Internasional

Sanksi Tak Halangi Ekspor Migas, Eropa dan Asia Lebih Bergantung ke Rusia Dibandingkan AS

Persatuan pemerintahan Barat, khususnya di Uni Eropa yang menghukum Rusia mulai ada perbedaan.

Editor: M Nur Pakar
AFP/File
Kilang minyak Rusia di Siberia Timur 

SERAMBINEWS.COM, WASHINGTON - Persatuan pemerintahan Barat, khususnya di Uni Eropa yang menghukum Rusia mulai ada perbedaan.

Negara-negara Uni Eropa dan Asia lebih bergantung pada minyak dan gas (migas) Rusia dibandingkan dari Amerika Serikat (AS).

Sehingga, membuat larangan ekspor Rusia sulit bagi aliansi dan memaksa kompromi yang membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dipalsukan.

Pada akhirnya, negara-negara Eropa pada Desember 2022 menetapkan batas harga $60, yang menurut beberapa kritikus datang terlambat dan terlalu tinggi untuk merugikan Rusia secara signifikan.

Para ahli dan pejabat administrasi mengatakan memberikan tekanan lebih besar pada penjualan minyak dan produk energi lainnya dari Rusia akan membuat sanksi lebih efektif.

Bagi Marshall Billingslea, asisten menteri keuangan untuk pendanaan teroris di pemerintahan Trump, sanksi itu jauh dari antipeluru dan mudah untuk dihindari Kremlin.

Baca juga: Uni Eropa Tambah Sanksi Baru ke Rusia, Embargo Pengiriman Produksi Minyak Rusia

“Rusia telah membobol sanksi administrasi,” kata Billingslea.

Tom Firestone, seorang pengacara sanksi, mengatakan lebih banyak waktu diperlukan agar sanksi dapat berjalan.

“Siapa pun yang mengharapkan sanksi besar-besaran ke rezim Rusia akan jatuh, tidaklah masuk akal,” kata Firestone.

“Ini ekonomi besar yang memiliki cadangan besar," ujarnya.

"Rusia memiliki berbagai macam mitra dagang," tambahnya, seperti dilansir AP, Rabu (22/2/2023).

"Apa yang kami lihat dan apa yang dikatakan pemerintah, mereka berada di jalur yang benar dan itu sangat membatasi kemampuan Rusia belum berhasil," jelasnya.

Baca juga: 100 Tank Leopard Dari 12 Negara Eropa Siap Dikirim ke Ukraina, Jika Jerman Menyetujui

Rusia juga mencari hubungan yang lebih dalam dengan negara-negara yang menolak bergabung dalam upaya sanksi.

Ekspornya ke Brasil, China, India, dan Turkiye telah meningkat setidaknya 50 persen sejak perang dimulai dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menurut Layanan Riset Kongres.

“Rusia menjadi negara yang berbeda hari ini dibandingkan setahun lalu,” kata Adeyemo.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved