Berita Banda Aceh
Balai Bahasa Provinsi Aceh Susun Kamus Bahasa Aceh Pakai Diakritik
Belakangan ini, terutama karena alasan kepraktisan dan khawatir salah menggunakan tanda diakritik, banyak orang Aceh
Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Nur Nihayati
Belakangan ini, terutama karena alasan kepraktisan dan khawatir salah menggunakan tanda diakritik, banyak orang Aceh
Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM - Balai Bahasa Provinsi Aceh kini sedang menyusun kamus bahasa daerah (bahasa Aceh) versi daring (online), di samping versi cetak (print) yang diperkirakan akan selesai pada November 2023.
Lema (kata atau frasa) dalam kamus tersebut menggunakan diakritik, diftong, dan apostrof.
Belakangan ini, terutama karena alasan kepraktisan dan khawatir salah menggunakan tanda diakritik, banyak orang Aceh yang dalam penulisan tak lagi menggunakan bahasa Aceh berdiakritik.
Diakritik adalah tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf tersebut, misalnya tanda [´] pada é.
Tanda-tanda diakritik yang ada dalam bahasa Aceh adalah aigu /é/, grave /è/, makron /ô/, trema /ö/, dan apostrof /’/.
Aigu (é) digunakan pada huruf [e] seperti maté (mati), kéh (kantong baju/celana), kréh (keris), bacé (ikan gabus), até (hati), malém (alim), dan padé (padi).
Berbeda dengan aigu, grave (è) dibubuhkan pada huruf [e] yang bunyinya seperti pada kata bebek dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kèh (korek api), bijèh (bibit), malèe (malu),
bèk (jangan), dan kayèe (kayu).
Sedangkan è itu melambangkan bunyi [ɛ], yaitu é taling dalam posisi tertutup, misalnya pada kata bèbèk ['bɛbɛʔ]. Lalu é yang melambangkan bunyi [e] atau é taling dalam posisi terbuka, misalnya pada kata lélé ['lele].
Lalu ada makron (ô). Aksen ini dipakai jika ada huruf [o] dalam bahasa Aceh yang bunyinya seperti kata bobok dalam bahasa Indonesia. Kata-kata itu misalnya bôh (tuangkan, isi), crôh (goreng), lhôh (sorot), dan peunajôh (makanan).
Setelah makron, ada juga trema (ö). Trema digunakan pada huruf-huruf seperti böh (buang), nyang töh (yang mana), dan lhöh (bongkar).
Bunyi huruf dengan aksen trema ini adalah khas dalam bahasa Aceh. Dikatakan demikian, karena tidak ada bunyi yang sedemikian rupa dalam bahasa Indonesia.
Terakhir, apostrof. Tanda ini digunakan pada huruf-huruf berbunyi sengau dalam bahasa Aceh (su ch’o), misalnya h’iem (teka-teki), pa’ak (besar, tambun; seperti ikan tuna atau hiu), meu’a-a’ (suara tangis, meraung), ma’op (jenis jin, makhkuk tak berwujud, uuntuk menakut-nakuti anak-anak), dan meu’ie-‘ie (suara tangis kuntilanak). Huruf dengan bunyi sengau ini sangat produktif dalam bahasa Aceh.
Sebagai tahapan untuk menyusun kamus bahasa Aceh berdiakritik tersebut telah dilaksanakan Lokakarya Kosakata Bahasa Aceh sejak 1-3 Agustus lalu di Hotel Ayani, Banda Aceh.
Sebelum lokakarya dimulai, sejumlah staf Balai Bahasa Provinsi Aceh sudah menginventarisasi 1.000 lebih kosakata bahasa Aceh dari berbagai kabupaten/kota di Aceh yang ada penutur bahasa Acehnya.
Kemudian, kosakata yang sudah dihimpun dari berbagai penutur bahasa Aceh yang daerah domisilinya berbeda itu, divalidasi.
"Kosakata yang kami himpun ini berdasarkan penuturan langsung pengguna bahasa Aceh di berbagai kabupaten/kota di Aceh. Untuk dimasukkan sebagai entri di kamus harus divalidasi terlebih dahulu. Forum untuk memvalidasinya itulah lokakarya," kata Istika Suri, Staf Balai Bahasa Provinsi Aceh.
Proses memvalidasi kosakata tersebut--mulai dari etimologis, penulisan, pelafalan, morfologi, kelas kata, medan makna, hingga arti dan contohnya dalam kalimat--dilaksanakan dalam Lokakarya Kosakata Bahasa Aceh yang tiga hari itu.
Pada hari pertama, peserta dibahani oleh tiga narasumber yang kompeten di bidang linguistik dan morfologi. Yakni Dr Abdul Gani Asyik MA (peneliti bahasa Aceh dan mantan dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Syiah Kuala (USK).
Narasumber berikutnya, Dr Muhammad Iqbal dari Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP USK dan Prof Dr Zulfadli Abdul Aziz MA dari Balai Bahasa Provinsi Aceh yang juga Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris di FKIP USK.
"Dengan adanya kamus bahasa Aceh yang menggunakan diakritik itu diharapkan tidak ada lagi perselisihan kata dalam penulisan bahasa Aceh di kalangan praktisi dan akademisi," kata Dr Abdul Gani Asyik.
Ia juga menambahkan, kamus yang sedang disusun dan menggunakan diakritik ini sudah benar dan layak menjadi bahan bacaan untuk anak cucu etnis Aceh ke depan.
Abdul Gani Asyik juga mengatakan, di Aceh ada daerah yang tanpa diftong. Sebagai pakar linguistik dan berasal dari Aceh Utara ia berpesan jangan buang diftong karena inilah ciri khas bahasa Aceh.
Ia juga mencontohkan satu kata yang ditulis tanpa diftong dan pakai diftong.
'Sengko lam dada' artinya sakit seperti sesak dalam dada.
Tapi kalau ditulis pakai diftong 'Seungko lam dada' artinya justru ikan lele dalam dada.
Menurut Abdul Gani Asyik, Seminar Bahasa Aceh pernah dilaksanakan di Universitas Syiah Kuala bersamaan dengan Dies Natalis Ke-19 Unsyiah (saat itu akronimnya masih Unsyiah, belum USK) pada 2 September 1980.
Dalam seminar itu disepakati bahwa penulisan bahasa Aceh tetap menggunakan diakritik, sebagaimana yang ditulis oleh Snouck Hurgronje dan Hoesein Djajadiningrat.
Namun, sepuluh tahun kemudian, IAIN (sebelum menjadi UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menyelenggarakan pula Seminar Bahasa Aceh. Ending dari seminar itu disimpulkan bahwa penulisan bahasa Aceh untuk alasan kepraktisan dan kebutuhan saat itu dan mendatang tidak mesti menggunakan tanda diakritik.
Pemakaian diakritik justru dikhawatirkan dapat menghambat minat orang menulis dalam bahasa Aceh karena khawatir salah menggunakan tanda diakritik, juga berakibat salah makna.
Kepada awak media ia juga berpesan khusus. "Harapan saya, dalam menulis bahasa Aceh di media cetak dan online para jurnalis hendaknya tetap menggunakan diakritik. Contohnya saja Serambi Indonesia. Apa yang mereka tulis, itulah yang banyak diikuti pembaca. Bayangkan, apa jadinya kalau yang ditulis itu versi yang salah," kata Abdul Gani Asyik.
Diakuinya, sistem penulisan bahasa Aceh agak berbeda dengan bahasa lainnya. Salah satu kelas bahasa Austronesia ini memiliki sistem penulisan menggunakan tanda diakritik pada huruf-huruf tertentu, misalnya pada kata maté (mati), bajèe (baju), crôh (menggoreng), b?h (buang), dan h’an (tak bersedia)
Tanda ini rada-rada mirip dengan bahasa Prancis yang merupakan bahasa dunia peringkat kedua pemakaiannya setelah bahasa Inggris.
Pertanyaannya adalah dari mana asal mula penggunaan tanda-tanda aksen itu?
Menurut catatan sejarah, tanda itu pertama sekali digunakan Snouck Hurgronje (orientalis Belanda) ketika menuliskan kata-kata dalam bahasa Aceh. Atas dasar itu, ejaan bahasa Aceh yang menggunakan aksen-aksen seperti yang telah disebutkan di atas selanjutnya disebut ejaan Snouck.
Setelah Snouck, peneliti bahasa Aceh lainnya yang juga menggunakan diakritik adalah Hoesein Djajadiningrat.
Hoesein lulus tahun 1899 dari HBS, belakang meneruskan studinya di Universitas Kerajaan di Leiden selama lima tahun (1905-1910). Selama satu tahun (sejak Mei 1914 sampai April 1915) ia tinggal di Aceh untuk bisa menguasai bahasa Aceh dalam rangka mempersiapkan kamus bahasa Aceh.
Dengan bantuan Teuku Mohammad Nurdin dan Aboe Bakar Atjeh, kamus tersebut terbit tahun 1934 dengan judul Atjeh-Nederlandsch Woordenboek.
Setelah itu lama sekali tak ada lagi penelitian tentang bahasa Aceh. Hingga akhirnya tahun 1972, Abdul Gani Asyik yang kuliah di IKIP Malang menulis tesis tentang bahasa Aceh dalam bahasa Inggris, berjudul Atjehnese Morphology, Pase Dialect.
Menurutnya, bahasa Aceh dialek Pase (Aceh Utara) paling banyak penuturnya dan bahkan menjadi standar dalam penulisan dan pelafalan bahasa Aceh.
Abdul Gani Asyik juga mengklasifikasikan ada empat dialek bahasa Aceh. Terdiri atas bahasa Aceh dialek Aceh Utara (mencakup Ule Gle hingga perbatasan Aceh Tamiang).
Berikutnya, dialek Pidie, dialek Aceh Besar, dan dialek Aceh Barat.
Dalam hal pengklasifikasian ini Abdul Gani Asyik berbeda dengan Snouck Hurgronje yang menggolongkan dialek bahasa Aceh hanya terdiri atas tiga, yakni bahasa Aceh dialek Aceh Utara, dialek Aceh Besar, dan dialek Aceh Barat (Meulaboh), tanpa dialek Pidie.
Hingga hari ini ejaan bahasa Aceh berdiakritik ini masih digunakan oleh kalangan akademisi ketika menulis dalam bahasa Aceh. Namun, generasi muda Aceh lebih memilih menulis kata-kata Aceh tanpa diakritik karena alasan lebih praktis. Tak bikin repot.
Sebaliknya, para narasumber Lokakarya Kosakata Bahasa Aceh ini sangat menganjurkan pengguna jeli menggunakan tanda-tanda diakritik itu saat menulis. Kesalahan penggunaannya menyebabkan perbedaan arti, misalnya pada kata kreh. Kata ini jika menggunakan aigu bermakna keris (kréh), tetapi jika menggunakan grave, justru bermakna penis (krèh).
Dalam Lokakarya Kosakata Bahasa Aceh itu banyak hal yang mengemuka. Prof Dr Zulfadli misalnya, menegaskan bahwa bahasa Aceh yang kini kita kenal berasal dari bahasa Champa, Vietnam.
Ada banyak linguis yang melakukan penelitian tentang asal-usul bahasa Aceh. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa bahasa Aceh berasal dari Champa. Bahkan ada peneliti yang berhasil menginventarisasi bahwa sedikitnya 150 bahasa Aceh sama persis tulisan dan artinya dengan bahasa Champa. Misalnya sikin (pisau), canca (sendok), rot (jalan), got/get (baik).
Dalam lokakarya itu juga ada beberapa kata yang sering salah tulis, lalu dikoreksi. Misalnya kata 'gobnyan'. Yang benar adalah 'gopnyan'. Alasannya, dalam bahasa Aceh tidak ada konsonan tutup b, kecuali untuk kata pungutan dari bahasa Arab.
Kata ulee (kepala) juga dikoreksi, cukup ditulis 'ule' saja (menggunakan e grave); kata 'hate' pun cukup ditulis 'ate' saja (menggunakan e aigu). Demikian pula kata rayeuk, cukup ditulis rayek saja yang artinya besar; luas; tinggi; dewasa; lebih dewasa; hebat; mulia; dan berpengaruh.
Ketiga kata tersebut bahkan sudah dimasukkan sebagai lema dalam Kamus Budaya Aceh-Indonesia yang disusun dan diterbitkan Balai Bahasa Provinsi Aceh pada tahun 2022.
Merujuk pada Kamus Budaya Aceh-Indonesia ini, maka kata Ulee Lheue, Ulee Kareng, dan Ulee Gle tak sesuai kamus. Sedianya cukup ditulis dengan Ule Lheue, dan Ule Kareng, dan Ule Gle saja. Demikian pula julukan untuk Kampus USK dan UIN Ar-Raniry sebagai Kampus Jantong Hatee Rakyat Aceh, ke depan cukup ditulis Kampus Jantong Ate Rakyat Aceh saja.
Begitu pula kata rayeuk untuk Aceh Besar (Aceh Rayeuk), cukup ditulis Aceh Rayek saja.
Dalam lokakarya hari kedua dan ketiga, difokuskan untuk memvalidasi kata demi kata yang akan dientri ke dalam kamus bahasa Aceh. Sesi ini berlangsung sangat alot, terutama ketika ditemukan ada kata yang sama pengucapannya, tapi beda makna.
Untungnya, ketiga narasumber yang tampil di hari pertama, tetap hadir pada hari kedua dan ketiga lokakarya sebagai mentor. Kehadiran mereka sangat membantu untuk memastikan cara penulisan yang tepat dan arti dari setiap kata yang akan dientri sebagai lema kamus.
Hingga lokakarya hari ketiga berakhir, dari 1.000 lebih kata yang sedianya akan divalidasi
berhasil divalidasi 772 kata oleh para peserta yang dibagi ke dalam dua kelompok.
Di akhir lokakarya dibuat berita acara yang menerangkan 772 kata sudah divalidasi. Selebihnya akan dilakukan finalisasi antara para pekamus dari Balai Bahasa Provinsi Aceh dengan para narasumber, di antaranya Dr Abdul Gani Asyik.
Selain itu dicantumkan juga dalam berita acara bahwa kamus yang sedang disusun ini menggunakan diakritik dan diftong.
Berita acara tersebut ditandatangani oleh Dr Abdul Gani Asyik mewakili narasumber, Atika Suri mewakili panitia, dan Husna (guru bahasa Aceh) mewakili peserta.
Peserta dalam lokakarya ini hanya sembilan orang. Terdiri atas ahli-ahli bahasa Aceh, seniman, budayawan (di antaranya Medya Hus), guru bahasa Aceh, dan jurnalis. Ditambah tiga orang panitia dari Balai Bahasa Provinsi Aceh dan tiga orang narasumber.
Setelah ditandatangani bersama naskah berita acara tersebut kemudian diserahkan kepada Kepala Subbagian Umum Balai Bahasa Provinsi Aceh, Agus Supriatna, SE.Ak., yang menggantikan Kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh, Drs Umar Solikhan MHum, untuk menutup acara.
"Alhamdulillah, melalui Lokakarya Kosakata Bahasa Aceh ini berhasil kita validasi 772 kata yang akan memperkaya isi kamus bahasa Aceh. Insyaallah Oktober prosesnya sudah final dan November kamusnya akan diterbitkan," kata Agus.
Menurutnya, selama ini banyak orang hanya berani mengkritik kenapa hingga kini Aceh tak punya kamus bahasa Aceh yang standar. Namun, mereka hanya mengkritik, tanpa berani berbuat.
"Nah, hari ini kita berbuat sesuatu yang konkret untuk melahirkan kamus, kamus yang menggunakan diakritik. Kamus ini akan berguna bagi anak cucu orang Aceh juga bagi orang yang ingin belajar bahasa Aceh, dan para peneliti bahasa Aceh," ujarnya.
"Bagi peserta lokakarya, kamus ini akan menambah koleksi pustaka kita di rumah," tambah Agus.
Kamus yang sedang disusun ini bukan karya pertama Balai Bahasa Provinsi Aceh. Tahun 2021 balai bahasa ini sudah menerbitkan Kamus Maritim Aceh-Indonesia.
Kamus ini hasil Sidang Komisi Bahasa Daerah Bidang Kemaritiman yang dilaksanakan Balai Bahasa Provinsi Aceh pada 4-5 Oktober 2021) di Hotel Kryiad Muraya, Banda Aceh.
Kemudian, tahun lalu (2022) Balai Bahasa Provinsi Aceh telah menerbitkan Kamus Budaya Aceh-Indonesia.
Balai Bahasa Provinsi Aceh juga menyusun KBDA (Kamus Besar Daerah Aceh) daring.
Selain itu, Balai Bahasa Provinsi Aceh bertekad setiap tahun harus bisa menerbitkan satu kamus yang lemanya minimal berisi 1.000 kata. (*)
Balai Bahasa Provinsi Aceh
Kamus bahasa Aceh
Bahasa Aceh Pakai Diakritik
Serambinews.com
Serambi Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan Aceh Minta Bank Aceh Gerakkan Sektor Produktif |
![]() |
---|
Trans Koetaradja Buka Rute Baru Dari Simpang Mesra ke Kajhu |
![]() |
---|
Pangdam lM Terima 3 Pucuk Senjata Sisa Konflik Aceh |
![]() |
---|
Jaksa Limpahkan Berkas Tersangka Kasus Korupsi di BGP Aceh ke PN |
![]() |
---|
Siap Layani Calon PPPK Urus SKCK, Hari Libur Polresta dan Polres Tetap Buka |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.