Kilas Balik Tsunami Aceh 2004

Sepenggal Cerita Korban Tsunami Aceh 2004 - Kisah tak Sampai ke Alue Naga

Kisah pasangan suami istri yang hendak ke pantai Alue Naga namun dihadang oleh gelombang Tsunami pada 26 Desember 2004.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Amirullah
Dok ACT Aceh
Kawasan Krueng Raya, Aceh Besar hancur tak berbentuk akibat tsunami 2004. 

Sepenggal Cerita Korban Tsunami Aceh 2004 - Kisah tak Sampai ke Alue Naga

SERAMBINEWS.COM - Hari ini, 18 tahun yang lalu atau tepatnya 26 Desember 2004, menjadi peristiwa yang paling memilukan bagi masyarakat Aceh. 

Gempa berkekuatan 9,0 SR dan gelombang tsunami setinggi 30 meter, menghantam sebagian wilayah Aceh, menjadi lembaran duka dalam sejarah Indonesia.

Kejadian itu terjadi pada hari Minggu, hari yang semestinya bisa digunakan oleh masyarakat untuk beristirahat, berkumpul bersama keluarga, dan menikmati libur akhir pekan bersama.

Tapi tidak dengan Minggu saat itu, masyarakat justru harus berhadapan dengan alam yang tengah menunjukkan kekuatannya.

Baca juga: Kisah Cut Putri, Sosok yang Membuka Mata Dunia tentang Betapa Dahsyatnya Bencana Tsunami Aceh

Ratusan ribu nyawa manusia menjadi korban dari bencana mahadahsyat di abad ini.

Sebuah arsip berita Harian Serambi Indonesia edisi Selasa 4 Januari 2005, memuat kisah pasangan suami istri yang hendak ke pantai Alue Naga namun dihadang oleh gelombang Tsunami.

Artikel ini ditayangkan kembali untuk memperingati 18 tahun bencana Tsunami Aceh 2004, Senin (26/12/2022).

Kisah tak Sampai Ke Alue Naga

Kalau dilihat dari namanya, Alue Naga kedengarannya sekilas sangat angker.

Alue dinisbatkan untuk parit besar menyeramkan dan bersemak yang biasanya ditumbuhi alang-alang, bakau, pohon-pohon rumbia dan sejenisnya.

Tentunya akan bertambah seramnya kalau kawasan itu tambah dengan Naga, yang menyiratkan kawasan angker dihuni naga-naga.

Namun, nama angker tidak selalu penuh dengan keangkeran, Alue Naga malah sebaliknya.

Alue Naga adalah sebuah kawasan pantai indah, yang letaknya tidak jauh dan Jembatan Kreueng Cut Banda Aceh, atau sekitar 6 km dari pusat kota Banda Aceh, yang cocok untuk pariwisata karena keindahan pantainya.

Baca juga: Sosok Delisa, Korban Selamat Tsunami Aceh yang Kehilangan Kaki, Begini Kabarnya Kini

Di pagi hari, di ujung timur, terihat matahari indah kemerah-merahan yang baru bangun dari peraduannya.

Di sore hari, dari ujung barat, nampak matahari melambaikan tangan untuk permisi kembali ke ufuk.

Cocok juga untuk kawasan pancingan yang punya hobi mancing dan sejenisnya.

Makanya wajar kalau setiap pagi Minggu sampai sore hari, banyak muda mudi dan bahkan para pasangan muda berdatangan kesana untuk menikmati indahnya Pantal Alue Naga.

Apalagi di sana juga dijual berbagai macam makanan untuk sarapan pagi.

Seperti kebanyakan muda-mudi dan pasangan muda, saya bersama isteri pun yang baru saja menikah sekitar lima bulan yang lalu (Juli 2004), tertarik untuk menikmati pantai Alue Naga.

Selain untuk menikmati secangkir kopi atau beberapa pisang goreng, kami biasanya membeli ikan segar yang baru diangkat ke daratan Alue Naga oleh para nelayan. Makanya kami sering ke sana.

Suasana Simpang Lima Banda Aceh saat diterjang tsunami Minggu 26 Desember 2004.
Suasana Simpang Lima Banda Aceh saat diterjang tsunami Minggu 26 Desember 2004. (SERAMBINEWS.COM/BEDU SAINI)

Baca juga: Kisah Sedih Titiek Puspa Melihat Aceh yang Telah Porak Poranda Diterjang Gelombang Tsunami

Namun di pagi Minggu itu (26/12/ 2004), sebelum berangkat ke sana, persis selepas shalat Subuh, kami sempat menikmati udara pagi sambil berlari-lari pagi di seputaran kampus IAIN (UIN) Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala.

Kemudian baru kami pulang ke rumah untuk mengambil sepeda motor untuk melaju ke sana (Alue Naga).

Tetapi sesampai di rumah di Kawasan Jalan Lingkar Kampus, kami dapati adik-adik kami sedang makan Lontong.

Kami pun ikut membantu mereka makan biar cepat habis.

Ketika sedang asyik-asyiknya sarapan sembari nonton TV, bergoyanglah bumi secara tiba-tiba, semakin kuat dan semakin kuat.

Berhamburan keluar rumah dan memegang tanah kami semua.

Sempat juga salah satu adik kami yang doyan makan membawa keluar piring lontongnya untuk dimakan tanpa sadar sambil duduk memegang tanah.

Hal tentunya mengundang tawa di tengah kepanikan.

Kira-kira 15 menit kemudian, gempa pun mulal reda, sekaligus meredakan kepanikan kami secara perlahan.

Yakin dengan redanya gempa, kami kembali meneruskan niat untuk berangkat lagi ke Pantal Alue Naga dan meminta adik-adik kami untuk mempersiapkan bumbu masakannya.

Berangkatlah kami berboncengan sepeda motor.

Namun di tengah jalan, timbul niat saya untuk singgah sebentar di rumah teman akrab kami.

Siapa tahu mereka yang juga masih pasangan muda mau pergi sama-sama ke Pantai Alue Naga

Sesampainya di rumah itu, ternyata suaminya yang punya hobi memancing ikan sudah pergi dari subuh ke sana.

Terpaksa kami tunggu kepulangannya dan mengisi masa penantian itu dengan mengobrol panjang lebar tentang cerita gempa yang baru terjadi.

Tidak lama kemudian, dia pulang dengan tergopoh-gopoh dan menceritakan bahwa jalan-jalan menuju ke dan dari Pantai Alue Naga mengalami keretakan serius dan bahkan menjadi bongkahan-bongkahan besar.

Untung dia masih sempat menemukan jalan alternatif sehingga bisa keluar dari kawasan itu dan sampai ke rumah.

Ketika sedang asyik-asyiknya ngobrol sekonyong-konyong dari kejauhan sana, atau persisnya dari daerah menuju Alue Naga, terlihat air bah raksasa yang sudah menggunung tinggi, menenggelam pepohonan.

Semuanya bagaikan laut. Segera kami tancapkan gas untuk pulang ke rumah melewati jembatan Lamnyong untuk memberitahukan adik-adik kami dan menyelamatkan barang-barang penting semampu kami.

Segera kami pacu sepeda motor di atas jembatan Lamnyong yang sedang di hempas air bah raksasa.

Menjeritlah isteri saya ketakutan melihat air yang bergerak cepat dan bergulung-gulung, seakan-akan menabrak jembatan panjang yang sedang kami lalui.

Dengan nafas terengah-engah akhirnya sampailah kami di ujung jembatan dengan selamat.

Namun di sana, terlihat orang-orang mulai panik berlarian dari air yang sudah mulai memasuki perkampungan di Kopelma Darussalam itu.

Dengan sangat sulit, karena berlawanan arah dengan orang-orang berlarian itu, kami menggapai rumah.

Segera kami beritahukan adik-adik kami yang sedang terheran-heran untuk berlari dan mengambil ijazah dan beberapa potong baju.

Dengan membonceng isteri, saya tancap gas lewat tumit-tumit orang yang berlari ketakutan.

Kami lari ke atas perbukitan di sekitar kawasan Blang Bintang, Aceh Besar.

Sedangkan adik-adik kami hanya naik ke atas masjid kampus Darussalam, karena tak sanggup berlari jauh.

Beberapa jam kemudian, dengan perasaan was-was, saya mencoba memastikan keadaan adik-adik saya di mesjid Kampus. Ternyata airnya tidak sampai ke sana.

Namun ratusan mayat dan orang-orang yang terluka sudah baringkan di sana.

Dua orang yang sempat selamat, namun mengalami luka serius dan kelihatan sangat trauma, dengan pandangan kosong mengatakan bahwa seluruh anggota keluarga mereka di Alue Naga sudah dihantam ombak.

Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di sana.

Mendengar cerita itu, saya jadi merinding. Syukur sekali kami tidak sempat langsung ke Alue Naga pagi itu.

Setelah kami hitung, kira-kira ada empat sebab yang menghalangi langkah kami:

(1) sebab lari-lari pagi lebih dahulu;

(2) sebab ikut makan lontong bersama adik-adik;

(3) sebab singgah sebentar ke rumah teman; dan

(4) sebab menunggu suami teman kami itu.

Namun semua sebab itu terjadi semata-mata karena Allah belum menghendaki kami untuk sehidup semati di Alu Naga.

Itulah sepotong kisah kami yang tak sampai pergi bersuka cita ke Alue Naga, dan kini harus berduka cita karena rumah kami hancur.

Saudara-saudara kami banyak yang meninggal dan terpaksa kami mengungsi pulang ke kampung orang tua kami di Desa Blang Cut Meurah Mulia, Aceh Utara. (Arsip Serambi Indonesia/Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved