Cerita Mantan Kombatan Teroris Kenapa Bisa Bergabung dengan ISIS
Mantan kombatan teroris bercerita kenapa bisa bergabung dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Penulis: Sara Masroni | Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM - Mantan kombatan teroris bercerita kenapa bisa bergabung dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Ketua Yayasan API dan Foreign Terrorism Fighter, Muhammad Aulia SPdI bercerita, akar permasalahan terorisme dan radikalisme tidak tunggal.
Banyak faktor yang menyebabkan, baik berupa faktor ideologi, kemudian faktor non-ideologi.
Secara ideologi artinya berkaitan dengan spiritual. Sementara non-ideologi lebih kepada motivasi yang muncul dari berbagai sebab, seperti ketidakadilan dan sebagainya.
Mantan teroris ISIS itu bercerita, pengalamannya bergabung dengan kelompok yang notabenenya dilarang yakni ISIS, berawal dari rasa simpati.
"Sebenarnya berawal dari rasa simpati dengan isu-isu kemanusiaan yang berkembang di sana seperti Palestina, Suriah dan Irak," ungkap Aulia dalam Serambi Podcast bersama Hurriah Foundation bertajuk Pasang Surut Radikalisme dan Terorisme di Aceh dipandu host Iska Novita di Studio Serambi FM, Jumat (13/1/2023).
Ketua Yayasan API dan Foreign Terrorism Fighter berujar, ketika sangat bersimpati, kemudian muncul keinginan yang sifatnya emosional membantu saudara-saudara seagama yang ditumpas, ditindas, ditumpahkan darahnya, dijarah dan dijajah.
"Pandangan kami dulu, wajib kita datang ke sana dengan segenap kemampuan yang kita miliki untuk membela harta mereka, darah mereka dan agama mereka," ungkap Aulia.
"Karena tidak terkontrol dengan baik, maka terjadilah kebablasan, akhirnya memutuskan untuk bergabung," tambahnya.
Baca juga: Arab Saudi Kutuk Serangan Teroris Dekat Kementerian Luar Negeri Afghanistan
Kemudian motivasi ini juga didukung dengan propaganda-propaganda media, sebagaimana diketahui ISIS memiliki banyak video propaganda-propaganda.
Video-video propaganda tersebut kemudian memotivasi dirinya berjihad ke sana waktu itu.
"Makanya di sini perlu rasionalisasi sebenarnya. Semangat itu bagus, cuma karena tidak terarahkan sehingga menjadi tindakan-tindakan yang sifatnya destruktif (merugikan diri sendiri dan orang lain)," ungkap Aulia.
Kemudian yang kedua, sebab non-ideologi bisa berkaitan dengan ketidakadilan dalam hukum, pembangunan dan ekonomi.
Semua itu jadi pendukung seseorang menjadi terorisme bila sudah memiliki motivasi sejak awal, ditambah dengan tidak adanya perhatian semua pihak mengontrol masalah ini.
Baca juga: Iran Adili Dua Warga Prancis dan Belgia, Inggris Masukkan Pengawal Revolusi Sebagai Kelompok Teroris
Sementara Napiter Deportan Afiliasi ISIS, Muhammad Zikir juga mengungkapkan hal yang sama.
Keprihatinan terhadap isu-isu kemanusiaan yang berkembang di Timur Tengah, khususnya di Suriah menjadi motivasi utama seseorang untuk bergabung dengan ISIS menjadi teroris.
Ia bercerita, pada 2014-2015 lalu, perkembangan isu kemanusiaan di Timur Tengah sangat booming.
"Ada satu kelompok perlawanan, namanya ISIS. Dibentuk untuk melawan pemerintahan Bashar Al Assad sewaktu itu," ungkapnya.
Pihaknya beranggapan Bashar Al Assad ini menindas atau mengintimidasi muslim-muslim sunni sebagai minoritas di sana saat itu.
Baca juga: Remaja Penyerang Polisi New York Dengan Pisau Pada Malam Tahun Baru 2023 Dituduh Sebagai Teroris
Mereka menyebarkan video-video propaganda, artikel hingga seruan dari ulama-ulama di sana.
"Terjadilah kehilangan kontrol, rasionalitas dalam berpikir itu tidak ada lagi. Yang kita kedepankan emosional," ungkap Zikir.
Kemudian pada 2019, Napiter Deportan Afiliasi ISIS itu bersama teman-temannya melakukan konsolidasi untuk berangkat ke Afghanistan.
Namun mereka tertahan di bandara di Thailand dan diintrogasi, kemudian dikembalikan ke Indonesia untuk menjalani hukuman.
Ia juga mengingatkan kalau teroris ini benar-benar ada, bukan sekadar teori konspirasi.
"Buktinya kita ini ada," jelas Zikir yang kini sudah menjadi mantan teroris.
Baca juga: Presiden Ukraina Tuduh Rusia Sudah Menjadi Teroris Energi, Putin Sebut Tidak Punya Pilihan
Sementara akademisi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Dr Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menjelaskan, ada perbedaan antara radikalisme dan terorisme.
Sebab menurutnya, seseorang yang radikal belum tentu jadi teroris.
"Tapi kalau mereka sudah menjadi teroris, itu sudah pasti salah atu jalannya adalah melalui radikal," jelas pria yang akrab disapa KBA itu.
Akademisi UIN Ar-Raniry itu juga menyampaikan, semua agama terdapat gejala teroris, bukan hanya dalam Islam.
"Karena itu dalam kajian terorisme, kita selalu tidak pernah mengatakan itu bagian dari ajaran Islam," ujar KBA.
Baca juga: Agus Mantan Napi Teroris yang Pelaku Peledakan Bom Sukar Disadarkan, Ini Kesaksian Teman Kecilnya
Alasannya karena beberapa literatur menyebut aksi-aksi radikalisme dan terorisme juga dilakukan di beberapa agama lainnya.
Menurutnya, selama 20 tahun meneliti kajian terorisme alasan menjadi teroris lebih karena alasan spiritual.
"Ketika pengalaman spiritual terjadi dan tidak ada yang mengarahkan, sehingga disebut creative imagination dan terjadilah proses itu," pungkasnya.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.