Opini
Masjid dan Tragedi Arjuna
Ada teladan Nabi yang tak sampai tentang bagaimana di masa lalu beliau memperlakukan orang-orang yang tidur di masjid.
Dr Fairus M Nur Ibrahim MA, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh
DI tengah riuhnya Jakarta, kipas angin sebuah masjid kecil di pinggiran Tanah Abang, berdecit pelan. Sajadahnya tak seindah mushala di kompleks perumahan yang biasanya tebal dan wangi. Tak ada CCTV apalagi barcode QRIS untuk memberikan donasi. Dengan dinding berlumut dan arsitekturnya pun biasa-biasa saja, sangat mungkin masjid ini tak banyak dikenal orang. Namun, bagi seorang pemulung bernama Basuki, masjid kecil yang memiliki nama Al-Ma’mur itu adalah rumah paling hangat yang pernah ia temui. Bertahun-tahun sebelumnya ia hidup di jalanan dan tidur di kolong jembatan.
Pertemuannya bersama Al-Ma’mur terjadi pada suatu malam. Semua bermula ketika Tanah Abang diguyur hujan. Untuk menghindari basah yang kian kuyup, dia memberanikan diri menapaki serambi masjid.
“Mau salat, Mas?”
Basuki menggeleng, memberi jawaban nonverbal atas pertanyaan marbot bernama Syarifudin. Bukannya mengusir karena tubuh Basuki basah dan sedikit kotor akibat membawa pulungan, sang marbot malah memberinya sarung kering dan teh hangat. “Tidur saja di sini,” katanya. Sejak malam itu, Basuki jadi akrab dengan Al-Ma’mur. Pelan-pelan ia mengalami “metamorfosis”: mulai rutin salat, membantu menyapu masjid, dan belajar membaca Al-Qur’an di sela-sela waktu mengumpulkan botol bekas. Lama-lama ia mulai mengenal dan berbincang dengan jamaah lain.
Saat Ramadan, mereka mengajak Basuki berbuka bersama, mengajari wudu secara benar, bahkan membelikan pakaian baru saat Lebaran tiba.
Mengapa Marbot Al-Ma’mur mengizinkan pemulung tidur di masjid? Bukankah kenyamanan jamaah dapat terganggu? Pertanyaan ini pernah diajukan seorang warga kepada Syarifudin.
“Pak,” ujar Syarifudin membuka jawaban, “kalau Rasulullah masih hidup, siapa yang pertama beliau peluk? Orang yang paling bersih atau orang yang paling tak punya tempat?”
Kalimat itu menampar lembut hati banyak orang. Ia menjadi energi mengapa Al-Ma’mur menjadi masjid yang ramah bagi siapa saja--musafir, gelandangan, bahkan anak jalanan. Mereka boleh beristirahat, asal menjaga adab dan kebersihan. Beberapa akhirnya memiliki jalan hidup yang berubah: menjadi tukang parkir masjid, kembali ke kampung halaman, atau mulai rutin mengaji mendalami Al-Qur’an.
Masjid Al-Ma’mur Tanah Abang berdiri pada abad ke-18 dan dikenal sebagai salah satu masjid tertua di Jakarta. Namun, yang membuatnya istimewa bukan hanya sejarahnya, melainkan perannya sebagai tempat berlindung bagi yang tidak memiliki rumah. Masjid ini memiliki tradisi membuka pintu bagi siapa saja, termasuk musafir, pedagang, pemulung, dan tunawisma. Dalam salah satu edisi Jakarta Tourism Office disebutkan bahwa Masjid Al-Ma’mur berperan penting secara sosial karena “menjadi tempat singgah dan istirahat bagi para pedagang dari luar kota yang datang ke Tanah Abang.”
Al-Ma’mur ternyata tak sendiri. Masjid Cut Meutia (Jakarta Pusat) dan Masjid Sunda Kelapa (Menteng) pun dikenal sebagai rumah ibadah yang memberi ruang bagi musafir atau warga jalanan untuk tidur dan beristirahat. Masjid Agung Surakarta dan Masjid Agung Bandung pun sama. Kisah-kisah tentang masjid manusiawi seperti ini bukan sesuatu yang absurd. Banyak kisah pernah diberitakan media mainstream dan sebagiannya bahkan viral melalui media sosial.
Cerita tentang masjid ramah manusia ini tiba-tiba saja berkelebat di memori saya ketika di hari-hari terakhir kita dikejutkan oleh kabar tentang Arjuna Tamaraya (21) yang dianiaya hingga tewas di Masjid Agung Sibolga karena ia tidur di dalamnya. Peristiwa memilukan yang menimpa pemuda asal Simeulue ini mengguncang nurani banyak orang, bukan semata karena darah tertumpah di tempat yang disucikan, tetapi juga menyesali mengapa wilayah sakral yang mestinya menjadi pelindung jiwa-jiwa yang rapuh justru menjadi tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan hilang di dalamnya.
Rumah tuhan dan manusia
Dalam bahasa Nabi, masjid disebut “baytullah”, rumah bagi setiap hamba yang ingin bermunajat kepada Tuhan dan beristirahat dari hiruk-pikuk dunia. Di masa hidupnya di Madinah, Nabi menjadikan masjid bukan hanya sebagai tempat shalat, tetapi juga pusat kehidupan umat: bermusyawarah, berdiskusi, belajar, bahkan tempat berlindung bagi yang tak memiliki rumah. Para sahabat miskin dan sederhana tinggal, rehat, serta tidur di bagian belakang Masjid Nabawi. Mereka berbaring di serambi masjid dengan alas seadanya tanpa dicela atau diusir oleh “marbot” maupun personalia “Badan Kemakmuran Masjid (BKM)”. “Di masjid Rasulullah,” tulis Bukhari dalam Shahih-nya, “ada orang-orang yang disebut Ahl al-Shuffah. Rasulullah memperhatikan mereka.
Jika ada makanan, beliau memberikannya.” Kelak, praktik hidup para sahabat yang tidur di serambi masjid ini menjadi referensi atas prinsip dan cara hidup “tasawuf”. Bukhari mendeskripsikan kepada kita bahwa Nabi bukan hanya membiarkan orang-orang tidur di masjid, tetapi bahkan memuliakannya.
Tragedi di Sibolga seharusnya menjadi cermin bagi kita bahwa membela kehormatan masjid tidak berarti menyingkirkan manusia dari rahmatnya. Menjaga kesucian rumah Allah tidak boleh membuat kita kehilangan akhlak Nabi-Nya. Rumah Allah bukan benteng steril, tapi pelukan bagi setiap jiwa yang lelah. Karena Rasulullah mengizinkan orang-orang miskin tidur dan tinggal di serambi masjid, maka kalau masjid menolak mereka, tidakkah ini berarti masjid menolak ajaran Nabi?
Disklaimer
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Dr-Fairus-M-Nur-Ibrahim-MA.jpg)