Berita Banda Aceh

Abu Salam Siap Fasilitasi Mualem dengan Petronas, Jika Pusat Tak Hapus Sistem Barcode BBM di Aceh

Ketua KPA Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsyumi alias Abu Salam menegaskan, pihaknya siap memfasilitasi investor luar seperti Petronas jika Pemerintah P

Editor: mufti
for Serambinews.com
Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsumi alias Abu Salam. 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsyumi alias Abu Salam menegaskan, pihaknya siap memfasilitasi investor luar seperti Petronas jika Pemerintah Pusat tidak mengabulkan permintaan Pemerintah Aceh terkait penghapusan sistem barcode BBM subsidi di Aceh.

“Kami masyarakat Aceh tidak akan tinggal diam. Jika pemerintah pusat tetap bersikeras, maka kami akan mengundang investor untuk membuka peluang menghadirkan Petronas dan sejenisnya ke Aceh,” tegas Abu Salam dalam keterangannya, Senin (17/2/2025).

Dikatakannya, Aceh memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengelola sumber daya minyak dan gas (migas) secara mandiri sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005, terdapat klausul yang secara eksplisit memberikan kewenangan bagi Aceh untuk mengelola sumber daya alamnya, termasuk migas. Hal ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Pasal 160 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa “Pemerintah Aceh berhak mengelola sumber daya alam, termasuk minyak dan gas bumi di wilayahnya.” Sementara pada ayat (2) ditegaskan bahwa Aceh berhak memperoleh 70 persen dari hasil minyak dan gas bumi yang diproduksi di wilayahnya.

Namun, menurutnya, selama ini Aceh hanya mendapatkan persentase kecil dari total produksi migasnya. Bahkan, pengelolaan migas masih didominasi oleh Pemerintah Pusat dan Pertamina, tanpa ada keterlibatan signifikan dari Pemerintah Aceh.

“Migas di perut bumi Aceh ini bukan milik Jakarta, tapi milik rakyat Aceh! Kenapa kami dipaksa tunduk pada regulasi yang membatasi akses rakyat terhadap BBM bersubsidi? Jika keadilan tidak ditegakkan, kami akan bertindak,” lanjut Abu Salam.

Jaga marwah Mualem, KPA siap kawal

Wacana penghapusan barcode BBM yang digaungkan oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem bukan sekadar isu teknis, tetapi menyangkut harga diri dan martabat rakyat Aceh. Sebagai gubernur sekaligus Ketua Umum KPA, Mualem memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kebijakan yang berpihak kepada rakyatnya berjalan tanpa hambatan dari pusat. “Kami, KPA Luwa Nanggroe, siap mengawal dan memastikan kebijakan ini terealisasi. Ini bukan sekadar kebijakan energi, tetapi juga simbol bagaimana Aceh diperlakukan secara adil dalam bingkai NKRI,” tegas Abu Salam.

Bagi KPA, kebijakan ini adalah ujian bagi Pemerintah Pusat dalam menghormati status khusus Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU Helsinki. Jika pusat tetap menutup mata terhadap tuntutan Aceh, maka langkah strategis lain akan segera ditempuh. “Kami tidak ingin ada pihak yang coba-coba menjatuhkan marwah Gubernur Aceh. Ini bukan sekadar soal barcode, ini tentang bagaimana Aceh diperlakukan sebagai bagian dari Indonesia dengan hak-hak yang jelas dalam kesepakatan damai,” tambahnya.

Ketua KPA Luwa Nanggroe itu mengatakan, Aceh memiliki hubungan historis dan strategis dengan Negeri Jiran. Petronas, sebagai perusahaan migas milik Malaysia, telah sukses beroperasi di berbagai negara dan bisa menjadi alternatif bagi Aceh jika pusat terus menghambat kemandirian energi di Tanah Rencong.

Diketahui sebelumnya, beberapa negara bagian di Malaysia, seperti Sarawak dan Sabah, telah berhasil mendapatkan hak pengelolaan migasnya secara lebih otonom dari pemerintah pusat. “Kalau pusat terus mempersulit Aceh, kita siap melakukan hal yang sama. Kita bisa mengundang Petronas atau investor lain untuk mengelola sumber daya kita sendiri, tanpa bergantung pada Jakarta,” kata Abu Salam.

Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf-Fadhlullah telah menunjukkan komitmennya untuk memperjuangkan hak rakyat Aceh dalam mendapatkan akses BBM yang lebih adil. Jika pusat tetap memaksakan sistem barcode yang tidak berlaku di daerah lain, maka Aceh tidak punya pilihan selain mengambil langkah drastis. “Kami bukan meminta-minta, kami menuntut hak kami! Jika keadilan tidak diberikan, maka kami akan mengambil langkah strategis demi kepentingan rakyat Aceh,” tegas Abu Salam.

Aceh bukan sekadar provinsi biasa. Dengan statusnya sebagai daerah yang memiliki perjanjian khusus dalam MoU Helsinki dan UUPA, Aceh memiliki dasar hukum untuk menentukan arah kebijakan ekonominya sendiri, termasuk dalam pengelolaan migas.

Jika Pemerintah Pusat tetap menutup telinga terhadap tuntutan ini, bukan tidak mungkin Aceh benar-benar akan menghadirkan alternatif baru dalam sektor energi. "Dan ketika saat itu tiba, pusat tidak bisa lagi memaksa Aceh tunduk pada kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat," pungkasnya.(rn)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved