20 Tahun Tsunami Aceh

Dua Dekade Tsunami: Isak Tangis dan Harapan di Kuburan Massal Ulee Lheu

Mereka tak kuasa membendung air mata ketika membacakan surah Yasin kepada anggota keluarga mereka yang meninggal

Penulis: Indra Wijaya | Editor: Amirullah
SERAMBI/INDRA WIJAYA
Warga menaburkan bunga dan membaca surah Yasin saat berziarah di kuburan massal Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, Kamis (26/12/2024). 

Laporan Indra Wijaya | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Minggu 26 Desember 2004, mentari mulai bersinar dari arah Timur. Warga Banda Aceh beraktifitas seperti biasa. Sebagian dari mereka bersiap untuk piknik bersama keluarga. Suasana sejuk dan riuhnya suara kicauan burung santer terdengar.

Suasana damai di akhir pekan itu berubah menjadi petaka. Gempa berkuatan 9,3 skala ritcher (SR) mengguncang Serambi Mekkah.

Masyarakat tumpah ruah berlari menyelamatkan diri keluar dari rumah. Suasana mencekam menyelimuti libur akhir pekan tersebut.

Minimnya pengetahuan akan bencana tsunami, membuat masyarakat Banda Aceh khususnya kembali ke rumah untuk melihat situasi pasca gempa tersebut. Mereka tidak mengetahui bahwa akan ada bencana dahsyat yang datang setelah peristiwa gempa tersebut.

Selang beberapa saat, ai dipinggiran pantai Ulee Lheu mulai surut. Ikan-ikan melompat liar dibibir pantai. Masyarakat yang melihat fenomena langkah tersebut langsung berlari ketepi pantai memungut ikan yang berserekan. Air yang semula surut kembali dengan volume yang lebih besar. Masyarakat panik melihat apa yang terjadi.

Baca juga: Jatuhnya Pesawat Azerbaijan Airlines Menyimpan Kejanggalan, Tabrak Burung atau Sengaja Ditembak?

Mereka segera bergegas melarikan diri dari hantaman ombak tsunami. Namun, air lebih dulu tiba dibibir pantai. Sehingga banyak yang tidak berhasil menyelamatkan diri. Ratusan ribu masyarakat Aceh menjadi korban akibat bencana tsunami 20 tahun silam.

Dua dekade peristiwa tsunami Aceh, sejuk pagi sama terasa di Kuburan Massal Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa. Cuaca yang cerah dengan sejuknya embun pagi menghiasi kuburan tersebut. Bedanya mereka tidak sedang menyelematkan diri, melainkan larut dalam lantunan zikir dan doa mengenang peristiwa kelam tersebut.

Suasana penuh haru dengan isak tangis tumpah ruah di kuburan massal tersebut. Mereka tak kuasa membendung air mata ketika membacakan surah Yasin kepada anggota keluarga mereka yang meninggal akibat bencana dahsyat tersebut.

Meski tak mengetahui secara pasti bahwa sanak keluarganya disemayamkan di kuburan massal tersebut, batin mereka mengatakan bahwa anak dan keluarga berada disana. Hal itu seakan menjadi harapan untuk mendoakan mereka yang menjadi korban tsunami 2004 silam.

Triansyah Putra (52) salah seorang peziarah yang berasal dari Gampong Punge, Kecamatan Meuraxa, merasa yakin bahwa saudara dan orang tuanya disemayamkan di kuburan massal tersebut. Meski tak ada gambaran pasti, dirinya tetap melantunkan ayat suci Al-Qur'an untuk sanak familinya. Hampir setiap tahunnya itu berziarah ke makam tersebut.

Saat tsunami itu terjadi ia dan keluarganya sedang berada di rumah. Dimana saat itu ia sudah mengetahui berkat laporan masyarakat bahwa air mulai naik dari arah pantai Ulee Lheu. Minim pengetahuan terkait bencana tsunami, saat ia merasa bahwa air tidak akan sampai ke tempat tinggalnya. Lantaran jarak pantai dengan Gampong Punge terpaut lumayan jauh.

Namun tak lama berselang, air laut dengan cepat menghancurkan seluruh rumah yang ada di sekitar tempatnya. Ia dan keluarganya tak sempat berlari ke tempat lebih jauh untuk menyelamatkan diri. Ia dan keluarga terhapus gelombang dahsyat tersebut.

Baca juga: Ribuan Masyarakat Larut Dalam Tafakur Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh

Beruntung saat itu, Triansyah Putra berhasil selamat. Namun orang tua dan saudaranya tak kunjung ditemukan akibat peristiwa tersebut. "Hati saya mengatakan bahwa mereka disemayamkan disini yang terdiri dari orang tua, saudara dan keponakannya. Rumah saya itu lantai dua juga hancur saat peristiwa itu," katanya, Kamis (26/12/2024).

Dua dekade peristiwa tersebut kata dia, tsunami menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk disampaikan kepada generasi masa depan apa itu mitigasi bencana. Menurutnya, saat ini perubahan masyarakat Kota Banda Aceh kini lebih peka akan potensi bencana Gempa dan Tsunami.

Sebab, 2004 silam, masyarakat sangat awam apa itu bencana tsunami. "Hikmahnya kita ambil. Pasti masyarakat kini sudah memahami mitigasi bencana," ucapnya.

Sementara itu Evana salah umat kristiani yang berdomisili di Gampong Keudah, mengaku bahwa ibu dan ayahnya menjadi korban tsunami 2004 silam. Saat kejadian ia sedang berada di Medan. Dimana dihari itu rencananya ia akan bertolak ke Aceh.

Namun, saat itu ia ketinggalan pesawat di Bandara Polonia Medan. Informasi bencana tsunami itu ia ketahui berkat siaran di media televisi. Beberapa hari setelah kejadian, ia baru bisa mendaratkan kaki di bumi Serambi Mekkah dan langsung mencari jasad keluarganya. 

Berhari-hari mencari namun ayah dan ibunya tak kunjung ditemukan. Hingga batinnya merasa bahwa jasad keluarganya ikut disemayamkan di kuburan massal Ulee Lheu bersama korban tsunami lainnya.

Peristiwa kelam tersebut seakan menjadi pengingat dan sejarah bagaimana bencana dahsyat tersebut terjadi. Meski setiap peringatan diwarnai isak tangis yang tak terbendung, bencana tersebut melahirkan harapan akan pentingnya mitigasi bencana dan menjadi gambaran bagaimana masyarakat Aceh dapat bangkit dengan cepat ditengah keterpurukan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved