Jurnalisme Warga
Kisah Pak Edi dan Kelas Literasi di SMAN 1 Meureudu
Pak Edi saya tahu novelis-novelis top Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Eka Kurniawan, dan lainnya

OLEH MISNA HAYATI, Siswa Kelas XII SMAN 1 Meureudu, melaporkan dari Pidie Jaya
SMAN 1 Meureudu, Pidie Jaya, membuat program kelas literasi yang dibimbing Pak Edi Miswar.
Beliau guru bahasa Indonesia.
Karya tulisnya seperti cerpen, puisi, dan esai pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia.
Saya sebagai siswa yang ikut kelas literasi ini tentu saja sangat senang.
Saya ingin sekali menulis novel dan terkenal seperti Andrea Hirata atau Tere Liye.
Belakangan, dari Pak Edi saya tahu novelis-novelis top Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma, Eka Kurniawan, dan lainnya.
Bahkan beliau menyebut beberapa raksasa sastrawan dunia seperti Gabriel Garcia Marquez, Anton Chekov, Orham Pamuk, Ernest Hemingway, Haruki Murakami, Milan Kundera, dan sebagainya.
Mimpi saya jadi penulis hebat seperti orang-orang yang saya sebut tadi makin menggebu-gebu.
Tentu saja Pak Edi—demikian kami biasa menyapa beliau—mengatakan bahwa untuk menjadi besar, lebih dulu ‘harus’ menjadi kecil.
Tak ada manusia yang lahir langsung bisa lari.
Baca juga: Ikut Belajar Menulis di Dekranasda Aceh Besar
Baca juga: Belajar Menulis di Rumoh Harapan Atjeh
Setiap orang yang mampu berlari pada awalnya hanya mampu merangkak, lalu bisa berjalan, baru kemudian dapat berlari.
Demikian juga untuk menjadi penulis.
Untuk menghasilkan karya tulis novel alias cerita panjang misalnya, mestinya mampu menulis cerita pendek.
Karena cerpen dan novel, selain dari jumlah halaman dan kompleksitas unsur intrinsik, sebenarnya keduanya sama saja.
Ide kelas literasi Sebelum saya menceritakan bagaimana kami dibimbing di kelas literasi.
Ada baiknya saya sampaikan dulu kepada pembaca, ide kelas literasi ini muncul.
Ide kelas literasi muncul saat seorang kakak kelas kami menulis ucapan terima kepada Kapolda Aceh sebelumnya, yaitu Bapak Wahyu Widada.
Tahun 2021, kakak kelas kami menulis di kolom JW ini bagaimana ceritanya sampai dapat berkomunikasi dengan Pak Kapolda Aceh dan kemudian diberikan bantuan bahan- bahan pembudidayaan tiram di Gampong Pangwa, Trienggadeng.
Penyampaian ucapan terima kasih tentu saja melibatkan Pak Edi yang bantu mengedit dan meluruskan kalimat yang berbelit- belit menjadi kalimat yang lebih efektif.
Berawal dari sana, Pak Edi ingin membuat kelas menulis atau kelas literasi di SMAN 1 Meureudu.
Lalu beliau ajukan kerangka acuan kerja atau biasanya lebih dikenal sebagai TOR atau Term of Reference.
Alhamdulillah, kepala sekolah kami, Bu Husna SP, MPd, sangat senang dengan keinginan Pak Edi.
Baca juga: ISAD Umumkan Juara Lomba Menulis Santri Aceh, Ini Nama Pemenang Santriwan dan Santriwati
Namun, menurut Pak Edi, untuk membuat kelas literasi, harus ada satu tahapan yang dilalui.
Oleh karenanya, tahapan itu dibuat, yakni pemilihan duta literasi sekolah.
Tujuan pemilihan duta literasi ini, sebenarnya bertujuan untuk menemukan para siswa yang hobi membaca.
Karena kegiatan menulis sangat erat hubungannya dengan kegiatan membaca.
Bahkan, di kelas literasi Pak Edi sering mengulang-ulang pernyataan bahwa orang yang punya kemampuan menulis sudah pasti hobi membaca.
Nah, pemilihan duta literasi sekolah ditentukan oleh seberapa banyak seorang siswa menulis.
Bagaimana memastikan seorang siswa membaca sekian buku? Mereka diwajibkan mengumpulkan resensi.
Satu buku satu resensi.
Bagaimana format resensi yang harus ditulis siswa? Contoh resensi yang harus ditulis siswa sudah dititipkan di perpustakaan.
Apabila kami yang ingin ikut pemilihan duta literasi, masih belum juga mengerti mengenai resensi maka kami menjumpai pak Edi.
Saya dan teman-teman lain jelas kurang paham sehingga perlu menjumpai beliau.
Saat kami jumpai beliau, beliau mengatakan bahwa buku dibagi dua jenis.
Baca juga: Latih Kader Menulis, HMI Lhokseumawe-Aceh Utara Buka Sekolah Jurnalistik
Pertama, buku nonfiksi.
Kedua, buku fiksi.
Pada resensi, kedua buku ini harus dicantumkan identitas buku.
Judul buku, penulis buku, penerbit, tahun terbit serta jumlah halaman.
Identitas buku ini harus terpisah dengan bagian berikutnya, yaitu ulasan buku.
Kalau ulasan buku fiksi, minimal buku fiksi tersebut memuat bagaimana tokoh utama menjalani kehidupannya dalam novel atau buku fiksi.
Jadi, alur cerita atau jalinan cerita dapat dipahami oleh pembaca resensi sehingga meskipun si pembaca resensi belum membaca novelnya secara utuh, lewat pembacaan resensi, si calon pembaca novel dapat memahami sekilas pandang mengenai novel yang akan dibaca.
Sementara ulasan buku nonfiksi dalam resensi yang harus kami tulis, menimal lewat resensi tersebut si calon pembaca buku nonfiksi dapat memperkirakan apa sih yang dibahas dalam buku nonfiksi tersebut.
Disampaikan juga bahwa setiap resensi diawali oleh sejumlah pembuka.
Ragam- ragam pembuka itu sudah dititipkan di perpustakaan sekolah.
Kalau kurang, kami bisa mencari sendiri di Google.
Ada begitu banyak resensi yang dapat kami tiru di internet.
Sambil tersenyum beliau menjelaskan bahwa istilah tiru mungkin sama dengan epigon.
Baca juga: Menulis Menjadi Keterampilan Dasar di Industri Kreatif
Kecuali kalau kami utuh karya orang atau sebagian besar karya orang, itu bukan epigon lagi namanya, tapi plagiat alias pencuri intelektual.
Copy of master Setelah duta literasi diumumkan selepas upacara bendera, 20 pengumpul resensi dari 47 siswa yang mengumpulkan resensi dihimpun di satu ruang.
Kami buat grup WA dan kami belajar tatap muka siang menjelas sore seminggu sekali di sekolah.
Kami sepakat untuk belajar esai (berharap dapat dimuat di Jurnalisme Warga Serambi), cerpen, dan puisi.
Untuk ketiga genre tersebut, Pak Edi mengenalkan kami dengan teknik ‘copy of master’ atau belajar dari contoh terbaik atau yang sudah dimuat.
Trik ini diperkenalkan oleh Ismail Marahimin, Dosen UI yang mencetak penulis-penulis seperti Helvy Thiana Rosa, Linda Christanty, Yanusa Nugroho, dan lainnya.
Untuk genre esai, misalnya, kami disuruh Pak Edi membaca sejumlah Jurnalisme Warga (JW) yang topiknya tak jauh dari kemampuan berpikir kami sebagai seorang siswa SMA.
Apakah topik kuliner atau topik destinasi wisata terbaru yang ditulis banyak penulis JW.
Esai adalah tulisan sederhana yang membahas apa saja, tapi mengandung unsur subjektivitas atau sudut pandang masing-masing orang.
Begitu juga jenis karya sastra cerpen.
Kami diminta Pak Edi membaca sejumlah cerpen yang ada di Ruangsastra.com di internet.
Di samping membaca, kami juga dianjurkan membeli buku tulis tebal dan menulis catatan harian.
Semua keterampilan, kata Pak Edi, dapat dikuasai.
Asalkan menggunakan asas: alah bisa karena biasa.
Nah, untuk memiliki keterampilan juga dapat menggunakan asas tersebut.
Kemudian beliau meminta kami berlatih menulis deskripsi, penggambaran tokoh, latar cerita, alur cerita, dan menulis menggunakan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga.
Buku menulis cerpen (dan novel) yang kami dijadikan rujukan adalah buku “Berguru kepada Sastrawan Dunia” karya Josip Novakovich dan “Creative Writing” karya AS Laksana.
Mengenai puisi, saya agak bingung.
Beliau ajukan contoh proses kreatif seperti Prof.
Sapardi Djoko Damono menulis puisi.
Menulis puisi dengan hati kemudian menyimpannya.
Besok atau besok- besoknya melihat kembali puisi yang ditulis dengan hati atau dengan perasaan tersebut.
Kalau dirasa sudah keren, dikirim ke media.
Kalau ada yang perlu diperbaiki sedikit, diperbaiki.
Pokoknya, kata Pak Edi, menulis itu pekerjaan sunyi.
Kalau kami tak ingin menulis apa pun, jangan ditulis.
Namun, untuk catatan harian, kami wajib menulis, minimal satu hari satu halaman.
Sebab, kata Pak Edi, kalau ingin jadi penulis caranya adalah menulis, menulis, dan menulis. (*)
Baca juga: Ayo Daftar! Lomba Menulis Milenial Merdeka Bersama Nasir Djamil Berhadiah Rp10 Juta
Baca juga: Sivia Menulis Sepenuh Hati di Single Suara