Refleksi 19 Tahun MoU Helsinki

Dilema Mewujudkan Keadilan Korban Konflik

Tapi keruntuhan akibat konflik baik harta benda, fisik dan psikis, puluhan tahun terpuruk dan takkan hilang rasa sakit seberapapun lamanya.

|
Editor: mufti
IST
Sharli Maidelina SPd CPM, Komisioner KKR Aceh/Ketua Pokja Perempuan 

Sharli Maidelina SPd CPM, Komisioner KKR Aceh/Ketua Pokja Perempuan

PADA 19 tahun silam, ada tangis haru dan senyum bahagia bagi sebagian besar orang yang mendambakan kedamaian. Damai artinya anak-anak bisa leluasa mengenyam pendidikan. Para orang tua tidak perlu lagi waswas bekerja sekalipun harus bertani dan menyusuri hutan-hutan. Para istri dan anak-anak perempuan tak perlu lagi khawatir dilecehkan, diperkosa dengan motif “hukuman bagi suami atau ayah mereka”.

Telinga tak lagi berdengung dan jantung tak lagi berdegup kencang oleh suara rentetan peluru atau letusan bom dan deru mobil pihak bertikai. Itulah sebagian kecil arti damai bagi sebagian besar penduduk Aceh, pasca penandatanganan kesepakatan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 silam.

Tsunami 2004, pemicu lahirnya damai Aceh memang cukup memberi pemandangan seakan ‘akhir kehidupan’. Mayat yang bergelimpangan hampir merata di sepanjang jalan. Gedung-gedung tinggi dan megah hancur, semua rata hanya dengan satu sapuan peristiwa ombak yang maha dahsyat. Data Amnesty International menyebut bahwa korban konflik bersenjata di Aceh sejak 1976- 2005 sebanyak 30.000 jiwa, sedangkan tsunami menelan korban 170.000 jiwa.

Artinya dari segi jumlah, konflik bersenjata di Aceh menelan korban 20 persen dari tsunami. Namun dua peristiwa tersebut, memberi dampak yang berbeda sehingga penanganan juga tidak mungkin sama. Benar bahwa kehancuran akibat tsunami, kini telah terpulihkan pasca rehab rekon. Walau mungkin tidak bisa dianggap sempurna, tapi terlihat kemegahannya dalam tata kota.

Tapi keruntuhan akibat konflik baik harta benda, fisik dan psikis, puluhan tahun terpuruk dan takkan hilang rasa sakit seberapapun lamanya. Terlebih-lebih jika tak ada pemulihan khusus. Tsunami menghancurkan beberapa wilayah Aceh saja yang berdekatan dengan lautan. Sementara konflik bersenjata menghancurkan di hampir di semua wilayah Aceh baik di dekat lautan maupun pegunungan.

Dari sisi penerimaan, korban tsunami lebih mudah ikhlas secara psikis karena sebuah bencana dari Allah yang datang seketika. Mencuri perhatian semua kalangan untuk perbaikan, baik dalam maupun luar negeri. Apapun jenis profesi manusianya, semua mengambil peran sebisanya. Hanya dalam 2 tahun saja, mayat-mayat yang puluhan ribu bergelimpangan bersama reruntuhan telah mengalami perbaikan yang signifikan. Lalu bagaimana dengan dampak konflik bersenjata?

Adakah rehab rekon khusus yang dibangun pemerintah? Yang mampu mencuri perhatian puluhan negara, semua kalangan dan semua profesi pekerjaan untuk mengambil peran sebisanya sebagaimana perbaikan tsunami. Tidak ada jawabanya.

Jika sapuan ombak memisahkan ibu dari anaknya, istri dari suaminya dan tersisa sebatang kara. Sedih memang tapi dalam kisah itu tidak ada yang bisa disalahkan karena bencana di luar kuasa manusia. Sementara konflik Aceh hanya karena sang ayah dituduh sebagai pihak yang bertikai, maka anak dan istri menjadi sandera. Anak kecil disiksa, disetrum, sementara istri diperkosa di depan suami untuk menghukum suaminya, berdampak istri diceraikan suami, dikucilkan tetangga, kehilangan harga diri, juga semangat bertahun-tahun bagai jasad hidup tanpa tawa.

Trauma dan berteriak setiap melihat api karena dulu rumahnya dibakar, trauma melihat warna tertentu, hijau atau coklat bagi korban yang mengalami penyiksaan langsung dan kehilangan harapan berkeluarga karena merasa kotor bagi korban kekerasan seksual. Bagaimana itu semua bisa terpulihkan? Pernahkah itu semua dipikirkan, sebagaimana memikirkan perbaikan kerusakan tsunami? Tidak pernah.

Seorang ibu yang telah lansia, Ketika ditanya soal anaknya. Ia harus mengisap rokok untuk menguatkan mentalnya dalam bercerita. Saat dimana kedua anak perempuannya harus dimandikan dengan jasad mengenaskan. Luka bacokan dengan dugaan turut diperkosa.

Tanggung jawab bersama

Meski 19 tahun damai ini ada tapi ingatan itu tidak lupa dan rasa sakit di dadanya masih sama, bertanya mengapa dan siapa. Ia tinggal di pedalaman, menyusuri perbukitan, dengan rumah yang kurang layak dan ekonomi memprihatinkan.

Benar bahwa beberapa perhatian pemerintah seperti bantuan-bantuan pernah dikucurkan untuk korban konflik Aceh. Tapi benar juga bahwa tidak semua korban tersentuh bantuan-bantuan tersebut. Terutama korban yang harus jemput bola. Seperti korban yang terluka, cacat, lansia, mengalami gangguan jiwa , tinggal di pedalaman terpencil, termiskinkan keadaan, maka rata-rata mereka tidak punya akses mengejar bantuan.

Padahal seharusnya bagi korban pelanggaran HAM, negara wajib memberikan keadilan lewat pemenuhan haknya. Bahwa reparasi yang seharusnya dipenuhi negara itu bukanlah bantuan, melainkan hak. Namun, hal itu luput menjadi prioritas utama, yang berdampak menjadi PR Pemerintah yang tak kunjung selesai.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved