Opini
Haji: Rekam Jejak Ibrahim AS
DAN berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang d
H Abdul Gani Isa, Anggota MPU Aceh
“DAN berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.(QS.Al-Hajj:27).
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan bahwa setelah selesai Ibrahim AS, bersama anaknya Ismail AS, membangun kembali Kabah, Allah SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk menyeru manusia mengunjungi Baitullah (rumah Allah) tersebut untuk beribadah. Ibrahim menjawab, Ya Allah, tak mungkin suara saya bisa sampai karena ada laut, ada gunung, Allah menegaskan “seru dan panggil” soal tidak sampainya itu urusan-Ku (jawab Allah). Selanjutnya Ibrahim naik di atas Jabal Qubis menyeru dan memanggil manusia, sesuai firman Allah di awal tulisan ini.
Haji, merupakan rukun Islam yang kelima, yaitu mengunjungi Baitullah untuk melakukan tawaf, sa’i dan wukuf di Arafah. Kewajiban haji hanya diperuntukkan bagi yang mampu, atau disebut dengan Istita’a, sesuai isyarat al-Qur’an walillahi ‘alannasi hijjul baiti manistata’a ilaihi sabila (QS, Ali Imran:97). Karena beratnya ibadah yang dilakukan, maka haji juga disebut dengan jihad maksudnya diperlukan kesungguhan dari setiap orang yang berhaji.
Rasulullah saw, juga memberi penekanan bagi umat Islam untuk melakukan safar/perjalanan kepada tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha di Palestina. Tidaklah berlebihan, bila dikatakan safar untuk haji merupakan rihlah muqaddasah (perjalanan yang suci).
Perjalanan haji tidaklah sama dengan rekreasi, tur atau wisata biasa. Tetapi haji adalah perjalanan suci yang dituju adalah untuk menemukan fitrah dirinya, di hadapan zat yang suci, yaitu Allah swt. Untuk itu pula biaya haji harus suci/bersih, niatnya ikhlas semata-mata mengharapkan ridha-Nya, bukan ridha manusia, yang akhirnya meraih haji mabrur.
Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi umat Islam yang tahun ini berkesempatan dan diberi kemudahan oleh Allah menunaikan rukun Islam kelima, sekaligus memenuhi panggilan Allah swt, sesuai firman Nya di awal tulisan ini, yaitu ibadah haji di Tanah Suci. Kebahagiaan di sini dimaksudkan, dengan niat dan cita-cita yang tulus, sekalipun merasa dirinya kurang mampu, tapi bisa sampai ke rumah Allah (Baitullah). Namun fakta menunjukkan, banyak pula orang-orang kaya, memiliki kekayaan lebih, dan berkecukupan (istita’a) namun belum tergerak hati dan niatnya untuk berangkat haji.
Makna mabrur
Menurut Al-Qurtubi, haji yang mabrur ialah haji yang dapat disempurnakan hukum- hukumnya dan dilaksanakan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, melaksanakannya sesempurna mungkin, sesuai yang dicontohkan Rasulullah saw. Jadi haji mabrur, adalah haji yang baik, sempurna dan diterima di sisi Allah swt.
Setiap calon jamaah haji yang berangkat, tidak ada harapan lain selain ibadahnya sempurna baik rukun, wajib haji maupun sunat dan akhirnya kembali meraih haji mabrur. Kemabruran tidaklah karena banyaknya handai taulan datang untuk “pesijuek” hampir setiap hari, bukan pula karena banyaknya keluarga dan ahli famili yang mengantarkannya dengan “tawa” dan “tangis”.
Tapi kemabruran itu sangat ditentukan “nawaitu” nya dalam melaksanakan ibadah baik sejak saat berangkat maupun ketika melakukan manasik (ibadah) di Tanah Suci, bahkan setelah kembalinya dari Tanah Suci.
Pesan buat jamaah
Niat Ikhlas. Kesempurnaan ibadah tentu tidak bisa dilepaskan dari sebuah prosesi awalnya, yaitu “niat yang ikhlas”. Rasulullah mengatakan “al-ikhlashu sirrun min sirri istauda’tuhu qalban man ahbabtu min ‘ibadi”, ikhlas sebuah rahasia dari rahasia-Ku, Aku tempatkan di dalam hati bagi siapa saja yang Aku cintai dari hamba-Ku”. Ikhlas memberi makna “ridha Allah”, semata-mata bertaqarrub kepada-Nya. “Innamal a’malu binniyyat”, hanya saja amal itu menurut niat (HR.Bukhari Muslim). Ikhlas itu pula yang membuat seseorang tenang dan tidak merasa berat dalam setiap tugas dan amaliahnya. Dalam ungkapan bahasa Aceh disebutkan: “Beget niet dengan qashad, pebuet ibadah hate nyang suci”. “Keudeh u Makkah laju tujuan penuhi panggilan Allah”.
Jauhi Riya. Bid’ah dan syirik riya identik dengan pamer, ingin dipuji orang. Rasulullah saw menjelaskan bahwa riya termasuk “syirik khafi”. Sifat ini sangat ditakutinya karena disadari atau tidak banyak umatnya digandrungi syirik khafi, karena riya. Selain riya juga perlu dihindari “bid’ah”, yaitu menambah-nambah dalam ibadah yang tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah saw. Mengerjakan sesuatu yang tidak ada nashnya berdampak kepada dua hal, pertama, bid’ah dan kedua, merusak akidah.
Bid’ah karena kita menambah-nambah waktu dan tempat beribadah seperti shalat sunat di Jabal Nur, Jabal Tsur dan Jabal Rahmah. Sedangkan bisa merusak akidah karena beranggapan tempat itu berkah. Selain itu juga perlu menjaga jangan sampai amaliahnya menjurus kepada syirik. Seperti meyakini dengan mencium Hajarul Aswad misalnya, akan menjadi saksi di akhirat nanti.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.