Nezar Patria Jadi Wamenkominfo

Nezar Patria Jadi Wamenkominfo, Ini Deretan Tokoh Aceh yang Pernah Masuk Kabinet Indonesia

Presiden Joko Widodo resmi melantik Nezar Patria sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) di Istana Negara, Jakarta

Penulis: Masrizal Bin Zairi | Editor: Muhammad Hadi
Capture Youtube Sekretariat Presiden
Pelantikan Menteri, Wamen, dan Anggota Wantimpres Sisa Masa Jabatan 2019-2024, 17 Juli 2023. Putra Aceh Nezar Patria (tengah) dilantik sebagai Wakil Menteri Kominfo, mendampingi Budi Arie Setiadi sebagai Menteri Kominfo. 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Presiden Joko Widodo resmi melantik Nezar Patria sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) di Istana Negara, Jakarta, Senin (17/6/2023) pagi.

Nezar melanjutkan estafet tokoh Aceh lainnya dalam kabinet setelah kosong selama satu tahun lebih sejak Sofyan A Djalil dicopot dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 15 Juni 2022.

Nezar Patria, pria kelahiran Sigli, Kabupaten Pidie, 5 Oktober 1970 ini merupakan putra dari H Sjamsul Kahar, Pemimpin Umum Harian Serambi Indonesia.

Ia menempuh pendidikan S1 di jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada dan menamatkan pendidikan S2 di The London School of Economics and Political Science (LSE) pada 2007.

Sebelum masuk Istana, Nezar dikenal sebagai sosok jurnalis dengan pengalaman yang panjang. 

Setelah Reformasi, Nezar mulai menekuni dunia jurnalistik seperti ayahnya.

Baca juga: Sosok Nezar Patria, Putra Aceh dan Aktivis yang Dilantik Presiden Jokowi Jadi Wakil Menteri Kominfo

Kariernya dimulai dari menjadi jurnalis majalah mingguan Tempo pada 1999 sampai 2008.
Setelah itu, Nezar ikut mendirikan portal berita daring viva.co.id.

Dia berkecimpung di sana pada 2008 sampai 2014. Lalu ia didapuk sebagai wakil pemimpin redaksi CNN Indonesia Digital pada 2014 sampai 2015.

Karir Nezar berlanjut hingga menjabar sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta Post pada 2015 sampai 2020.

Dia juga pernah terpilih sebagai Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) periode 2008 sampai 2011.

Selain itu, Nezar juga pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Pers periode Maret 2016 sampai Juni 2019 dan aktif sebagai Anggota Dewan Etik di Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).

Setelah tidak lagi di dunia jurnalistik, Nezar pernah dipercayakan menjabat sebagai Direktur Kelembagaan PT Pos Indonesia (Persero) sejak 23 September 2020-25 April 2022 dan Komisaris Utama PT Dapensi Trio Usaha pada 31 November 2021-13 Juni 2022.

Sebelum diangkat sebagai Wamenkominfo oleh Presiden Jokowi, Nezar menduduki posisi terakhir sebagai Staf Khusus V Menteri BUMN sejak 7 Juni 2022.

Baca juga: Putra Aceh Nezar Patria Dikabarkan Jadi Wakil Menteri Kominfo, Dilantik Besok Pagi, Ini Profilnya

Teuku Jusuf Muda Dalam

Selain Nezar Patria, ternyata ada juga tokoh Aceh lainnya yang memulai karir dari jurnalis sebelum masuk pemerintah.

Yaitu, Teuku Jusuf Muda Dalam sebagai Gubernur Bank Sentral yang saat ini sudah berubah nama menjadi Bank Indonesia dari tahun 1963 hingga 1966.

Pria kelahiran Sigli, 1 Desember 1914 atau dimasa Hindia Belanda itu menjadi Gubernur Sentral diera Presiden Soekarno.

Dikutip dari Wikipedia, Teuku Jusuf Muda Dalam adalah seorang jurnalis dan politikus Indonesia yang menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia dari 1963 hingga 1966.

Dalam catatan sejarah hidupnya, pada 1936 ia pergi ke negeri Belanda untuk menempuh pendidikan Ekonomische Hoge School di Rotterdam hingga mencapai tingkat doktoral selama 2 tahun sampai datangnya pendudukan Tentara Nazi Jerman pada 1941.

Pada 1943 – 1944 ia bergabung bersama mahasiswa Rotterdam dalam gerakan bawah tanah yang menentang pendudukan Nazi Jerman, dan menjadi wartawan dari harian De Waarheid milik partai komunis Belanda.

Baca juga: Beberkan Track Record Putra Aceh, Presiden Jokowi: Nezar Patria Akan Sangat Membantu Menteri

Setelah Perang Dunia II, pada November 1946 hingga Februari 1947 Jusuf Muda Dalam kembali ke Indonesia melakukan liputan jurnalisme tentang revolusi Indonesia untuk harian De Waaheid.

Pada Maret 1947 kembali lagi ke Indonesia dan bekerja pada Kementerian Pertahanan di Yogyakarta.

Pada 1956 atas ajakan Margono Djojohadikusumo, Jusuf Muda Dalam masuk sebagai staf Bank Negara Indonesia (BNI).

Kariernya melesat cepat, karena pada 1957 ia telah duduk sebagai Direktur BNI dan pada 1959 sebagai Presiden Direktur BNI hingga diangkat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral merangkap sebagai Gubernur Bank Indonesia pada 1963.

Baca juga: Jadi Komisaris PT Pegadaian, Nezar Patria: Saya Siap, Pengalaman di PT Pos Sangat Berharga

B. M. Diah

Burhanuddin Mohammad Diah atau BM Diah (7 April 1917 – 10 Juni 1996) juga bisa dibilang tokoh Aceh berlatar wartawan yang pernah duduk dalam kabinet Indonesia.

BM Dia menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia ke-18 (Masa jabatan 25 Juli 1966 – 6 Juni 1968) pada masa Presiden Soekarno.

Ia adalah seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.

Nama asli B. M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin.

Nama ayahnya adalah Mohammad Diah, yang berasal dari Barus, Sumatra Utara.

Ayahnya adalah seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah.

Burhanuddin kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri.

Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga.

Burhanuddin, anak bungsu dari delapan bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua ayahnya.

Burhanuddin melewati masa kecilnya di Aceh Barat dalam kehidupan yang serba kesusahan.

Seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia.

Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya.

Untuk itu ia terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian.

Namun delapan tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.

Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan.

Keputusan ini diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda.

Dari Era Soekarno Hingga Masa Jokowi

Di luar Nezar Patria, Teuku Muda Dalam, dan BM Diah yang berlatar belakang jurnalis, sejumlah putra terbaik Aceh juga pernah duduk di dalam kabinet Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dari era Presiden Soekarno hingga periode Joko Widodo.

Berikut sebagian dari putra-putra terbaik Aceh yang pernah duduk dalam kabinet Indonesia.

1. Teuku Mohammad Hadi Thayeb (Menteri Perindustrian Dasar Indonesia ke-8. Masa jabatan 27 Agustus 1964 – 22 Februari 1966)

Teuku Mohammad Hadi Thayeb (lahir 14 September 1922, meninggal 10 Januari 2014) adalah putra Teuku Tjhik Haji Mohammad Thayeb, pejuang Indonesia dan uleebalang terakhir dari Peureulak, Aceh Timur, yang "diasingkan” oleh Belanda dari Aceh.

Hadi, anak ke-lima dari delapan bersaudara, mengikuti jejak ayahnya untuk mewujudkan impian kemerdekaan Indonesia.

Hadi dikenal terutama sebagai orang diplomat dalam masa kariernya.

Ia menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, dan Duta Besar Indonesia untuk Italia, Polandia, Swiss dan Britania Raya.

Sebelumnya ia ditugaskan sebagai Chargé d’affaires di Meksiko dan Paris.

Selain itu, jabatan yang pernah diduduki atau diisi oleh Hadi adalah Menteri Perindustrian, Wakil Gubernur Lemhannas dan Gubernur Aceh.

Jabatan Menteri Perindustrian Dasar Indonesia yang diemban Hadi Thayeb adalah pada masa Presiden Soekarno.

2. Teuku Mohammad Syarief Thayeb (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ke-16. Masa jabatan
22 Januari 1974 – 29 Maret 1978)

Teuku Mohammad Syarief Thayeb (7 Juli 1920 – 11 November 1989) adalah saudara kandung dari Teuku Mohammad Hadi Thayeb. 

Seperti abangnya yang menjadi menteri pada masa Seokarno, Syarif Thayeb juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan II masa Presiden Soeharto. 

Syarief Thayeb memiliki pangkat dan gelar Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. (H.C.), dan dr.

Ia merupakan dokter, professor, dan tokoh pemerintahan.

Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat pada tahun 1971 (menggantikan Soedjatmoko) hingga 1974.

Terakhir ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Baca juga: Kisah Nikah Mahasiswa KKN dan Bocah SD, Khansa Akui Nyari Kamil Duluan

3. Ibrahim Hassan (Menteri Negara Urusan Pangan Indonesia ke-4. Masa jabatan 17 Maret 1993 – 16 Februari 1995)

Prof. Dr. Ibrahim Hasan, M.B.A. (16 Maret 1935 – 20 Januari 2007) adalah seorang politikus Indonesia yang menjabat Gubernur Aceh untuk masa jabatan 1986–1993.

Di tingkat nasional, pria kelahiran Kabupaten Pidie ini pernah menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Badan Urusan Logistik pada periode 1993–1995 menggantikan Letjen (Purn.) TNI Bustanil Arifin yang telah menjabat selama 25 tahun.

Dalam dunia akademis, ia juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala masa bakti 1973–1982.

Ibrahim Hasan juga dikenal sebagai Bapak Pembangunan Aceh, itu karena perannya yang besar dalam pembangunan Aceh ketika menjabat sebagai Gubernur Aceh pada 1986-1993.

4. Hasballah M. Saad (Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia. Masa jabatan 26 Oktober 1999 – 23 Agustus 2000)

 Dr. Hasballah M. Saad (14 Juli 1948 – 23 Agustus 2011) adalah seorang politikus Indonesia dan dikenal sebagai Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Persatuan Nasional era Gus Dur.

Hasballah M. Saad pernah aktif dalam politik nasional lewat Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional.

Mantan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Syiah Kuala tahun 1978 ini juga aktif dalam perjuangan HAM, antara lain dengan mendirikan Komite HAM Aceh.

Semasa muda, ia yang merupakan lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah dan sempat aktif mengajar di almamaternya ini giat membangun lembaga pendidikan.

Beberapa lembaga pendidikan tersebut adalah Dayah Al-Furqan di Sigli, Universitas Jabal Ghafur di Pidie, Yayasan Pendidikan Putra Harapan Bangsa di Jakarta, dan Yayasan Modal Bangsa di Jakarta.

Suami Darmawati dan ayah dari tiga anak ini juga sempat menjadi anggota Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia tahun 1995.

Ia diangkat sebagai Menteri Negara Urusan HAM periode tahun 1999-2000 dalam Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid ketika masih menjabat sebagai anggota DPR tahun 1999.

5. Mustafa Abubakar (Menteri Badan Usaha Milik Negara Indonesia Ke-6. Masa jabatan 22 Oktober 2009 – 19 Oktober 2011)

Dr. Ir. H. Mustafa Abubakar (lahir 15 Oktober 1949) adalah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II dan mantan Direktur Utama Perusahaan Umum (PERUM) Badan Urusan Logistik (BULOG) Republik Indonesia.

Mustafa Abubakar dikenal luas di Aceh dan dunia internasional setelah dianggap berhasil menjalankan tugasnya sebagai Pelaksana Tugas Harian Gubernur Aceh, ketika Aceh dalam masa rehabilitasi dan rekontruksi pascagempa dan tsunami 2004, serta pada masa awal perdamaian Aceh pada tahun 2005. 

Setelah sukses di Aceh, Presiden SBY mempercayakannya sebagai menteri BUMN.

Beliau banyak berjasa banyak prestasi yang ditorehkan seperti banyaknya BUMN besar berhasil mencetak laba (Garuda Indonesia, Krakatau Steel, PT. Pos Indonesia).

Beliau juga berjasa dalam usaha untuk pengembangan melalui TOT bagi perusahaan BUMN.

Pada tanggal 18 Oktober 2011, berkaitan dengan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II, Mustafa Abubakar digantikan oleh Dahlan Iskan sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia.

Baca juga: Gubernur Aceh - Mustafa Abubakar dan Judi SBY-JK - Bagian IV

6. Ferry Mursyidan Baldan (Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia ke-12. Masa jabatan 27 Oktober 2014 – 27 Juli 2016)

Drs. Ferry Mursyidan Baldan (16 Juni 1961 – 2 Desember 2022) adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang menjabat dari 27 Oktober 2014 hingga 27 Juli 2016.

Sebelumnya ia adalah anggota Komisi II DPR RI untuk periode 2004–2009 sekaligus Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Pemilu.

Namanya dikenal luas di Aceh ketika menjadi sebagai Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), sebuah undang-undang yang mengatur tentang kewenangan Aceh sebagai daerah berstatus Otonomi Khusus.

Ferry terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara, putera pasangan Baldan Nyak Oepin Arif asal Susoh, Aceh Barat Daya dan Syarifah Fatimah (alm) asal Kluet Selatan, Aceh Selatan.

Ia lahir dari keluarga yang beretnis Aceh-Aneuk Jamee dan Kluet.

Kedua orang tuanya yang berasal dari Aceh namun lama bermukim di Bandung Jawa Barat, karena bekerja sebagai karyawan Telkom di Kantor Pusat Telkom di Bandung.

Ia memiliki tiga saudara, masing-masing Syafril Ardan Baldan, Zulkautsar Baldan, Mahdan Ridjal Baldan.

Saat kecil Ferry punya dua cita-cita: menjadi seorang pilot pesawat terbang atau menjadi diplomat.

Kedua cita-cita itu akan memungkinkannya melanglang buana ke berbagai negara.

Upaya maksimal telah dilakukan Ferry untuk meraih mimpi sebagai pilot.

Namun, keinginan itu kandas karena ia berkacamata.

Perjalanan hidup membawa Ferry menjadi seorang politikus dan anggota parlemen dan terakhir masuk dalam Kabinet Indonesia pada masa Presiden Joko Widodo periode pertama.

7. Sofyan Abdul Djalil

Sofyan Abdul Djalil atau biasa dikenal dengan nama Sofyan Djalil bisa dibilang putra Aceh yang paling fenomenal dalam jajaran kabinet Pemerintahan Indonesia.

Bahkan, sosiolog Aceh dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Ahmad Humam Hamid, menjulukinya sebagai menteri segala era. 

Itu tidak lain karena sederet jabatan menteri kabinet yang pernah diemban Sofyan Djalil.

Ia melayani dua kepemimpinan nasional, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Sofyan menjabat dua kementerian pada masa SBY, dan tiga kementerian pada masa Presiden Jokowi.

Pada masa SBY Sofyan dipercayakan menjadi Menteri Negara  Komunikasi dan Informatika ( 2004-2007) dan Menteri Negara BUMN (2007-2009).

Pada masa Presiden Jokowi, Sofyan pernah menjabat sebagai Menko Bidang Perekonomian (2014-2015), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas (2015-2016), dan Menteri ATR-BPN (2016 2022).

"Semua adalah sebuah prestasi yang tidak biasa, baik karena lamanya jam terbang, maupun beragamnya kementerian yang dipercayakan," tulis Prof Humam dalam sebuah artikel Kupi Beungoh di Serambinews.com.

Tidak berlebihan untuk disebutkan, hampir tidak ditemui pada seorang anggota kabinet manapun dalam sejarah pemerintahan dan politk nasional pascareformasi yang karirnya seperti Sofyan Jalil.

Ketika orang berkomentar tentang jabatan Sofyan Jalil yang sangat beragam, maka jawaban ringkas adalah bahwa ia mempunyai kepribadian unik dengan kapasitas “multi talenta” yang ia miliki.

Baca juga: Sofyan Jalil: Antara “Jok Lam Uteun” dan “Kunci Inggreh”

Dalam catatan Prof Humam Hamid, Sofyan tak pernah menyembunyikan kepada siapapun bahwa ia datang dari keluarga yang sangat sederhana di Alue Lhok, Peureulak Aceh, Aceh Timur.

Ayahnya adalah seorang tukang pangkas, sementara ibunya adalah guru ngaji kampung.

Ia rajin bersekolah dan juga rajin berjualan telur untuk kehidupannya.

Ia aktif di organisasi PII, dan karena organisasi itulah ia ke Jakarta untuk mengukuti Kongres PII, dan setelahnya ia tak pulang.

Bustanil Arifin, Daoed Joesoef, hingga Bachtiar Chamsyah

Selain beberapa nama di atas, Aceh juga pernah diwakili oleh sejumlah sosok lainnya dalam kabinet pemerintahan Indonesia. 

Para tokoh ini ada yang berayahkan Aceh, tapi lahir di luar daerah, dan ada juga yang lahir di Aceh karena orang tua mereka pernah bertugas di Aceh. 

Salah satu yang paling terkenal adalah Bustanil Arifin.

Pria yang dijuluki sebagai sesepuh Aceh di Nasional pada masanya ini pernah menjabat sebagai Menteri Koperasi Indonesia ke-2
dengan masa jabatan 22 April 1978 – 17 Maret 1993.

Ia pernah menjabat Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog). Bustanil pula yang merekom Ibrahim Hasan untuk melanjutkan tugas sebagai Kepala Bulog.

Bustanil lahir dari pasangan Raden Mas Ahmad dan Aminah.

Ayahnya adalah seorang bangsawan Jawa yang menjadi teknisi kereta api di Padang Panjang.

Semasa remaja ia ikut orang tuanya yang pindah tugas ke Sigli dan Aceh Timur.

Disana ia mengenyam pendidikan sebelum akhirnya berpindah lagi ke Padang Panjang dan Medan mengikuti ibunya yang menikah lagi dengan Sutan Ilyas yang berprofesi sebagai pemborong.

Di Aceh, Bustanil Arifin pernah menghabiskan masa yang panjang, dan bahkan menjadi pejuang bersama-sama pejuang Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di Medan Area.

Selanjutnya ada  Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Ke-17. 

Ia menjabat pada 29 Maret 1978 – 19 Maret 1983 di era Presiden Soeharto.

Daoed Joesoef dilahirkan di Medan pada 8 Agustus 1926 dari pasangan Moehammad Joesoef (asal Aceh) dan Siti Jasiah asal Jeron Beteng, Yogyakarta.

Dia menikah dengan Sri Sulastri dan dikaruniai seorang anak, Sri Sulaksmi Damayanti.

Terakhir ada nama H. Bachtiar Chamsyah, S.E., Menteri Sosial Indonesia ke-25 yang menjabat pada 10 Agustus 2001 – 20 Oktober 2009, pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

Bachtiar Chamsyah lahir pada 31 Desember 1945 di Sigli, Pidie, Aceh, putra dari pasangan berdarah Minangkabau asal Bayua, Maninjau, Agam, Sumatra Barat yang merantau ke Aceh.

Ia menikah dengan seorang perempuan bernama Roshidah Hanum.

Pernikahan mereka telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Roshi Ika Putri, M. Iqbal, dan Rini Irawati.

Istrinya, Roshidah Hanum meninggal dunia karena penyakit kanker pada tahun 2009.

Setelah menduda selama sekitar tiga tahun, ia kemudian menikah lagi pada 10 Juni 2012 dengan Indah Hayati, mantan sekretarisnya sewaktu menjadi Anggota DPR-RI dan Menteri Sosial.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved