Kupi Beungoh
Qanun Jinayat dan Mirisnya Wajah Syariat Islam di Aceh
Jangan sampai karena pemerintah abai, qanun-qanun yang dibentuk sebagai sebuah keistimewaan mengenai syariat Islam ini menjadi tidak bertaji.
Seperti adanya layanan disabilitas, pojok e-Court, anjungan gugatan mandiri, layanan informasi peradilan, Posbakum, tempat ruang laktasi, ruang tunggu sidang yang unik dan menarik, serta sarana tempat bermain dan pojok baca.
Saya berharap, dengan pelayanan prima dan optimal, smoga MS Jantho segera mendapat predikat di zona Integirtas dalam wilayah bebas korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan melayani (WBBM).
Kemudian, dari bincang-bincang dengan ketiga sosok tadi, ternyata Mahkamah Syar’iyah Jantho dari awal 2022 hingga saat ini telah menangani gugatan sebanyak 504 perkara, permohonan 439 perkara, dan jinayat 36 perkara.
Antusias masyarakat untuk mencari keadilan ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak di Aceh.
Informasi yang perlu ditangapi serius lainnya adalah mayoritas kasus yang ditangani MS Jantho adalah kasus pemerkosaan. Ada 15 perkara pemerkosaan pelaku dewasa dan 1 perkara pemerkosaan oleh anak.
Bagi saya, fakta ini perlu mendapat tanggapan yang serius.
Dari data yang saya dapatkan, sampai saat ini, perkara jinayat yang ditangani oleh Mahkamah Syar'iyah se-Aceh itu lebih 350 perkara.
170 lebih di antaranya terkait dengan dakwaan mengenai perbuatan pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Baca juga: Dosen FT USK Mengeluh Bau Badan Mahasiswa, Terbitkan Surat Panduan Diawali Mandi Secara Teratur
Baca juga: VIDEO Saat Diperiksa Kesehatan, Wanita Rohingya banyak Keluhkan Sakit di Perut dan Dada
Hal ini miris, mengingat penerapan Syariat Islam di Aceh sudah mencapai 20 tahun.
Pasalnya, sejak diberlakukannya Qanun Nomor 6 Tahun 2014 dan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat, angka perkara Jinayat yang ditangani oleh MS Kabupaten/Kota setiap tahun semakin meningkat.
Pengambil kebijakan harus mengambil sikap melihat kondisi Aceh yang boleh dikatakan darurat pelecehan seksual/pemerkosaan.
Perbuatan tercela tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang lain, namun ada pula yang dilakukan oleh oknum pendidik atau keluarga terdekatnya sendiri.
Oleh karena itu, revisi Qanun Jinayat hendaknya tidak terbatas pada uqubat/hukuman, namun juga pencegahan atau tindakan preventif.
Selain itu, pemerintah juga harus serius menggarap turunan-turunan yang menjadi penopang agar Qanun Jinayat bisa diterapkan secara maksimal.
Peraturan-peraturan gubernur yang bersifat teknis dan mengatur tentang kelancaran pelaksanaan Qanun Jinayat harus dirancang pula.