Berita Jakarta
Pengakuan Lembaga Asing tentang Rohingya, Ditolak India, Diabaikan Malaysia, Digiring ke Aceh
Pihak asing sengaja mengirim kapal pengungsi Rohingya ke Aceh untuk kemudian diselundupkan ke Malaysia, menjadi berita utama di banyak media
Pendaratan imigran Rohingya ke Aceh semakin sering.
Dari November 2022 hingga sekarang, sudah lima kapal pengangkut imigran yang masuk ke Aceh.
Lalu bagaimana mereka bisa sampai ke Indonesia, siapa yang menggiring mereka ke Aceh?
PERNYATAAN Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Achsanul Habib, yang mengeklaim bahwa pihak asing sengaja mengirim kapal pengungsi Rohingya ke Aceh untuk kemudian diselundupkan ke Malaysia, menjadi berita utama di banyak media.
Dalam pernyataannya, Achsanul Habib menyebutkan, para pengungsi dibekali alat GPS yang langsung terkoneksi ke sejumlah lembaga internasional, baik itu LSM maupun kedutaan besar.
Namun saat dikonfirmasi ulang oleh BBC News Indonesia pada Senin (9/1/2023), Achsanul Habib mengatakan bahwa media telah salah mengutip perkataannya.
Tetapi dia juga menolak untuk mengklarifikasi lebih lanjut.
Meski demikian, terkait tudingan tersebut, Chris Lewa dari Arakan Project, kelompok advokasi yang menangani pengungsi Rohingya, menyampaikan, pihaknya memang melacak koordinat GPS satu kapal pengungsi yang mendarat di Kabupaten Pidie pada tanggal 26 Desember lalu, namun tujuannya ialah memastikan mereka bisa diselamatkan.
Dia menjelaskan bahwa timnya yang berbasis di Thailand telah berkontak dengan keluarga orang-orang di atas kapal.
Kapal pengungsi jarang memiliki telepon satelit sehingga para penumpang dapat mengontak keluarga mereka di Bangladesh.
“Jadi kami minta setiap kali mereka menelepon untuk memberi kami koordinat GPS,” kata Chris kepada BBC News Indonesia.
Baca juga: Segini Imigran Rohingya Keluarkan Biaya untuk Tiba di Aceh, Kapten Kabur dengan Boat Lain di Laut
Baca juga: Golkar Pidie Salurkan Rapid Test Antigen, Bantu Rohingya hingga Masyarakat
Ketika pertama kali menerima koordinat GPS pada tanggal 5 Desember, mereka mengetahui bahwa kapal sedang dalam masalah karena mesinnya rusak dan para pengungsi terkatung-katung di lautan.
Chris dan rekan-rekan aktivisnya mengumpulkan koordinat GPS dan mengirimkannya ke PBB dan sejumlah kedutaan besar.
Mereka berusaha supaya siapapun bisa menyelamatkan kapal tersebut, tidak hanya Indonesia.
Menurut Konvensi Internasional tentang Pencarian dan Penyelamatan Maritim (IMO), setiap negara memiliki zona tempat mereka bertanggung jawab untuk melakukan penyelamatan di lautan.
Koordinat GPS mengindikasikan bahwa India sempat menghentikan kapal tersebut dan kemudian mengarahkannya ke Indonesia.
"Para penumpang kapal mengonfirmasinya," kata Chris.
GPS juga menunjukkan bahwa selama sebagian besar waktu kapal tersebut terkatung-katung di lautan, kapal itu berada di wilayah penyelamatan Malaysia.
Oleh karena itu pada bulan Desember, sejumlah aktivis termasuk Dokter Tanpa Batas (MSF) meminta pemerintah Malaysia untuk menyelamatkan kapal yang membawa 174 pengungsi tersebut.
“Jadi masalahnya sebenarnya bukan kami yang mengarahkan kapal ke Indonesia.
Melainkan pemerintah lain,” kata Chris.
Pasalnya, tidak ada negara di kawasan kecuali Indonesia yang mengizinkan para pengungsi Rohingya untuk turun dari kapal.
Jadi, dia berkata, sangat jelas mengapa para warga Rohingya mendarat di Indonesia, yakni karena tidak ada negara lain yang mau menerima mereka.
Tidak Malaysia, tidak Thailand, tidak India.
Baca juga: Golkar Pidie Salurkan Rapid Test Antigen, Bantu Rohingya hingga Masyarakat
“Sejauh ini hanya Indonesia yang telah menerima mereka, tetapi tujuan akhir mereka bukan Indonesia.
Tujuan akhir mereka adalah Malaysia, tetapi satu-satunya cara mereka bisa tiba di Malaysia adalah dengan mencoba pergi ke Indonesia terlebih dahulu.
Dan itu masalah karena, dan juga saya takut, lebih banyak kapal akan melakukan ini,” terang Chris.
Sesampainya di Indonesia, banyak pengungsi yang kemudian membayar hingga puluhan juta rupiah kepada penyelundup manusia demi bergabung dengan keluarga mereka di Malaysia.
Indonesia dan Malaysia sama-sama belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, namun Malaysia menjadi negara tujuan utama bagi para pengungsi Rohingya karena berbagai alasan.
Sejak awal Januari, sudah hampir 30 pengungsi melarikan diri dari tempat penampungan sementara di Kota Lhokseumawe.
Aparat setempat mengatakan, tidak tahu pasti tujuan mereka tetapi menduga kuat mereka menuju ke Malaysia.
Menurut Chris, ini menunjukkan perlunya respons regional.
Indonesia tidak bisa menjadi satu-satunya negara yang menyelamatkan kapal Rohingya.
“Ini perlu dilakukan dengan berkoordinasi dengan kawasan.
Dan itu satu-satunya jalan menurut saya,” ujarnya.
Baca juga: KMS Desak Pemerintah RI Maksimalkan Penanganan 600 Rohingya Terdampar di Aceh
Chris menjelaskan Indonesia bukan satu-satunya negara yang menjadi unwilling transit bagi pengungsi Rohingya.
Thailand juga mengalami masalah yang sama karena sebagian pengungsi Rohingya menyeberang dari Myanmar ke Thailand, sebelum lanjut ke Malaysia.
Selain itu, aparat penegak hukum perlu melakukan penangkapan pada orang-orang yang terlibat dalam penyelundupan imigran Rohingya, seperti yang dilakukan Polda Aceh pada 2020.
Tetapi masalahnya, kata Chris, hampir belum pernah ada penyelundup yang ditangkap di Malaysia atau Bangladesh.
Ia menduga kuat otoritas Bangladesh tidak peduli dengan persoalan ini.
Sementara itu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa penanganan masalah pengungsi tidak bisa diselesaikan dengan apa yang terjadi di lapangan.
Namun kuncinya harus diselesaikan dari tempat permasalahan, apakah itu di wilayah Rakhine atau di Bangladesh.
Dalam konteks yang lebih besar, menurut Faizasyah, menghentikan konflik yang terjadi di wilayah Rakhine bisa membantu mengatasi masalah pengungsi Rohingya ini.
“Itu belum bisa kita lakukan di saat sekarang tanpa kooperasi atau kerja sama antara pemerintah Myanmar dengan pihak-pihak yang berkonflik,” kata Faizasyah.
Dalam konferensi pers usai pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Senin (9/1/2023), Presiden Joko Widodo tidak membahas tentang pengungsi Rohingya tapi menekankan pentingnya pelaksanaan Lima Poin Konsensus dalam menyelesaikan konflik di Myanmar.
Lima Poin Konsensus adalah kesepakatan yang dibuat oleh sembilan pemimpin ASEAN dan pemimpin junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing pada pertemuan tingkat tinggi di Jakarta, 24 April 2021.
Lima poin itu adalah: penghentian kekerasan di Myanmar, dialog antara semua pemangku kepentingan, penunjukan utusan khusus, mengizinkan bantuan kemanusiaan oleh ASEAN, membuka akses bagi utusan khusus ASEAN untuk bertemu dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar.
Banyak yang menyebut Lima Poin Konsensus ini telah gagal dan menyarankan agar ASEAN menyerahkan persoalan Myanmar ke PBB. (BBCIndonesia)
Baca juga: Cara Rohingya Capai Daratan Aceh, Begini Pengakuan Imigran dari Camp 3 Kutupalong Bangladesh
Baca juga: 184 Imigran Rohingya Mendarat di Aceh Besar, Pj Bupati Perintah Tim Bantu Secara Kemanusiaan
Tok! DPT Kongres PWI 2025 Disepakati 87 Suara, Per Provinsi 5 Peninjau |
![]() |
---|
Keren! Panpel Siapkan Live Streaming Youtube untuk Kongres Persatuan PWI 2025 |
![]() |
---|
Perangko Bergambar Mr Teuku Moehammad Hasan Diluncurkan, Masuk Seri Para Pendiri Bangsa |
![]() |
---|
Prabowo Beri Hadiah Kemerdekaan, Tetapkan 18 Agustus 2025 Jadi Hari Libur |
![]() |
---|
Menteri Imipas Sebut Hampir 1.000 Warga Binaan Dipindahkan ke Nusakambangan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.