Opini
Fakta Seputar Gempa Cianjur
Terlepas dari kondisi struktur bangunan yang ada, secara umum keempat aspek tersebut akan menentukan tingkat destruktivitas dari sebuah gempa

OLEH Dr Ir BAMBANG SETIAWAN ST M Eng Sc, Ketua Jurusan Teknik Kebumian, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
ARTIKEL kali ini sangat berkaitan dengan tulisan opini yang bertajuk “Ancaman gempa darat dan mikrozonasi” yang telah dipublikasikan dalam harian Serambi Indonesia pada Edisi Jumat 4 Maret 2022 (lihat: https://aceh.tribunnews.com/2022/03/04/ ancaman-gempa-darat-danmikrozonasi).
Sekadar mengingatkan bahwa dalam tulisan lama tersebut disinggung tentang empat faktor yang akan memberikan andil pada tingkat (level) guncangan dari gelombang gempa, yaitu: magnitude gempa, jarak dari epicentre gempa, arah patahan yang muncul akibat gempa terhadap lokasi, dan kondisi geologi setempat.
Seperti yang ditegaskan sebelumnya, terlepas dari kondisi struktur bangunan yang ada, secara umum keempat aspek tersebut akan menentukan tingkat destruktivitas dari sebuah gempa.
Sepekan yang lalu kita dikejutkan sekali lagi dengan sebuah gempa yang oleh media disebut sebagai gempa Cianjur.
Gempa Cianjur ini berskala M5,6 Richter dan dapat dirasakan oleh penduduk yang tinggal di Bandung, Jakarta dan hingga di Pamanukan, Jawa Barat.
Laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana hingga Selasa, 22 November 2022 pukul 09:55 WIB, BNPB telah mengidentifikasi jumlah korban yang meninggal dunia akibat gempa Cianjur di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat sebanyak 103 orang meninggal dunia.
Mayoritas dari korban yang meninggal diakibatkan oleh reruntuhan bangunan yang rusak parah saat peristiwa gempa terjadi.
Selain itu, pihak BNPB juga melaporkan adanya 25 orang hilang, lebih dari 380 orang yang tersebar di beberapa kabupaten di sekitar lokasi bencana mengalami luka berat hingga luka ringan.
Lebih dari 7.060 jiwa akibat gempa telah mengungsi dan tersebar pada beberapa titik.
Gempa Cianjur juga telah menyebabkan kerusakan pada lebih dari 3.150 rumah penduduk.
Baca juga: Korban Meninggal Gempa Cianjur Bertambah Jadi 310 Orang, 17 Jenazah Ditemukan Hari Ini
Baca juga: Kisah Azka, Bocah Selamat Terkubur Reruntuhan 3 Hari saat Gempa Cianjur, Berbekal Feeling Ayah
Saat ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat masih terus melakukan survei dan pendataan di lapangan terkait dengan dampak dari gempa tersebut, sehingga data dampak tersebut berkemungkinan besar masih akan terus bertambah.
Hingga Selasa (22/11) pukul 06.30 WIB Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merekam adanya gempa susulan (aftershock) sebanyak 118 gempa dengan magnitude terkecil M1,5 dan terbesar M4,2.
Para ahli meyakini bahwa gempa Cianjur ini menjadi bagian dari fenomena gempa yang terjadi pada zona sesar aktif Cimandiri yang telah diidentifikasi oleh Pusat Gempa Nasional (PUSGEN) dalam bukunya yang terbit di tahun 2017.
Sesar Cimandiri ini membentang dari Padalarang hingga Pelabuhan Ratu di Jawa Barat dengan panjang 100 km dan arah orientasi TIMUR LAUT (NE)- BARAT DAYA (SW).
Beberapa gempa yang cukup besar pernah terjadi di zona sesar Cimandiri ini. Supartoyo dkk. (2000) dalam PUSGEN (2017) mencatat beberapa gempa signifikan pada zona sesar Cimandiri, antara lain: gempa dengan intensitas Modified Mercalli Intensity (MMI) VII yang terjadi pada tahun 1900 (Visser, 1922), gempa dengan magnitude M5,5 pada tahun 1982, dan gempa berskala M5,4 dan M5,1 pada tahun 2000.
Secara karakteristik, gempa Cianjur tersebut memiliki kesamaan dengan gempa M6,1 di Pasaman Barat di awal tahun 2022 ini, dimana gempa tersebut juga merupakan jenis gempa kerak dangkal atau shallow crustal earthquake yang dipicu aktivitas sesar aktif (active fault), sehingga gempa M5,6 tersebut sangat berpotensi untuk menimbulkan kerusakan (destructive) pada kawasankawasan yang cukup dekat dengan lokasi pusat gempa.
Penjelasan lebih detail terkait dengan faktor-faktor yang menentukan tingkat destruktivitas sebuah gempa dapat merujuk pada tulisan opini sebelumnya, sesuai dengan tautan di atas.
Pada tulisan kali ini akan diulas secara khusus tentang fenomena respons kondisi geologi setempat terhadap gelombang gempa, dimana data dari USGS terkait dengan gempa Cianjur 2022 memperlihatkan adanya fenomena khusus ini.
Data yang diterima oleh USGS memperlihatkan adalah level guncangan yang sama atau setara pada jarak terhadap epicentre yang cukup jauh berbeda, yaitu Bandung (~55 km) dan Jakarta (~80km).
Gempa Cianjur 2022 ini diestimasi menimbulkan guncangan yang setara dengan skala MMI IV di Bandung (12 data) dan di Jakarta (42 data).
Padahal jarak dari Jakarta ke pusat gempa sekitar 25 km lebih jauh dari jarak Bandung ke pusat gempa.
Kalau kita merujuk pada konsep atenuasi sinyal/gelombang, maka gelombang gempa tersebut seharusnya akan terasa lebih lemah di Jakarta yang memiliki jarak lebih jauh.
Baca juga: Banyak yang Datang Buat Konten, Warga Cianjur Kesal & Bikin Papan Sindiran: Ini Bukan Wisata Bencana
Atenuasi adalah melemahnya suatu sinyal/ gelombang yang disebabkan oleh adanya jarak yang semakin jauh, yang harus ditempuh oleh suatu sinyal/ gelombang tersebut.
Terlepas dari posisi data yang diinput dalam laporan USGS tersebut, fenomena ini memperlihatkan akan adanya pengaruh kondisi geologi setempat dalam merespons gelombang gempa.
Reapons kondisi geologi Banyak ahli kegempaan sangat meyakini bahwa kondisi geologi setempat memainkan peran penting dalam merespons gelombang gempa.
Seperti halnya yang terjadi di Bandung dan Jakarta terkait dengan gelombang gempa Cianjur 2022, respons geologi setempat terhadap gelombang gempalah yang diduga menyebabkan besaran guncangan dirasakan relatif sama oleh penghuni pada kedua kota tersebut meskipun memiliki jarak yang berbeda.
Salah satu contoh yang paling sering dipresentasikan oleh para ahli untuk memperlihatkan fenomena seperti itu adalah gempa di Mexico City tahun 1985, dimana respons pada lokasi yang secara geologi tersusun oleh endapan tanah lunak (Old Lakebed) di Mexico City terasa lebih kuat daripada lokasi yang secara geologi terbentuk dari batuan, sehingga gempa itu menyebabkan kerusakan parah pada struktur-struktur bangunan yang didirikan di atas 30m endapan Old Lakebed di Mexico City (Steedman dkk., 1986, Booth dkk, 1986).
Respon geologi setempat seperti ini oleh para ahli disebut sebagai amplifikasi (Idriss, 1999).
Nilai percepatan gelombang gempa atau peak ground acceleration yang terukur pada tanah keras pada saat gempa Michoacan itu yakni kurang dari 0,04 g telah diperkuat sekitar lima kali pada endapan Old Lakebed yang ada di Mexico City (Finn & Wightman, 2003).
Rekaman accelerogram yang terukur dari kejadian gempa tersebut juga menunjukkan bahwa percepatan gempa arah Utara-Selatan (NS) dan Timur-Barat (EW) yang ada pada tanah di lokasi endapan danau tua sangat jauh lebih besar jika dibandingkan dengan rekaman pada accelerogram di lokasi batuan/tanah dasar.
Selain itu, dalam gempa bumi Loma Prieta 1989, kerusakan besar terjadi di kawasan dengan kondisi geologi yang terbentuk dari tanah lunak di wilayah San Francisco-Oakland dimana percepatan spektral gempanya diamplifikasi dari dua hingga empat kali dari percepatan spektral yang direkam pada situs batuan didekatnya (Finn & Wightman, 2003).
Uraian di atas memperlihatkan bahwa respon geologi setempat terhadap gempa memberikan andil pada besaran guncangan yang diakibatkan oleh gelombang gempa.
Respons ini sangat bervariasi secara signifikan tergantung dari kondisi tatanan geologi yang ada.
Oleh karena itu, kajian terkait respons geologi setempat terhadap gempa akan sangat penting dilakukan dan akan sangat bermanfaat untuk perencanaan dan pembangunan infrastruktur perkotaan. (bambang.setiawan@unsyiah.ac.id)
Baca juga: Personel Polre Pidie Jaya Gelar Doa Bersama Untuk Korban Gempa Cianjur
Baca juga: Guru TK Korban Longsor akibat Gempa Cianjur Ditemukan Meninggal Peluk Anak, Suami Mencari Tiap Hari