Opini

Pendidikan Aceh Pasca Damai, Sebuah Perspektif Pentingnya Program Beasiswa

Pada dunia pendidikan, salah satunya adalah ketika tumbuhnya ekonomi (makro/mikro/non-formal) tidak dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia (

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Dr Muhammad Aulia MTESOL MA 

Oleh: Dr Muhammad Aulia MTESOL MA *)

MENGAPA beberapa negara terkesan sangat percaya diri dan kelihatan cukup mudah dalam mengelola ketidakstabilan dan ketidakpastian situasi ekonomi global saat ini, dan negara yang lain terseok-seok dan merangkak untuk menyusun strategi ekonomi dalam menghadapi tantangan ekonomi, geopolitik, krisis pangan, pemanasan global, dan lain-lain.

Tulisan ini hanya menjadi salah satu hipotesis untuk mengkaji bahwa beberapa negara akan tetap maju, sedangkan yang lain akan terus menghadapi permasalahan yang klasik kalau kita bisa gunakan istilah ini.

Kita memulai dengan sebuah kutipan: Noha Hamed, 24 tahun, seorang pekerja pada Agensi Periklanan di Kairo ketika Demonstrasi Arab Spring, dia ikut pada demonstrasi di Tahrir Square: “Kami menderita karena korupsi, penindasan (rezim), dan pendidikan yang buruk”.

Memang Mesir bukanlah perbandingan yang cukup baik (not-apple-to-apple) dengan Indonesia. Pada 2010, hampir 20 persen penduduk Mesir jatuh pada jurang kemiskinan dimana situasi ini akan pasti lebih baik pada saat ini 2024.

Baca juga: Pusat Pengembangan Bahasa UIN Ar-Raniry Gelar Program Persiapan Beasiswa Bagi Santri

Namun, satu hal yang paling penting adalah ketika pendidikan dikesampingkan oleh sebuah rezim pemerintahan, hanya penyesalanlah yang dialami sebagai status quo sebagai provinsi/wilayah/negara tidak maju atau malah miskin.

Sering sekali situasi ekonomi dikaitkan dengan situasi pendidikan. Indonesia sering sekali menggabungkan middle-income trap atau jebakan negara menengah yang sulit sekali atau terperangkap untuk naik kelas menjadi negara maju, bahkan terus menjadi negara berkembang malah jatuh miskin (lower middle).

Padahal potensi pemerintahan yang stabil, sumber daya manusia (SDM) mumpuni, sumber daya alam (SDM) melimpah, investasi dan iklim bisnis sehat, serta faktor pendukung lainnya sudah tergolong mapan.

Indonesia seperti sedang mendapat momentum emas bonus demografi, dimana pada tahun 2045, populasi usia produktif (15 – 64 tahun) akan melebihi 60 ?ri seluruh populasi, sekitar 65 – 70 % (Setkab RI).

Lonjakan SDM yang tumbuh juga harus diakomodir dengan segala aspek sosial budaya yang memperkuat modal spiritual kualitas, karakter dan pola pikir, fisik dan mental, serta keterampilan, dan sikap mudah bekerja sama dan jiwa kompetitif yang menghasilkan SDM yang purna. Jangan sampai malah menjadi generasi cemas atau fragile mudah menyerah dan tidak memiliki resiliensi karena tantangan masa depan pastinya lebih besar daripada situasi saat ini.

Pada dunia pendidikan, salah satunya adalah ketika tumbuhnya ekonomi (makro/mikro/non-formal) tidak dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia (Human Capital).

Lulusan pendidikan vokasi, profesional, dan tinggi tidak mendapat pekerjaan dan kehidupan layak. Interkoneksi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja seperti langit dan bumi karena kesenjangan yang terus semakin melebar.

Lulusan dari suatu bidang tetapi bekerja di bidang yang lain, ditambah dengan upah yang rendah atau perburuhan modern, komodifikasi pendidikan (biaya sekolah yang semakin mahal dan mencekik), nepotisme dalam dunia kerja dimana harus dengan orang dalam (insiders), yang pada akhirnya stigma tidak pentingnya pendidikan muncul dan sumber daya manusianya jatuh pada hal yang tidak produktif bahkan negatif, Na'udzubillahi Min Dzalik.

Kita semua para pihak harus memberikan prioritas dan perhatian pada hal ini. Khususnya pemerintah dan pengambil kebijakan harus bisa memahami (baik individual maupun kolektif) bahwa investasi pada pendidikan adalah jangka panjang.

Setiap program pendidikan yang kita lakukan saat ini akan berdampak pada 15-20 tahun akan datang paling cepat. Hal ini dikarenakan pendidikan adalah upaya sadar, sistematis, dan berorientasi pada tujuan yang pasti mendapatkan hasil terbaik dari proses yang tidak instan.

Bahwa memastikan sebuah janin sehat dengan asupan yang bergizi dari seorang ibu hamil dimulai dari pengetahuan dan pemahaman ayah dan ibu terhadap pentingnya pertumbuhan otak dan fisik anak. Hal ini juga berdampak pada pendidikan dini pada usia emas si anak.

Hal ini terus menjadi perbincangan oleh pakar di forum-forum pendidikan karena adanya dugaan banyak sekali social engineering atau rekayasa sosial bahkan disorientasi untuk mengalihkan fokus dari program peningkatan kapabilitas SDM (human capability building) pada program pendidikan yang berjangka pendek seperti pembangunan fisik, peremajaan mobiler, dan pelbagai lainnya.

Sepertinya mereka lalai atau bahkan acuh terhadap peningkatan kualitas pendidikan, khususnya melalui program beasiswa. Perkembangan negara tetangga seperti Malaysia yang sudah dimulai dari tahun 1980-an dengan pada bidang-bidang vital ke universitas-universitas terbaik di Inggris, Amerika Serikat, dan Timur Tengah menghasilkan perubahan positif yang bahkan negara tetangga dapat rasakan dampaknya pada hari ini.

Hal yang sama terjadi pada negara-negara benchmark lainnya seperti Vietnam, Thailand, dan Tiongkok sampai hari ini.

Terkait dengan menghindari middle-income-trap dan mengelola potensi bonus demografi usia produktif diatas adalah memperluas akses pendidikan yang langsung beririsan dengan dunia kerja untuk mendorong ekonomi lebih cepat; program beasiswa pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi menjadi kunci.

Saat ini Pemerintah Indonesia sudah membuka jalur prestasi dan tes bagi lulusan SMA/SMK (mulai kelas 11) melalui Beasiswa Indonesia Maju (BIM) untuk dapat mengenyam pendidikan vokasi atau Strata 1 universitas-universitas terbaik dunia.

Pada pendidikan vokasi (beasiswa non-gelar dan sertifikasi) juga dibuka melalui lintas kementerian (Kemdikbud Ristekdikti Dirjen Vokasi dan Kemenaker Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas).

Program magang dan sertifikasi keahlian sudah mulai digalakkan sehingga SDM produktif kita bisa mendaftar dan mendapat pelatihan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja atau membuka usaha mikro (UMKM) untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Untuk universitas-universitas dalam negeri, calon mahasiswa juga bisa mendapat beasiswa KIP – Kuliah (dulu bernama Bidikmisi bagi yang memiliki keterbatasan ekonomi). Berbagai skema diberikan dari beasiswa penuh sampai pengurangan biaya pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi calon mahasiswa.

Untuk pascasarjana (Strata 2 dan Strata 3) melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), berbagai skema beasiswa juga diprogramkan seperti Beasiswa Pendidikan Kader Ulama, Beasiswa Indonesia Bangkit (dikelola Kementerian Agama), Beasiswa Pendidikan Indonesia (dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi).

Bahkan ada skema beasiswa pra sejahtera dan afirmasi bagi SDM yang memiliki keterbatasan ekonomi dan berasal dari Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) yang diberikan prioritas untuk meningkatkan kualitas SDM dan ekonomi pada daerah tersebut.

Penulis mengingat bahwa program ini untuk menjamin bahwa satu keluarga harus memiliki minimal 1 SDM dengan Strata 1 untuk menjamin jaminan sosial dari keluarga tersebut. Dan, hal tersebut secara tahap demi tahap terbukti, meskipun butuh dukungan data saintifik yang lebih akurat.  

Berdasarkan data, rasio SDM dengan berpendidikan Strata 2 (Master) dan Strata 3 (Doktor) terhadap populasi usia produktif, Indonesia masih hanya 0,49 % , sedangkan negara yang menjadi benchmark adalah 2, 43 % , serta negara maju 9,80 % (World Bank dan OECD, 2023).

Hal ini mungkin tidak akan terkejar dalam waktu yang singkat. Diestimasi dibutuhkan waktu hampir setengah abad untuk bisa melakukan leap frog atau lompatan jauh inovatif.

Pastinya ada keterbatasan dan kelemahan dalam program-program di atas, namun satu hal yang pasti adalah semuanya dimulai dari sebuah political will, yaitu Dana Abadi Pendidikan Nasional. Pada tahun Maret 2024, pada sebuah presentasi dari LPDP, dari total dana abadi 154,11 Triliun, LPDP mengelola dana bagi hasil sebesar 25 Triliun pada tahun 2024 dan kecenderungan akan terus bertambah dan mendukung tujuan Indonesia Maju pada tahun 2045.

Diluar sana, Dana Abadi Pendidikan (Endowment Fund for Education) sudah menjadi hal yang lumrah. Beberapa lembaga sosial, pemerintah, kebudayaan (museum dan agama) termasuk universitas sudah memiliki dana abadi pendidikan sendiri yang dana profit bagi hasilnya diperuntukkan untuk memberikan beasiswa bagi SDM unggul (Sovereign Wealth Institute, 2023).

Beberapa dari mereka adalah National University Singapore mempunyai $12,6 Miliar, Awqaf $11,2 Miliar, University of Tokyo $13,3 Miliar, Columbia University $24,7 Miliar, King Abdullah University of Science and Technology (KAUST) $23,3 Miliar,  Japan Science and Technology Agency $80,7 Miliar, dan terbesar adalah Ensign Peak Advisors, Inc yang berlokasi di Utah memiliki $124 Miliar dana pendidikan.

Jadi wajar apabila saat ini dan di masa depan, pada beberapa negara yang serius mengalokasikan Dana Abadi Pendidikan dalam memastikan kualitas pendidikan dan SDM yang berbanding lurus dengan ekonomi karena keduanya saling berkaitan dan saling mendukung dalam situasi apapun.

Aceh, meskipun, pada skala regional perlu juga memperhatikan strategi ini. Dengan dana otonomi khusus yang berlimpah, Pemerintah Aceh seharusnya sudah bisa mereplikasi strategi yang sama dengan menggandeng segala pemangku kepentingan lintas sektor mencoba untuk bersatu padu memastikan adanya Dana Abadi Pendidikan atau bahkan merancang penggunaan dana tersebut secara akuntabel dan transparan pada bidang-bidang vital dan strategis.

Dengan strategi ini, program beasiswa bisa dikelola tanpa memperhatikan APBD tahunan seperti yang kita alami dua tahun belakangan ini. Hal ini karena bagi hasil dari dana abadi pendidikan akan terus mendukung program beasiswa.

Apapun yang terjadi, siapapun yang berkuasa, seharusnya dana abadi pendidikan ini dapat terus fokus meningkatkan kualitas pendidikan, SDM dengan identitas lokal Aceh dan pola pikir global dengan nilai-nilai Islam yang berujung pada peningkatan kualitas ekonomi (kesejahteraan masyarakat) yang lebih bermartabat dan merata.

Pastinya perspektif ini hanya menyajikan satu sudut dari pelbagai kompleksitas dunia pendidikan. Tulisan ini hanya pemantik dialektika bagaimana hak-hak SDM Aceh mendapat prioritas dalam proses pembangunan. Semoga hati dari para pemimpin kita tersentuh dan menyadari bahwa hanya pendidikanlah yang mampu meningkatkan kualitas hidup seseorang. Semoga kita belum terlambat.

*) Penulis adalah Pemerhati Pendidikan

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved