Opini

Menggugat Pemilihan Majelis Pendidikan Aceh

Setelah itu diadakan musyawarah besar (Mubes) untuk memilih secara voting di antara calon-calon yang sudah terpilih pada waktu wawancara dan anggota p

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Dr Nazaruddin Ali Basyah M Ed, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala. 

Oleh: Dr Nazaruddin Ali Basyah M Ed, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala

SELEKSI calon anggota komisioner Majelis Pendidikan Aceh (MPA) periode 2024-2029 telah dilaksanakan dengan terpilihnya 21 orang. Diharapkan terpilih orang-orang yang hebat dan berkualitas tinggi yang akan memajukan pendidikan Aceh. Namun sayangnya, proses pelaksanaannya dinilai banyak terjadi ketimpangan.

Pertama, adanya praktik diskriminatif bisa ditelusuri dari prosesnya. Dimulai dengan pengumuman penerimaan calon anggota MPA baru. Siapapun boleh mendaftar asalkan ber-KTP Banda Aceh dan Aceh Besar karena kantor MPA letaknya di Banda Aceh. Syarat lainnya dari kalangan akademisi, praktisi pendidikan, tokoh masyarakat, dan penyelenggara pendidikan.

Yang lebih penting lagi adalah syarat utamanya tidak boleh sedang memegang jabatan struktural di suatu lembaga, atau yang dipersamakan dengannya karena akan berdampak terhadap kinerjanya ke depan.

Setelah lulus seleksi berkas, dilakukan wawancara terhadap para calon. Saya mengamati bahwa ada tim panitia seleksi dari kalangan internal MPA, seperti Ketua MPA dan para anggota petahana lain. Ada juga dilibatkan sejumlah kalangan eksternal. Saya lulus juga pada tahap kedua tersebut.

Baca juga: Pj  Gubernur Aceh Buka Mubes Majelis Pendidikan Aceh

Setelah itu diadakan musyawarah besar (Mubes) untuk memilih secara voting di antara calon-calon yang sudah terpilih pada waktu wawancara dan anggota petahana. Namun anehnya, pihak pewawancara eksternal tidak dilibatkan dalam voting di Mubes. Juga tidak dilibatkan sejumlah calon anggota baru yang sudah lulus wawancara.  

Hanya kalangan internal anggota petahana dan sebahagian dari lembaga eksternal seperti Kanwil Agama, Dinas Pendidikan, Universitas, Asosiasi Guru, Komite Sekolah, dll.  Jelas itu indikasi diskriminasi terhadap calon-calon anggota baru yang sudah lulus wawancara.

Kedua, pemilihan itu juga terkesan kurang menjunjung tinggi etika dan moral dalam berdemokrasi dan mengandung unsur bias. Siapapun tahu bahwa seharusnya semua pihak yang terpilih diundang dalam Mubes agar memperoleh hak yang sama dalam memilih dan dipilih.  Bahkan pihak incumbent diberikan lima hak suara, sehingga berpeluang terjadi kongkalikong antara pemilih dan calon-calon dari kalangan internal.

Bisa saja pihak internal mengkondisikan pemilihan untuk memenangkan pihak-pihak tertentu untuk periode selanjutnya. Makanya, masing-masing anggota lama memperoleh dua periode atau sepuluh tahun di MPA agar bisa memperoleh imbalan untuk lima tahun selanjutnya.  

Padahal seharusnya anggota petahana tidak boleh diberikan peluang untuk mencalonkan diri lagi karena kehadiran mereka gagal dan tidak membantu meningkatkan kualitas pendidikan Aceh selama ini.

Baca juga: Pendaftaran Calon Anggota Majelis Pendidikan Aceh Periode 2024-2029 Dibuka

Ketiga, pemilihan tersebut juga tidak mewujudkan asas transparansi. Padahal mereka adalah orang-orang yang bertugas dalam bidang pendidikan, yang menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan, seperti transparansi dan demokrasi.

Kalau mereka transparan, jelas setiap fase pelaksanaan dijelaskan kepada semua pihak agar semua mengetahuinya. Yang dilibatkan dalam pemilihan secara voting pada waktu Mubes MPA adalah anggota-anggota lama dan perwakilan dari sejumlah kalangan yang terlibat dalam dunia pendidikan yang sudah mereka tentukan, mulai dari pihak Kanwil Kemenag, Dinas Pendidikan, Asosiasi Guru, Kepala Sekolah dan lain-lain.  

Makanya yang terpilih ternyata suara voting yang didominasi oleh anggota-anggota lama. Sedangkan calon anggota baru yang sudah lulus wawancara diberitahukan pelaksanaan Mubes pun tidak apalagi dilibatkan sebagai peserta ini patut dipertanyakan untuk apa juga dibuat seleksi terbuka dan diumumkan di media.

Keempat, adanya persyaratan dari pihak pihak panitia seleksi memberlakukan standar ganda.  

Di satu sisi, pihak MPA tidak membolehkan orang lain yang sedang menjabat untuk mencalonkan diri sebagai anggota MPA itu dituangkan dalam salah satu persyaratan tertulis yang dipublikasi di media.  

Namun di sisi lain, untuk kalangan internalnya dibolehkan serta dapat dipilih dan dinyatakan lulus, ini merupakan satu indikasi prosesnya berjalan tak sehat.

Tinjau ulang Pergub

Menurut saya, aturan-aturan yang telah dibuat dan disahkan oleh Pj Gubernur Aceh sebelumnya Ahmad Marzuki perlu ditinjau kembali.  Pergub itu kurang menjunjung tinggi nilai-nilai edukasi di dalamnya, tidak mengandung nilai transparansi dan akuntabel serta tidak taat azas demokrasi.

Siapa saja yang terlibat dalam perumusan Pergub tentang MPA itu juga patut dicurigai, nampak pada substansi Pergub yang tujuannya lebih kepada untuk melindungi kepentingan anggota petahana supaya dapat bertahan untuk periode selanjutnya.

Pada Pasal 18 dari Pergub tersebut, misalnya, dinyatakan bahwa masing-masing peserta Mubes harus memilih lima orang calon anggota MPA.  

Ini jelas adanya hak berlebihan untuk setiap peserta Mubes, lebih-lebih di saat tidak dihadirkan calon-calon anggota baru yang lulus pada tahap wawancara. Jelas ini adanya pengangkangan terhadap nilai-nilai pendidikan di antaranya adalah keadilan atau tidak terdapat diskriminasi, menjunjung tinggi kualitas dan lain-lain.  

Dalam proses pemilihan tersebut, kedekatan personal lebih utama, walaupun yang bersangkutan tidak kapabel dan tidak familiar dengan bidang ilmu pendidikan dibandingkan dengan calon yang tidak terpilih.

Padahal 21 orang yang terpilih tersebut adalah para pemberi nasehat dalam bidang pendidikan di Aceh (Education Advisory Board).  

Aceh sudah memiliki banyak lembaga yang mengurus pendidikan, dengan para pakarnya di segala bidang.  Pihak sekolah juga umumnya lebih banyak mendengar nasihat-nasihat dari pihak bimbingan belajar (Bimbel) untuk meningkatkan kualitas pendidikannya dan meluluskan siswa-siswinya untuk kuliah di perguruan tinggi-perguruan tinggi yang diharapkan.  

Saya sudah mewawancarai sejumlah kepala sekolah ternama di Aceh, ternyata caranya lebih kurang sama cara meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak di sekolahnya.
Lagi pula, grand design pendidikan Aceh yang seharusnya sudah diimplementasikan dan dievaluasi berkali-kali implementasinya, sampai saat ini belum jelas wujudnya dalam realisasinya.  

Padahal Pemerintah Aceh sudah menghabiskan dana yang banyak sekian puluh tahun untuk memikirkan pendidikan Aceh.  

Perlu dicatat bahwa MPA atau MPD Aceh ini sudah berjalan sekian puluh tahun. Jadi kalau dihitung sampai sekarang 2024, sudah memasuki dekade ketiga tugasnya.

Untuk apa Pemerintah Aceh menghabiskan dana miliaran rupiah setiap tahun untuk 21 orang anggota MPA bila tidak efektif dan kurang kontributif untuk meningkatkan kualitas pendidikan Aceh.  

Lebih baik anggotanya dikurangi menjadi 10 atau 5 orang saja, supaya tidak membebani anggaran untuk membayar gaji mereka setiap bulan, untuk menggaji staf di kantor, membeli kendaraan-kendaraan operasional dan berbagai kebutuhan kantor lainnya.  

Maunya dalam pemilihan anggota MPA dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis. Pergub dicermati betul-betul oleh kalangan ahli hukum, agar dalam pelaksanaannya menjunjung tinggi supremasi hukum, bukan lobi-lobi yang belum tentu memenuhi kualitas.

Selanjutnya, dalam proses pelaksanaan pemilihan anggota komisioner MPA, strateginya jangan campur sari.  Kalau memang ingin mencari kualitas anggota MPA, buatlah pengumuman secara transparan bagi siapapun yang memenuhi syarat untuk melamar dan mempresentasikan karya-karya dan strateginya meningkatkan kualitas pendidikan Aceh.  

Bukan berdasarkan voting, yang melibatkan lobi-lobi politik yang sangat membuka peluang terjadinya kongkalikong dan politik dagang sapi.  

Kalau begini caranya, lebih-lebih membolehkan orang-orang yang rangkap jabatan, kapan pendidikan Aceh bisa maju?

Akhir kata dan harapan untuk Gubernur Aceh supaya dapat membatalkan hasil pemilihan anggota MPA yang baru-baru ini sudah dilaksanakan lewat Mubes yang sarat dengan kepentingan.

Selanjutnya Gubernur membuat Pergub baru dan menggantikan Pergub lama yang mengatur tata cara pemilihan anggota MPA baru yang lebih transparan, bersih dan jujur. Membentuk panitia seleksi yang independen dan kredibel dengan tidak melibatkan anggota MPA lama untuk menghindari praktik KKN.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved