Tanggapi Pasal Perzinahan di KUHP, Anggota DPR RI Sebut untuk Cegah Pergaulan Bebas
Sudirta menambahkan, pasal ini memang sempat menjadi perdebatan panjang karena dinilai sebagai kewenangan negara yang melewati batas pribadi seseorang
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Wayan Sudirta menyampaikan tanggapan soal disinformasi di masyarakat tentang pasal perzinahan di KUHP yang baru saja disahkan DPR RI.
Sudirta menerangkan di masyarakat berkembang isu seakan dengan pasal 411 dan pasal 412 KUHP tersebut, ada sejumlah wisatawan membatalkan kunjungan ke Bali karena kuatir akan ancaman pidana dalam dua pasal KUHP tersebut.
Padahal, sejatinya menurut pejabat di Bali, tidak ada agen perjalanan membatalkan liburan ke Bali seperti santer diberitakan.
"Sebagai anggota DPR Periode 2019-2024 telah melihat berbagai pertimbangan maupun perdebatan terkait hal ini," ujar Sudirta dalam siaran persnya, Jumat (9/12/2022).
Sudirta menambahkan, pasal ini memang sempat menjadi perdebatan panjang karena dinilai sebagai kewenangan negara yang melewati batas pribadi seseorang.
Namun ada sebagian fraksi yang juga menyampaikan aspirasi dari beberapa pihak yang menginginkan Pasal ini ada.
Dengan alasan untuk memberikan perlindungan kepada generasi muda dari pengaruh seks bebas maupun sesuai dengan norma agama dan nilai adat.
Makna perzinaan dalam konteks dan nilai-nilai masyarakat Indonesia (bukan masyarakat kota besar saja), yang bersumber dari Agama, adat-istiadat, dan tata norma lainnya.
Hal ini, kata Sudirta, juga sejalan dengan norma hukum pidana yang menggali dan menghormati Hukum yang hidup dalam masyarakat.
"Pasal ini merupakan penghormatan kepada lembaga perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Para perumus sepakat untuk menjadikan pasal ini tetap diperlukan, namun harus diatur secara sangat ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan," terang Sudirta.
Baca juga: Kominfo Ajak Publik Lebih Cermat Lewat Sosialisasi “Antihoaks RUU KUHP”
Lanjut Sudirta, hal itu dirumuskan sebagai delik aduan dan pengaduan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak (suami/istri/orang tua/anak).
"Jadi tidak sembarangan dapat diberlakukan atau digunakan oleh aparat penegak hukum maupun pihak-pihak lain," kata Sudirta.
Selain itu, menurut Sudirta, pasal ini juga memberi penegasan adanya mekanisme hukum agar tidak terjadi persekusi oleh masyarakat yang selama ini sering terjadi.
Pasal ini merupakan representasi dari beberapa nilai dalam masyarakat yang melihat perbuatan ini sebagai hal melawan hukum atau kejahatan terhadap lembaga perkawinan maupun kejahatan materiil yang dapat merugikan pihak lain maupun masyarakat secara umum.
Hal diatas adalah pendapat dari berbagai Fraksi, para ahli, dan Pemerintah. Perdebatan panjang terjadi dan dicari jalan tengahnya.
"Saya pribadi setelah mendapat penjelasan dan data tersebut, melihat bahwa pasal ini terjadi sebagai jalan tengah dari seluruh kepentingan para pihak yang menginginkan hal yang berbeda-beda," tutur Sudirta.
Namun lebih dari itu, lanjut dia, pasal ini perlu ada sebagai harmonisasi terhadap UU Perkawinan (tujuan dan filosofi lembaga perkawinan) dan norma lain yang hidup dalam tata kehidupan bangsa Indonesia.
"Kita juga harus secara bijaksana melihat berbagai fenomena permasalahan di masyarakat seperti persekusi (pengarakan oleh masyarakat untuk menimbulkan malu), kawin kontrak yang sering merugikan WNI, dan fenomena lain yang dapat merusak keharmonisan kehidupan bangsa Indonesia," kata Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut.
Namun, ucap Sudirta, pengaturannya harus dilakukan secara ketat dan terbatas mengingat dalam hal ini Negara masuk dalam ruang privat sehingga membutuhkan aturan yang jelas dan ketat.
"Adapun jika adat istiadat atau norma adat dari daerah tertentu mengatur berbeda tentu dapat mengesampingkan pasal tersebut secara restoratif, yang dimungkinkan dalam KUHP. Namun tetap dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan tujuan dan filosofi negara Hukum," lanjut Sudirta.
Baca juga: Heboh Polemik LGBT di Indonesia, Anggota Komisi VIII DPR Minta RUU KUHP Disahkan
Sudirta menegaskan bahwa melihat perkembangan dari masyarakat di Indonesia maupun di dunia internasional yang heboh dan merasa takut akan pemberitaan mengenai pasal tersebut adalah wajar mengingat masyarakat belum sepenuhnya tersosialisasikan tentang pelaksanaan dan makna filosofi pasal tersebut.
"Kami dengan sangat terbuka akan menerima seluruh masukan dari masyarakat baik di dalam maupun luar negeri, mengingat KUHP baru akan berlaku pada 2025 dan terbuka pada seluruh kemungkinan seperti uji materi maupun perubahan UU. Masa transisi tersebut tentu akan menjadi kesempatan untuk melakukan sosialisasi dan pengujian oleh masyarakat maupun mekanisme hukum formil," imbuhnya.
Dalam hal ini, akibat belum maksimalnya sosialisasi, mengakibatkan Provinsi Bali tentu akan terdampak.
Namun, Sudirta menghimbau kepada seluruh pihak dan media massa (baik nasional maupun internasional) untuk secara bijak dan seimbang memberikan informasi atau pemberitaan yang komprehensif kepada masyarakat.
"Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang justru merugikan semua pihak dan berkesan seperti ada kepentingan terselubung untuk mencoba mengalihkan tujuan pariwisata Bali sebagai salah satu destinasi wisata dunia dan merugikan masyarakat di Bali," jelas Sudirta.
Baca juga: Terima Undangan Pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono, Raffi Ahmad Malah Bingung
Baca juga: Terima Undangan Pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono, Raffi Ahmad Malah Bingung
Baca juga: China Akan Ubah Gurun Tandus Arab Saudi Jadi Lahan Pertanian, Bangun Industri dan Pabrik Makanan
Tribunnews.com: Anggota DPR Sebut Pasal Perzinahan di KUHP untuk Cegah Pergaulan Bebas