Kupi Beungoh
Aceh, Bihar, dan Ningxia? Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - Bagian Kedua
Akankah karut marut pembangunan dan pemerintahan yang telah berlanjut selama 17 tahun dan membuat Aceh tertinggal akan tidak menemukan titik akhir?
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
APA yang telah terjadi dengan pelimpahan kewenangan, dan pengucuran dana Otsus yang melimpah? Sudahkan semua kewenangan yang diberikan telah digunakan dengan baik untuk kebaikan dan kesejahteraan Aceh?
Sudahkan penggunaan dana otsus mengikuti dengan benar dan bijak tentang pengaturannya seperti yang ditulis dan digariskan dalam UU 11/2006? Setelah 15 tahun UU 11/2006 sudahkah “rahmat” dalam bentuk kewenangan dan keuangan telah mampu ditransformasikan menjadi “nikmat” bagi seluruh rakyat Aceh?
Selama masa 15 tahun pertama penggunaan dana Otsus telah terjadi riuh rendah dan kompleksitas alokasi dan penggunaannya telah dilaksanakan dengan cukup banyak kontroversi.
Masalahnya beragam: mulai dari tolak tarik antara propinsi dan kabupaten kota, pengesahan APBA terlambat setiap tahun secara berkelanjutan, dugaan penyalahgunaan dana aspirasi anggota DPRA,dan maraknya penangkapan dan penyelidikan berbagai kasus korupsi di provinsi dan kabupaten/kota.
Tanpa harus melakukan berbagai uji statistik ataupun ekonomitrika, berbagai realitas yang ada pada hari ini mencerminkan bahwa kucuran dana Otsus belum mempunyai pengaruh yang sangat berarti terhadap kemajuan Aceh.
Hal itu ditandai dengan pertumbuman ekonomi yang rendah, angka kemiskinan dan pengangguran yang relatif buruk, angka ketimpangan- gini ratio dengan trend meningkat.
Jika ada capaian positif yang apakah terjadi sendiri ataupun ducapai dengan sebuah perencanaan dan pelaksanaan yang solid adalah tentang perbedaan pembangunan antar wilayah. Kajian Bappenas (2018) menemukan satu hal yang baik adalah ketimpangan antar wilayah menunjukkan kecendrungan yang mengecil.
Ada kelalaian kolektif yang dilakukan secara sengaja atau tidak. Kelalaian itu secara dilakukan secara bersama dengan tingkatan yang berbeda antara pejabat elit politik dan pemerintahan Aceh, para ahli dari perguruan tinggi, dan elemen masyarakat sipil. Sampai tingkat tertentu, pemerintah pusat mungkin juga ikut terkena.
Yang dimaksud adalah tentang alpanya rencana induk rencana pemanfaatan dana otsus 20 tahun semenjak 2008. Praktis tak ada sebuah blue print 20 tahun tentang prinsip, arah, strategi, dan prioritas, berikut dengan output dan outcome yang diharapkan dari implimentasi dana Otsus.
Seperti yang terjadi dan telah kita saksikan, banyak sekali proyek-proyek pembangunan yang telah dilaksnakan tidak terarah, tidak tuntas, tambal sulam, dan sangat sarat dengan praktik penyalah gunaan.
Setiap debat yang terjadi antara antara eksekutif dan legislatif di propinsi maupun kabupaten kota sangat banyak bermuara kepada siapa dapat apa sesama mereka, bukan apa yang seharusnya akan didapatkan oleh publik.
Akankah karut marut pembangunan dan pemerintahan yang telah berlanjut selama 17 tahun dan telah membuat Aceh tertinggal akan tidak menemukan titik akhirnya?
Akankah Aceh mampu mempersiapkan sumber daya manusianya untuk mengantisipasi berbagai peluang yang terbuka di hari-hari mendatang?
Mampukah Aceh mengelola sumber daya alam yang tersisa dari eksploitasi yang tak menguntungkan bahkan cenderung merusak?
Persoalan investasi adalah persoalan kunci yang akan menjadi penentu untuk kemajuan dan peringkat setiap provinsi ketika Indonesia emas terjadi pada 2045. Mampukah Aceh menjadikan dirinya sebagai salah satu provinsi yang paling siap untuk investasi besar-besaran.
Akankah letak geografis, potensi sumber daya alam yang dapat menjadi bahan baku industri seperti migas menjadi petro kimia menjadi aset yang dapat digunakan untuk pembangunan dan kemajuan?
Mampukah Aceh beradaptasi dengan lingkungan ekonomi nasional dan global yang sangat dinamis, tanpa terbelenggu dengan sikap isolasi ”sistem keuangan” daerah yang cenderung tertutup?
Akankah revisi UU 11/2006, terutama yang menyangkut dengan “mengembalikan” pasal 183 ayat 2 tentang dana Otsus 2 persen, secara permanen, ataupun untuk waktu yang relatif panjang seperti layaknya Papua?
Bahkan mungkinkah setelah presiden dan gubernur Aceh terpilih dilantik, akankah Aceh mampu meyakinkan pemerintah pusat untuk memberikan alokasi dana yang jumlahnya setara dengan 1 persen dana otsus yang telah dicabut dengan judul atau nama apapun?
Dimana Aceh akan berada ketika Indonesia meraih predikat Indonesia emas pada 2045? Jika banyak dari jawaban terhadap sejumlah pertanyaan di atas adalah tidak, maka akan sangat sukar untuk kita berimajinasi tentang Aceh, ketika Indonesia menjadi anggota liga utama negara besar yang kaya dan maju pada 2045.
Kesukaran imajinasi itu sesungguhnya akan terbantu ketika hari ini kita melihat dua negara besar Asia yang kemajuan pembangunan dan pertumbuhan ekonominya terhebat di dunia. Negara itu adalah Cina dan India yang diproyeksikan akan menjadi nomor 1 dan 2 di dunia pada 2050.
Untuk hari ini saja ketika Cina dan India masing-masing menjadi nomor 2 dan nomor 5 ekonomi terbesar di dunia dapat menjadi cermin bagi kita. Imajinasi kita tentang Aceh ketika Indonesia emas tercapai pada 2045 dengan mudah dapat dilihat kepada Cina dan India hari ini.
Dengan status peringkat ke 5 ekonomi terbesar dunia hari ini, sejumlah negara bagian di India tetap saja miskin dan terkebelakang.
Tidak saja India, Republik Rakyat Cina yang kemajuan ekonominya terhebat di dunia, tetap saja tak serta merta mempunyai propinsi yang semuanya maju.
Baik Cina maupun India yang berstatus anggota lima besar ekonomi dunia, masih saja mempunyai propinsi dan negara bagian yang miskin dan terkebelakang.
Di India misalnya negara bahagian Bihar, Meghalaya, dan Madhya Pradesh adalah kelompok negara bagian termiskin dan terkebelakang.
Sebaliknya negara bagian termaju dan kontributor GDP terbesar untuk India adalah Maharashtra, Gujarat, Tamil Nadu, Karnataka, dan Uttar Pradesh.
Sama dengan India, disebalik kemajuan, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi yang hebat, Cina juga masih memiliki sejumlah propinsi yang miskin dan sangat tertinggal.
Tibet, Ningxia, Xinjiang, dan Guizhou adalah propinsi yang kemiskinannya sangat parah di Cina. Keadaannya sangat kontras dengan propinsi maju seperti Guandong, Jiangsu, Shandong, dan Zheiyang.
Apa arti dari cerita kemajuan dan prestasi hebat Cina dan India untuk kita hari ini. Indonesia Emas 2045, dengan status ekonomi nomor 4 di dunia tidak akan menjamin semua provinsi akan berada dalam status “liga utama” yang maju dań sejahtera. Akan ada provinsi masuk dalam kelompok Liga Satu, Liga Dua, Liga Tiga, dan bahkan tak masuk Liga sekalipun.
Indonesia Emas 2045 tak lama lagi, sekitar 20 tahun yang akan datang. Dimanakah Aceh pada saat itu?
Tugas utama gubernur Aceh 2024-2029 adalah sedari awal memastikan Aceh tidak masuk dań mengambil jalur untuk terjerumus kedalam kelompok papan bawah yang hina dan tak bermartabat. Kalau tidak, maka Aceh akan mengalami nasib menjadi Bihar dan Ningxia.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
kupi beungoh
Aceh
Gubernur Aceh 2024-2029
Gubernur Aceh
cina
India
Serambi Indonesia
Serambinews
Indonesia Emas 2045
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.