Besok, Jokowi ke Rumoh Geudong, Ini Permintaan Zaini Abdullah soal Penyelesaian Pelanggaran HAM Aceh
Abu Doto, sapaan akrab Zaini Abdullah, yang juga termasuk salah satu elit GAM terlibat dalam perundingan dan penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus
Penulis: Subur Dani | Editor: Mursal Ismail
Abu Doto, sapaan akrab Zaini Abdullah, yang juga termasuk salah satu elit GAM terlibat dalam perundingan dan penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, berharap penyelesaian pelanggaran HAM tersebut dilakukan secara komprehensif.
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Mantan Gubernur Aceh yang juga elite GAM, Zaini Abdullah, menyambut baik penyelesaian non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Aceh yang besok, Selasa (27/6/2023), resmi dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di Kompleks Rumoh Geudong di Pidie.
Abu Doto, sapaan akrab Zaini Abdullah, yang juga termasuk salah satu elit GAM terlibat dalam perundingan dan penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005, berharap penyelesaian pelanggaran HAM tersebut dilakukan secara komprehensif.
“Penyelesaian pelanggaran ini harus komprehensif karena ini menyangkut harkat martabat rakyat Aceh,” kata Zaini Abdullah dalam keterangan tertulis yang diterima Serambinews.com, Senin (26/6/2023).
Menurut mantan menteri luar negeri GAM itu, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian Pemerintah RI dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh.
Pertama, menyangkut dengan MoU Helsinki dan UUPA yang sampai kini belum terlaksana dengan baik.
“Pemerintah RI dengan segala keikhlasannya untuk menjalankan seluruh butir MoU Helsinki dan UUPA sebagai komitmen bersama,” kata Abu Doto.
Baca juga: Pelanggaran HAM Rumoh Geudong Didata Kembali, Begini Penjelasan Mahfud MD Saat di Pidie
Kedua, salah satu di antara banyak komitmen dalam MoU tersebut adalah penyelesaian pelangaran HAM pada masa konflik Aceh dengan segala instrumen yang harus dibentuk, termasuk KKR (Komisi Kebenaran Rekonsiliasi) dan keberadaannya harus difungsikan secara maksimal.
Ketiga, menurut Abu Doto, bahwa kasus pelanggaran HAM berat di Aceh tidak hanya di tiga tempat yang sudah diakui saja, yakni Rumoh Geudong, Pidie, Simpang KKA Aceh Utara, dan Jambo Keupok, Aceh Selatan saja.
Tetapi banyak kasus pelanggaran lainnya seperti kasus Bantaqiah di Beutong Ateuh, Nagan Raya dan lain-lain yang harus mendapat perhatian yang sama dari Pemerintah.
“Karena ini menyangkut rasa adil yang mesti dirasakan oleh setiap korban pelanggaran tersebut,” tulis Abu Doto.
Keempat, pendataan korban pelanggaran HAM harus terdata dengan baik dan benar, sehingga pemberian berupa kokpensasi dan lain-lain bisa tepat sasaran, karena ini menyagkut marwah korban atau keluarganya.
“Kelima, sebagai bentuk memorialisasi bagi generasi mendatang, Rumoh Geudong itu sebenarnya sarana penting untuk mengingat peristiwa kelam tersebut sehingga di kemudian hari peristiwa yang sama tersebut tidak terjadi lagi,” katanya.
Baca juga: Memberangus Rumoh Geudong, Mengubur Tragedi Kemanusiaan
Memorialisasi itu dimaksudkan sebagai sarana edukasi dan pembelajaran sejarah.
Meski demikian Abu doto berharap sama seperti harapan elemen sipil Aceh lainnya, yakni di lokasi tersebut sebaiknya dibangun sebuah museum yang bisa membawa manfaat ke semua pihak tidak hanya bagi Aceh, tapi juga bagi masyarakat internasional.
Abu Doto sendiri mengaku mendapat undangan Menkopolhukam untuk menghadiri menghadiri acara “Kick off” Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat yang dipusatkan di Rumoh Geudong Pidie dan dihadiri Presiden Joko Widodo.
”Saya ucapkan terima kasih atas undangannya, namun karena satu dan lain hal kemungkinan saya tidak bisa berhadir,” ujarnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.