Cahaya Aceh
Rateb Berjalan, Tradisi Tolak Bala di Aceh Tamiang Menjadi Magnet Bagi Wisatawan
Rateb Berjalan ini merupakan tradisi berjalan dari kampung ke kampung seraya melafazkan tahlil, zikir dan doa pada malam hari.
Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: Safriadi Syahbuddin
Laporan Rahmad Wiguna | Aceh Tamiang
SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG - Tradisi tolak balak yang dinamai Rateb Berjalan telah menjadi magnet bagi wisatawan. Tradisi ini dipastikan tidak bertentangan dengan syariat Islam, justru memiliki andil dalam melestarikan keasrian wilayah pesisir.
Masyarakat melayu Aceh Tamiang melakukan tradisi Rateb Berjalan sebagai tanda berakhirnya bulan Safar. Rateb Berjalan ini merupakan tradisi berjalan dari kampung ke kampung seraya melafazkan tahlil, zikir dan doa pada malam hari.
Iring-iringan masyarakat hanya menggunakan alat penerang obor, sementara lampu rumah yang dilewati diimbau untuk dimatikan sementara.
“Kendaraan yang ikut iring-iringan juga harus mematikan lampunya, jadi alat penerang hanya obor,” kata Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Tamiang, M Djuned Thahir, baru-baru ini.
Djuned mengungkapkan pemadaman listrik di rumah penduduk ini bermakna agar syiar agama yang sedang dijalankan peserta bisa berjalan khusyuk. “Peserta fokus dengan jalan yang diterangi obor, tidak terganggu dengan alat penerangan lain,” ungkapnya.
Dijelaskannya, Rateb Berjalan ini merupakan tradisi melayu Aceh Tamiang yang sudah dilakukan secara turun temurun. Untuk tahun ini, Rateb Berjalan dimulai dari Kampung Muka Sungaikuruk. Ratusan peserta kemudian berjalan kaki menuju kampung yang berbatasan langsung dengan laut.
“Ada persimpangan di Pekan Seruway, tim terbagi dua, ada yang ke Sungaikuruk III, sebagian lagi ke Pusungkapal,” kata dia.
Setibanya di kampung terakhir, peserta kemudian melakukan pengajian dan berdoa kepada Allah SWT agar kampung mereka dihindari bala, bahaya dan dicurahkan rezeki dan keselamatan.
“Setiap di ujung Safar, kami melakukan Rateb Berjalan. Safar bulan panas, makanya kami berharap lindungan Allah SWT,” ujar Djuned.
Djuned memastikan seluruh rangkaian Rateb Berjalan ini tidak bertentangan dengan syariah Islam, karena sepenuhnya memuji dan memohon doa kepada Allah SWT. “Sepenuhnya meminta kepada Allah SWT, tidak ada selain Allah,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Djuned meminta pemangku adat dan pemerintahan melestarikan Rateb Berjalan karena bagian dari perkembangan melayu Aceh Tamiang.
Rateb Berjalan ini diakuinya sebagai salah satu tradisi yang bisa melindungi generasi muda dari gempuran budaya asing (westernisasi).
Sebelum melakukan Rateb Berjalan, masyarakat terlebih dulu melakukan rateb duduk. Rateb duduk merupakan kegiatan mengaji dan berdoa yang dilakukan di masjid selepas Isya.
“Tiga malam sebelum Rateb Berjalan, kita buat dulu rateb duduk. Sehabis Isya, jamaah tidak pulang, sama-sama mengaji dan berdoa meminta ampunan Allah SWT,” kata Djuned Thahir.
Rateb duduk ini diakuinya banyak sisi baik. Selain mengajak masyarakat meningkatkan ibadah, juga bermanfaat untuk memperkuat silaturahmi. “Berkumpul di tempat yang baik (masjid), tentunya mendapat ridha Allah SWT,” ujarnya.
Setelah melakoni rateb duduk tiga malam, tradisi ini dilanjutkan dengan Rateb Berjalan selama tiga malam juga. Djuned menjelaskan rangkaian rateb ini merupaka tradisi yang sudah dilakukan sejak dulu dalam menutup bulan Safar.
Pemerhati kebudayaan Aceh Tamiang, Muntasur Wan Diman menambahkan dalam pandangan melayu Aceh Tamiang, bulan Safar yang merupakan bulan kedua Hijriyah bermakna sebagai bulan panas. Konon, masyarakat zaman dulu mempercayai Rabu akhir bulan Safar merupakan hari turunnya penyakit.
Untuk mengantisipasi turunnya bala ini, masyarakat melakukan kenduri sambil membacakan doa dan berzikir menuju sumber kehidupan.
“Kalau di hilir jalan ke arah sungai sebagai sumber kehidupan (nelayan), hulu ke arah gunung dan kalau di kota dilakukan di perempatan sawah,” kata dia.
Muntasir mengakui dulu kegiatan ini bersentuhan dengan pelanggaran syariat karena ada proses membuang makanan. Seiring masuknya Islam ke Indonesia, kegiatan yang cenderung syirik ini dihapus dan diganti dengan makan bersama di lokasi kenduri.
Di sisi lain, tradisi Rateb Berjalan yang melibatkan ratusan orang ini telah menjadi daya tarik wisatawan. Terlabih kata dia, Rateb Berjalan sudah diakui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbusristek) sebaai Warisan Budaya tak Benda (WBTB).
“Sekarang ini sudah banyak orang yang datang hanya untuk menyaksikan, seandainya ini dikemas lebih baik, maka akan lebih tersampaikan syiarnya,” ujarnya.
Kadisparpora Aceh Tamiang, Muhammad Farij pun tak menampik kalau tradisi tolak bala ini telah menjadi momen yang ditunggu masyarakat. Efek positif dari kegiatan ini cukup luas, termasuk menciptakan pemberdayaan ekonomi.(*)
Cahaya Aceh
Rateb Berjalan
Kualasimpang
Aceh Tamiang
tradisi aceh
wisata aceh
Serambinews
Serambi Indonesia
Serambinews.com
Museum Keliling Masuk Sekolah, Alternatif Edukasi Kesadaran Mitigasi Bencana |
![]() |
---|
Selama Enam Bulan ke Depan, BPBA dan Disbudpar Aceh Gelar Pameran Kebencanaan |
![]() |
---|
Menyusuri Sabang, Surga Bahari di Ujung Barat Indonesia |
![]() |
---|
Aceh Perkusi 2025 di Aceh Utara Meriah, Acara Hingga Besok, Gubernur Mualem Tabuhkan Rapai Pasee |
![]() |
---|
Aceh Perkusi 2025 Berlangsung Meriah di Aceh Utara, Mualem Tabuhkan Rapai Pase |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.