Breaking News

Opini

Kriteria Gubernur Menurut Wali Neugara Tgk Hasan di Tiro

Wali menulis dengan jelas dalam bukunya: "Segala sesuatu di Aceh dinilai berdasarkan standar Islami. Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh.

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Tgk Mukhtar Syafari MA, alumnus Dayah MUDI dan Universitas Islam Al-Aziziyah Indonesia (UNISAI) Samalanga serta seorang pemerhati politik. 

Oleh: Tgk Mukhtar Syafari MA*)

Dr Tgk Hasan di Tiro LLM MA Ph.D bukan hanya pejuang yang melanjutkan kembali negara sambungan (successor state) kesultanan Aceh yang tidak pernah berhasil dijajah oleh bangsa manapun. Selama puluhan tahun, Tgk Hasan di Tiro juga melakukan kajian dan menulis sejarah, landasan politik Aceh untuk meluruskan kembali dari penyelewengan (distorsi) agar generasi Aceh tidak terus terjebak dalam kesalahan yang mengakibatkan Aceh terus berada dalam kemunduran.

Menjelang Pilkada 2024 untuk memilih Gubernur sebagai pemimpin Aceh lima tahu ke depan. Saatnya kita membuka kembali catatan penting yang pernah ditulis oleh Tgk Hasan di Tiro sebagai panduan kita dalam menentukan pemimpin Aceh. Hal ini disebabkan karena Partai Aceh (PA) sebagai pemenang Pemilu 4 periode didirikan oleh murid ideologi Tgk Hasan di Tiro pasca perdamaian.

Wali menulis dengan jelas dalam bukunya: "Segala sesuatu di Aceh dinilai berdasarkan standar Islami. Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh. Jika Aceh dalam sekeping koin, Islam adalah sisi lain dari koin itu. Aceh adalah negara yang didirikan atas dasar Islam dan hidup dengan hukum Islam. Sudah seperti ini sebagian besar dari dari catatan sejarah kita." (The Price of Freedom: The Unfinished Diary; 124).

Baca juga: Janganlah Tuan Melupakannya, In Memorial 13 Tahun Teungku Hasan Tiro

Rasulullah bersabda: Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kehancuran. (HR. Bukhari). Ibnu Baththal (wafat 449 H), ulama generasi awal pensyarah kitab Shahih Al Bukhari menjelaskan Hadits ini bahwa: Sesungguhnya para pemimpin telah diberi kepercayaan oleh Allah dan wajib baginya untuk menasehati hamba-hamba-Nya, maka hendaknya mereka (rakyat) menyerahkan kepemimpinan kepada ahli agama. (baca: Saatnya Ulama Memimpin Aceh, Serambinews, 19/5/24).

Syarat ahli agama juga ditulis para ulama besar dalam kitabnya seperti Imam Al Haramain, Imam Al Mawardi dan Imam Al Ghazali.

Salah satu kriteria seorang pemimpin menurut standar Islam dan versi sejarah Aceh adalah ahli agama. Dan ini menjadi standar Wali Neugara dalam menentukan kriteria Gubernur wilayah yang pertama dilantik pada 24 Mei 1977 di gunung Halimon Pidie.

Tgk H Abdul Aziz bin Shaleh yang akrab dikenal Abon Aziz (pimpinan dayah MUDI Samalanga 1958-1989) dilantik sebagai Gubernur Wilayah Batee Iliek (Bireuen), Tgk Ilyas Leube sebagai Gubernur Wilayah Linge (Aceh Tengah). Beliau juga sebagai Menteri Kehakiman dan Kadhi Neugara (ketua MA).

Tgk Hasbi Geudong (Ayah Perdana Menteri Mukhtar Yahya) sebagai Gubernur Wilayah Pasee, Tgk Ilyas Cot Plieng sebagai Gubernur Wilayah Pidie, Tgk Ali Daud sebagai Gubernur Wilayah Tamiang. Cuma dr Zubir sebagai Gubernur Wilayah Perlak (Aceh Timur) yang bukan ulama dan ia juga menjabat sebagai Menteri Sosial.

Hal ini mungkin karena belum ada tokoh ulama dari Perlak saat itu yang siap menjadi Gubernur. Dan syarat ini tidak berlaku bagi menteri yang dilantik wali ketika itu karena menteri bukan pemimpi rakyat tapi pejabat teknis.

Tgk Hasan di Tiro juga menulis dalam The Price Of Freedom: The Unfinished Diary: Islam mengajarkan bahwa laki laki dan negara harus tunduk kepada hukum hukum Allah. Menganggap adanya pemisahan antara agama dan negara, antara moralitas, politik dan ekonomi sebagai gejala skizofrenia (satu jenis penyakit kejiwaan) karena Islam bertujuan untuk menghasilkan orang bermoral. Memisahkan negara dari agama berarti mengingkari seluruh konsep Islam (1984: 96).

Abuya Prof Dr Muhibbudin Wali salah seorang dari 3 ulama paling tua yang diundang Wali menjelang kepulangannya ke Aceh pada 2008. Wali menyampaikan amanah penting kepada perwakilan ulama tersebut agar menegakkan agama Islam.

Dalam pidato di hadapan jenazah Tgk Hasan Tiro di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada 3 Juni 2010, Abuya Profesor menceritakan kembali amanah yang diterima oleh rakyat Aceh dan para ulama untuk menegakkan agama Islam.

Gempa yang terjadi di hari meninggalnya Wali dita’birkan oleh Abuya dengan dua arti: pertama Aceh akan maju jika kita menjalankan amanah wali untuk menegakkan agama Islam, kedua “gempa” kehancuran akan terjadi bagi Aceh jika kita tidak menjalankan amanah wali untuk menerapkan syariat Islam (sumber You Tube).

Pemimpin Aceh ke depan harus mampu menerapkan standar Islam dalam semua lini kehidupan. Dan ini tidak mungkin dilakukan oleh pemimpin yang tidak ahli agama. Bagaimana mungkin seorang pemimpin menerapkan syariat Islam jika ia dipilih tidak berdasarkan aturan dan standar Islam.

Wacana mengusung Ketua Umum Partai Aceh (PA), Muzakir Manaf sebagai Calon Gubernur Aceh ditanggapi pro-kontra. Mualem dalam suatu wawancara di harian Serambi Indonesia baru baru ini menjawab bahwa: Saya berprinsip yang penting Partai Aceh menang. Tidak harus saya, intinya siapa yang kita usung menang. Ya kalau mereka mengusung saya, ya saya siap untuk bertanding di 2024 nanti. Tapi kalau ada yang lebih layak silahkan saja, saya tidak juga mengharap untuk bertanding di 2024.(Serambinews, 2/3/24).

Prinsip Mualem tidak akan maju sebagai calon Gubernur jika ada calon lain yang lebih layak patut diacungkan jempol. Berbeda halnya jika Mualem menerima tawaran Presiden terpilih, Prabowo untuk menjadi Menteri atau maju sebagai calon Wakil Gubernur untuk memperkuat konsolidasi rakyat Aceh.

Saat ini Mualem sebagai Ketum PA juga punya peran strategis memimpin kader PA di DPR Aceh dan DPRK se Aceh serta sebagai Wakil Wali Nanggroe harus mampu mengganti posisi Wali Nanggroe yang sudah sepuh di usia 85 tahun.

Masyarakat Aceh harus bersatu untuk memperkuat nilai tawar (bargaining) agar pusat menuntaskan janji MoU dan UUPA. Pasangan ulama HUDA dan mantan Panglima GAM diharapkan bisa menyatukan kekuatan semua elemen masyarakat Aceh.

Jika keduanya terpilih maka harus menjadi “ban ganding” yang saling memperkuat dan saling melengkapi. Tidak ada yang diposisikan sebagai “ban serap”. Dan kita optimis keduanya akan saling memperkuat untuk melahirkan kekuatan besar menuju kebangkitan Aceh ke depan.

Wali berjuang saat hidupnya begitu mapan di kota New York Amerika Serikat. Beliau rela berpisah sampai akhir hanyatnya meninggalkan istri dan anak semata wayangnya serta hidup di hutan belantara untuk masa depan rakyat Aceh; sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat kelak. Jika hari ini wali masih hidup dalam kondisi lemah tak berdaya maka beliau hanya bisa menangis dengan perasaan sangat kecewa ketika amanahnya tidak dijalankan.

Oleh karena itu, pengabdian untuk wali yang telah meninggalkan hanya bisa dilakukan jika kita patuh menjalankan amanah darinya.

Kita berharap pengalaman Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf pada 2018 tidak akan terulangi pada siapapun pemimpin Aceh ke depan. Sebagaimana diberitakan media, kasus bantuan kombatan GAM pada 2013 dalam proses penyelidikan oleh penegak hukum.

Meskipun kita yakin, Mualem sebagai Wakil Gubernur ketika itu tidak terlibat. Tapi kita patut khawatir dan berharap agar ini tidak terjadi terhadap Mualem karena ini akan melemahkan implementasi MoU dan UUPA ke depannya dan Aceh yang dirugikan.

Kita saksikan selama ini diduga politik saling sandera terjadi di tingkat pusat. Apalagi kalau PA berkoalisi dengan Parnas dan mengusung Ketua parpol nasional (caleg gagal lolos DPR RI) sebagai Wakil Gubernur mendampingi Mualem maka ini akan berpotensi besar terjadi seperti Gubernur Irwandi pada 2018. Semoga kita tidak melupakan amanah wali. 

*) Penulis adalah alumnus Dayah MUDI dan PPs UIN Ar Raniry serta seorang pengkaji pemikiran politik Tgk Hasan di Tiro

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved