Berita Banda Aceh
Warkop Tempat Silaturahmi dan Diskusi Masyarakat Aceh, Prof Syamsul: Sudah Berlaku Sejak Abad ke-18
Dalam masyarakat Aceh, sebut Prof Syamsul, warung kopi menjadi salah satu tempat untuk menjalin silaturrahmi dan mendiskusi banyak hal.
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Muhammad Hadi
Warkop Tempat Silaturahmi dan Diskusi Masyarakat Aceh, Prof Syamsul: Sudah Berlaku Sejak Abad ke-18
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Guru Besar Ilmu Filsafat Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Syamsul Rijal MA mengatakan, pro kontra pada poin SE Pj Gubernur Aceh tentang penutupan warung kopi di atas pukul 00:00 WIB malam, merupakan hal yang lumrah.
Menurutnya, hal yang lebih dibutuhkan saat ini adalah edukasi kepada masyarakat perihal penegakan Syariat Islam.
Misalnya, kata dia, meminta pemilik warung kopi agar memberitahukan kepada pengunjung setiap 15 menit menjelang waktu shalat tiba, bahwa waktu shalat akan segera tiba.
“Namun masalahnya, siap gak kita setiap waktu shalat tiba, kita bergegas untuk melaksanakannya,” kata Prof Syamsul dalam Kajian Aktual Tastafi Banda Aceh, Sabtu (12/8/2023) malam.
“Saya rasa hal seperti ini perlu diedukasi agar tertanam di hati kita masyarakat Aceh akan pentingnya menjaga waktu shalat, menunaikan kewajiban,”
“Kalau kita sudah terbiasa menjaga shalat maka dengan sendirinya Syariat Islam itu akan tegak dan berjalan dengan baik di Aceh,” sambungnya.
Baca juga: Praktisi Warung Kopi Pertanyakan SE Pj Gubernur Aceh: Apakah Warkop Selama Ini Jadi Sarang Maksiat?
Dalam masyarakat Aceh, sebut Prof Syamsul, warung kopi menjadi salah satu tempat untuk menjalin silaturrahmi dan mendiskusi banyak hal.
Hal ini setidaknya sudah berlaku di masyarakat Aceh sejak abad ke-18, di mana bisa dilihat dari kata-kata seorang Pahlawan Aceh Teuku Umar.
Teuku Umar berkata “Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keudee Meulaboh atawa ulon akan syahid. (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan mati syahid.”
Namun nahas, sebelum sempat minum kopi, Teuku Umar paginya benar-benar Syahid ditembak pasukan Belanda, tidak sempat minum kopi.
“Dari kata-kata Teuku Umar tersebut, filosofinya apa? Bahwa minum kopi (warung kopi) memiliki dimensi sosial dan ekonomi,” pungkasnya.
Kajian Aktual Tastafi Banda Aceh tersebut bekerjasama dengan DPP ISAD dan HIPSI, mengangkat tema "Antara Memperkuat Syariat Islam dan Dinamikanya".
Kajian tersebut menghadirkan pemateri Rektor UIN Ar-Raniry Prof Dr H Mujiburrahman MAg, Ketua Umum DPP ISAD Aceh Tgk Mustafa Husen Woyla, Guru Besar UIN Ar-Raniry Prof Dr Syamsul Rijal MA, dan Ulama yang juga Praktisi Warung Kopi Dr H Agam Syarifuddin MA.

Praktisi: Jangan mengkambinghitamkan warung kopi
Praktisi Warung Kopi Aceh, Dr H Agam Syarifuddin MA meminta kepada semua pihak untuk tidak mengkambinghitamkan warung kopi.
Hal itu menjawab Surat Edaran (SE) Pj Gubernur Aceh tentang Penguatan Syariat Islam yang mengatur jam operasional warung kopi dan kafe atau kegiatan usaha sejenis lainnya.
Dalam SE itu, Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki meminta warung kopi (warkop) dan kafe untuk menutup kegiatan usahanya pada pukul 00:00 WIB.
Dr Agam mengutarakan, dalam hal penerapan Syariat Islam, mestinya Pemerintah Aceh dalam hal ini Pj Gubernur Aceh menjalankan aturan yang sudah ada, dengan memaksimal dan memperkuat instansi terkait.
“Pemerintah Aceh mestinya meningkatkan perannya dalam mengedukasi masyarakat agar mau menjalankan Syariatnya, bukan malah mengkambinghitamkan warung kopi,” katanya dalam Kajian Aktual Tastafi Banda Aceh, Sabtu (12/8/2023) malam.
“Aceh saat ini sudah sangat aman, dan jangan dibuat terkesan seolah Aceh hari ini tidak baik dan tidak aman,” tegasnya.

Ia meminta, seharusnya dalam penguatan Syariat Islam ada kearifan-kearifan lokal yang dipertimbangkan oleh Pj Gubernur Aceh, bukan hanya sekedar mengeluarkan Surat Edaran.
Dr Agam pun mempertanyakan SE Pj Gubernur Aceh tersebut, yang seolah-olah warung kopi di Aceh sebagai tempat maksiat.
“Poin SE Pj Gubernur yang melarang membuka warung kopi di atas pukul 12 malam, ini menjadi pertanyaan serius bagi kita, apakah warkop ini menjadi sarang maksiat?,” tanya.
“Mestinya yang perlu ditekankan juga adalah penerapan Syariat Islam di kantor-kantor pemerintahan, terutama Kantor Gubernur Aceh,” tegasnya.
Ia mengatakan, sejak dahulu kedai kopi di Aceh sudah dipahami sebagai tempat bersilaturahmi dan menjadi simbol budaya dan ekonomi masyarakat Aceh.
Kedai kopi itu, lanjutnya, sebuah bentuk kehidupan di masyarakat Aceh, dan menjadi pusat silaturrahmi dan informasi, karena banyak hal yang dibahas saat meminum kopi.
“Kalau ada sebagian tempat di warung kopi yang kedapatan ada terjadinya pelanggaran syariat Islam, mestinya pelaku yang ditindak, dan pemilik workopnya diberi peringatan bukan malah memerintah menutup warung kopi secara keseluruhan,” ungkapnya.
Rektor UIN Ar-Raniry: WH Tidak Berani Tindak Oknum TNI/Polri Pelanggar Syariat, Nyawa Taruhannya
Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr H Mujiburrahman MAg mengatakan, penegakan Syariat Islam di Aceh masih terkesan ‘pandang bulu’.
Dikatakannya, Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah (WH) masih memiliki keterbatasan, sehingga penegakan Syariat Islam tidak maksimal.
“Misalnya ketika WH berhadapan dengan pelanggar Syariat Islam dari kalangan oknum TNI/Polri. WH tidak bisa bertindak karena mereka (oknum TNI/Polri) lebih kuat, dan kalau WH terlalu maju mungkin nyawa mereka bisa menjadi taruhannya,” ungkap Prof Mujib Kajian Aktual Tastafi Banda Aceh, Sabtu (12/8/2023) malam.
Ia pun mendorong agar WH didalamnya terdapat TNI/Polri, atau setidaknya dalam menjalankan operasi penegakan Syariat Islam melibatkan TNI/Polri.
Sehingga jika adanya pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh oknum-oknum TNI/Polri bisa ditindak sebagaimana aturan yang berlaku.
Terkait Surat Edaran (SE) Pj Gubernur Aceh tentang Penguatan Syariat Islam yang mengatur jam operasional warung kopi dan kafe atau kegiatan usaha sejenis lainnya mengharuskan tutup pukul 00.00 WIB, menurut Prof Mujib ada beberapa hal yang mendasar.

Pasca Tsunami, sebut dia, realitas yang terjadi adalah generasi muda mudi Aceh banyak yang nongkrong di warung kopi secara bersama tanpa ada rasa malu hingga larut malam.
“Padahal dulu duduk bersamaan (muda-mudi) di Aceh merupakan hal yang tabu. Pranata sosial ini menurut saya harus dibenahi,” tegasnya.
Ia mengatakan, nongkrong hingga larut malam juga bermasalah terhadap aspek keagamaan dan kesehatan.
Pulang larut malam otomatis tidurnya telat dan bangunnya pun akan telar, sehingga shalat subuh terlewatkan.
“Mereka akan menjadikan waktu pagi untuk tidur, padahal pagi adalah waktu yang efektif untuk belajar dan mencari rezeki (bekerja),” kata Prof Mujib.
“Bila ini terus menerus yang terjadi dikalangan masyarakat Aceh khususnya kalangan muda, maka akan berpengaruh terhadap masa depan Aceh. Bergadang hingga larut malam juga berefek buruk terhadap kesehatan,” tegasnya.
Ia mengatakan, warung kopi yang buka sampai pukul 00:00 WIB dengan warkop yang buka hingga pukul 5:00 pagi, pendapatannya juga tidak jauh berbeda.
“Artinya dari aspek ekonomi, ini tidak terlalu berpengaruh terhadap sektor perekonomian masyarakat Aceh,”
“Bisa dilihat orang-orang yang datang untuk minum kopi umumnya sampai pukul 11, namun waktu nongkrongnya yang lama hingga menjelang pagi,”pungkasnya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)
Berita Banda Aceh
warung kopi
Warkop
silaturahmi
diskusi
Masyarakat Aceh
Prof Syamsul Rijal
surat edaran
Pj Gubernur Aceh
Syariat Islam
Serambi Indonesia
Serambinews
KPIA dan Pemerintah Aceh Sepakat Percepat Regulasi Penyiaran Internet |
![]() |
---|
1.000 Pemancing Bakal Meriahkan Banda Aceh Fishing Tournament 2025 |
![]() |
---|
Berkas Lengkap, Tersangka dan Bukti Dugaan Korupsi PSR Aceh Jaya ke JPU |
![]() |
---|
Brimob Polda Aceh Siapkan Sistem Deteksi Dini Ancaman Bahan Berbahaya dan Beracun |
![]() |
---|
Sekolah Garuda Hadir di Aceh Diresmikan Serentak Se-Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.