Luar Negeri
Umm Hudaifa Janda Pemimpin ISIS Abu Bakar Al-Baghdadi Divonis Hukuman Mati, Ungkap Kisah Hidupnya
Dalam sebuah wawancara yang jarang terjadi di penjara awal tahun ini, dia menceritakan kisah hidupnya bersama suaminya.
Sebuah tim investigasi PBB melaporkan bahwa mereka telah menemukan bukti bahwa ISIS melakukan genosida terhadap kelompok minoritas Yazidi di Irak.
ISIS juga disebut melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk pembunuhan, penyiksaan, penculikan, dan perbudakan.
ISIS menyiarkan kekejamannya, termasuk aksi pemenggalan sandera dan pembakaran seorang pilot Yordania, di media sosial.
Dalam insiden terkenal lainnya, mereka membantai sekitar 1.700 tentara Irak yang berlatar Syiah.
Para korban baru saja meninggalkan lokasi pelatihan di pangkalan militer Speicher di utara Baghdad untuk menuju kota asal mereka.
Sejumlah perempuan yang pernah tinggal bersama kelompok ISIS saat ini mengatakan bahwa mereka tidak mengerti apa yang mereka hadapi.
Hal ini kemudian saya tanyakan kepada Umm Hudaifa tentang apa yang dia saksikan saat itu.
Dia mengaku saat itu dia tidak bisa melihat video atau foto yang menggambarkan kekerasan.
Namun dia dapat menggambarkan kekejaman tersebut sebagai "sangat mengejutkan, tidak manusiawi” dan menyebut “tindakan kekerasan itu melanggar batas kemanusiaan”.
Ummu Hudaifa mengaku dia sempat menentang suaminya perihal “darah orang-orang yang tidak bersalah” di tangannya dan mengatakan kepadanya bahwa “menurut hukum Islam ada hal-hal lain yang bisa dilakukan, misalnya membimbing mereka agar bertobat”.
Dia menggambarkan bagaimana suaminya berkomunikasi dengan para pemimpin ISIS melalui laptopnya.
Al-Baghdadi menyimpan komputernya terkunci di dalam tas kerja.
“Saya mencoba membobolnya untuk mencari tahu apa yang terjadi,” katanya, “tetapi saya buta teknologi dan selalu terbentur kode sandi.”
Ummu Hudaifa berkata, dia mencoba melarikan diri, namun orang-orang bersenjata di pos pemeriksaan menolak membiarkannya lewat dan mengirimnya kembali ke rumah.
Menyinggung soal pertempuran saat itu, sejauh yang dia tahu suaminya ”tidak mengambil bagian dalam pertempuran apa pun”.
Ummu Hudaifa kemudian menambahkan bahwa suaminya berada di Raqqa ketika ISIS menguasai Mosul - al-Baghdadi kemudian pergi ke Mosul untuk menyampaikan pidatonya.
Segera setelah pidato deklarasi ISIS itu, al-Baghdadi menikahkan putri mereka yang berusia 12 tahun, Umaima, dengan temannya, Mansour, yang dipercaya untuk mengurus urusan keluarga. Ummu Hudaifa mengatakan dia mencoba mencegahnya, tapi diabaikan.
Sumber di otoritas keamanan Irak mengatakan kepada kami bahwa Umaima pernah menikah satu kali sebelumnya, pada usia delapan tahun, dengan juru bicara ISIS di Suriah.
Namun, dia mengatakan pernikahan pertama diatur agar sang pria bisa masuk ke rumah saat al-Baghdadi pergi, dan hubungan itu tidak bersifat seksual.
Kemudian pada Agustus 2014, Ummu Hudaifa kembali melahirkan seorang putri bernama Nasiba yang menderita kelainan jantung bawaan.
Ini bertepatan dengan Mansour yang membawa sembilan remaja dan perempuan Yazidi ke rumahnya. Usia mereka berkisar antara sembilan hingga sekitar 30 tahun.
Mereka hanyalah segelintir dari ribuan perempuan dan anak-anak Yazidi yang diperbudak oleh ISIS – ribuan lainnya terbunuh.
Ummu Hudaifa mengatakan dia terkejut dan “merasa malu”.
Ada dua remaja dalam kelompok Yazidi itu, Samar dan Zena – bukan nama sebenarnya.
Ummu Hudaifa mengaku mereka hanya tinggal di rumahnya di Raqqa selama beberapa hari sebelum dipindahkan.
Namun kemudian keluarga tersebut pindah ke Mosul dan Samar muncul kembali, tinggal bersama mereka selama sekitar dua bulan.
Saya melacak ayah Samar, Hamid, yang sambil menangis mengenang saat anaknya diculik.
Dia mengatakan dia memiliki dua istri dan mereka, bersama dengan 26 anaknya, dua saudara laki-laki dan keluarganya, semuanya diculik dari kota Khansour di Sinjar. Dia melarikan diri ke pegunungan terdekat.
Enam anaknya, termasuk Samar, masih hilang. Beberapa dari mereka kembali setelah uang tebusan dibayarkan dan yang lainnya pulang setelah wilayah tempat mereka ditahan dibebaskan.
Gadis lainnya, Zena, adalah keponakannya dan diperkirakan terjebak di Suriah utara.
Adik Zena, Soad, tidak bertemu langsung dengan Ummu Hudaifa, melainkan diperbudak, diperkosa, dan dijual sebanyak tujuh kali.
Sebelum hukuman mati diumumkan, Hamid dan Soad mengajukan gugatan perdata terpisah terhadap Umm Hudaifa karena berkolusi dalam penculikan dan perbudakan gadis Yazidi. Mereka tidak percaya bahwa dia adalah korban yang tidak berdaya dan menyerukan agar dia hukuman mati.
“Dia bertanggung jawab atas segalanya. Dia yang memilih - yang ini untuk melayaninya, yang itu untuk melayani suaminya... dan saudara perempuan saya adalah salah satu dari gadis-gadis itu,” kata Soad.
Hal itu berdasarkan kesaksian korban lain yang telah kembali ke rumah.
“Dia adalah istri penjahat Abu Bakr al-Baghdadi, dan dia juga penjahat seperti dia.”
Kami memutar rekaman wawancara kami dengan Soad dan dia berkata: “Saya tidak menyangkal bahwa suami saya adalah seorang penjahat,” namun menambahkan bahwa dia “sangat menyesal atas apa yang terjadi pada mereka”, dan menyangkal tuduhan yang ditujukan padanya. .
Umm Hudaifa mengatakan tak lama kemudian, pada Januari 2015, dia bertemu sejenak dengan pekerja bantuan AS yang diculik, Kayla Mueller, yang disandera selama 18 bulan dan meninggal di lokasi penyanderaan.
Apa penyebab kematian Kayla masih belum diketahui - ISIS saat itu mengeklaim bahwa dia terbunuh dalam serangan udara Yordania, namun AS selalu membantahnya. Sumber keamanan Irak kini memberi tahu kami bahwa dia dibunuh oleh ISIS.
Pada 2019, pasukan AS menggerebek tempat persembunyian al-Baghdadi dan beberapa anggotra keluarganya di barat laut Suriah.
Baghdadi meledakkan diri dengan bom yang ada dirompinya ketika tersudut di terowongan. Dia tewas bersama dua anaknya, sementara dua dari empat istrinya tewas dalam baku tembak.
Namun Umm Hudaifa tidak ada di sana - dia tinggal di Turki dengan nama palsu dan ditangkap pada 2018.
Dia dikirim kembali ke Irak pada Februari tahun ini, tempat dia ditahan di penjara sementara pihak berwenang menyelidiki perannya dalam ISIS.
Putri sulungnya, Umaima, berada di penjara bersamanya, sementara Fatima, yang berusia sekitar 12 tahun, berada di pusat penahanan remaja.
Salah satu putranya tewas dalam serangan udara Rusia di Suriah dekat Homs, yang lainnya meninggal bersama ayahnya di terowongan, dan anak bungsunya berada di panti asuhan.
Ketika kami selesai wawancara, dia mengangkat kepalanya dan saya melihat sekilas wajahnya, tapi ekspresinya tidak menunjukkan apa-apa.
Saat petugas intelijen membawanya pergi, dia memohon lebih banyak informasi tentang anak bungsunya.
Dan kini, di selnya, dia akhirnya menerima vonis bersalah dari pengadilan dan harus menunggu untuk mengetahui kapan hukumannya akan dilaksanakan.
Baca juga: Israel Ancam Tembaki Jutaan Warga Palestina Jika Tak Angkat Kaki dari Gaza City
Baca juga: Batara Ageng Mantan Manajer Fuji Gelapkan Uang Rp1,3 Miliar, Buat Bayar Angsuran Apartemen dan Mobil
Baca juga: Sempat Gagal Dicambuk, Oknum Polisi Terbukti Mesum Jalani Eksekusi di Halaman Masjid di Kota Jantho
Sosok Robin Westman, Penembak Sekolah Pakai Senjata Bertuliskan 'Bunuh Trump' dan 'Bakar Israel' |
![]() |
---|
Kim Jong Un Perintahkan Senjata Nuklir Dipercepat saat AS-Korsel Latihan Militer |
![]() |
---|
Mesin Pesawat Condor Jerman Meledak di Udara, Begini Nasib 273 Penumpang |
![]() |
---|
Korban Tewas Banjir Bandang dan Longsor Pakistan Lampaui 350 Orang |
![]() |
---|
5 Orang Tewas akibat Helikopter Pakistan Jatuh Saat Misi Penyelamatan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.