.

Semua pemain perlu booster, dan mungkin Paloh sepertinya sudah mendapatkannya.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved