Opini

Tradisi Meugang dalam Masyarakat Aceh

Uniknya, meskipun harga daging terus melonjak dibandingkan hari biasa, orang Aceh tetap berusaha membelinya karena meugang dianggap sebagai momen isti

Editor: mufti
IST
Abdul Manan, Guru Besar Ilmu Antropologi UIN Ar-Raniry pada Fakultas Adab dan Humaniora serta Ketua Prodi Ilmu Agama Islam (IAI) Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Abdul Manan, Guru Besar Ilmu Antropologi UIN Ar-Raniry pada Fakultas Adab dan Humaniora serta
Ketua Prodi Ilmu Agama Islam (IAI) Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

SETIAP tahun menjelang Ramadhan, masyarakat Aceh menjalankan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun, yaitu uroe meugang atau uroe makmeugang. Tradisi ini juga dikenal sebagai uroe seumeusie, yang berarti hari penyembelihan daging.

Hari istimewa ini dirayakan oleh semua lapisan masyarakat Aceh, baik yang tinggal di desa maupun di kota. Sehingga momen tahunan ini tidak ingin dilewatkan oleh siapa pun.

Pada hari meugang, masyarakat Aceh berbondong-bondong membeli daging sapi atau kerbau untuk dimasak dan disantap bersama keluarga.

Uniknya, meskipun harga daging terus melonjak dibandingkan hari biasa, orang Aceh tetap berusaha membelinya karena meugang dianggap sebagai momen istimewa untuk menikmati hidangan lezat.

Sejarah membuktikan, tradisi meugang ini telah dilaksanakan sejak zaman Sultan Iskandar Muda. Saat itu Sultan menyembelih hewan sapi dan kerbau dalam jumlah yang banyak untuk dibagikan dagingnya kepada rakyatnya sebagai perwujudan rasa syukur dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Menariknya, tradisi meugang ini saat itu telah menjadi sebuah kewajiban bagi Sultan Iskandar Muda untuk menjamin ketersediaan daging bagi orang miskin yang tidak sanggup lagi mencari nafkah.

Bahkan, istilah meugang telah dimasukkan ke dalam Qanun Meukuta Alam, yang merupakan undang-undang milik Kerajaan Aceh Darussalam saat itu.

Setelah Kerajaan Aceh kehilangan pengaruhnya akibat kolonialisasi Belanda, masyarakat Aceh tetap berinisiatif untuk melaksanakan penyembelihan daging guna memeriahkan perayaan hari meugang. Oleh karena itu tradisi ini masih melekat dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh hingga sekarang.

Tradisi meugang dilakukan tiga kali dalam setahun. Meugang puasa dilaksanakan dua hari sebelum Ramadhan, yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan dalam menyambut kehadiran bulan suci. Kemudian, meugang uroe raya puasa dilakukan sehari sebelum Idul Fitri untuk merayakan hari kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh.

Selanjutnya, meugang uroe raya haji berlangsung sehari sebelum Idul Adha sebagai bentuk persiapan menghadapi hari raya kurban.

Persiapan meugang biasanya sudah mulai dibicarakan oleh masyarakat Aceh sejak pertengahan bulan Sya'ban. Biasanya mereka memulai percakapan dengan jenis daging dan prediksi harga satu kilogram daging.
Mereka juga terkadang melanjutkan pembicaraan tentang beberapa aspek dalam kehidupan sosial sebagaimana mereka membicarakan tentang jenis-jenis daging.

Dalam perayaan meugang, terdapat beberapa jenis daging yang umum diperjualbelikan. Sie meukilo adalah daging yang dijual berdasarkan berat kiloannya, di mana pembeli bisa memilih bagian daging yang diinginkan di pasar. Biasanya daging ini sudah dijual dua hari sebelum hari meugang.

Berbeda dengan sie plah patèe, yang merupakan daging hasil patungan dan dibagi rata setelah penyembelihan, biasanya dilakukan oleh organisasi desa atau kelompok pengajian. Orang Aceh sering menyebutnya sebagai sie meripèe.

Selain itu, ada juga sie tumpok, yaitu daging yang berasal dari penyembelihan ternak milik warga desa. Daging ini akan dijual langsung kepada masyarakat setempat, dan jika ada masyarakat yang belum memiliki uang di saat itu maka pembayarannya bisa dilakukan setelah panen.

Selain menguntungkan pemilik ternak, sie tumpok juga bermanfaat bagi masyarakat karena memungkinkan mereka mendapatkan daging tanpa harus membayar langsung.

Sebagian daging juga dibagikan kepada fakir miskin dan anak yatim sebagai bentuk solidaritas sosial.
Pada hari meugang, daging sapi dan kerbau menjadi pilihan utama dibandingkan dengan ikan dan ayam. Untuk wilayah Barat Selatan Aceh, masyarakat di sana lebih memilih daging kerbau. Sedangkan di wilayah Aceh lain lebih memilih untuk mengonsumsi daging sapi.

Esensi meugang

Meugang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya Aceh. Bagi masyarakat Aceh, menyambut Ramadhan tanpa daging dianggap kurang sempurna. Oleh karena itu, setiap kepala keluarga akan berusaha untuk menyediakan setidaknya satu kilogram daging bagi keluarganya. Jika tidak, perayaan meugang untuk menyambut Ramadhan di tahun tersebut akan terasa tidak bermakna.

Perayaan meugang juga dimeriahkan dengan pembuatan makanan leumang dan berbagai kue tradisional seperti keutupèk, leupèk, bada, dan tapèe.

Momen ini menjadi ajang berkumpul keluarga, sehingga anak-anak yang merantau diharapkan pulang agar bisa menikmati beragam jenis makanan ini. Jika tidak bisa pulang, mereka sering merasakan kesedihan, bahkan ada satu ungkapan yang cukup familiar, "Uroe get, buleun get, timphan mak peuget han meuteme rasa". Ini menggambarkan perasaan rindu terhadap kampung halamannya.

Selain itu, meugang menjadi simbol kebanggaan bagi kepala keluarga. Jika seorang ayah tidak mampu membeli daging, ia merasa kehilangan harga diri.

Bagi pria yang baru menikah, meugang bisa menjadi ujian gengsi. Bukan lelaki Aceh namanya bila tidak mampu untuk membeli daging pada hari Meugang. Bahkan ada yang perbandingan semakin banyak daging yang mampu dibawa pulang, maka semakin tinggilah harga diri seorang pria di mata masyarakat.

Lebih dari itu, jika ia tidak membawa daging untuk keluarga istrinya, ia bisa saja dicap sebagai 'bawok lari panggang.' artinya, orang yang menghindari kewajiban dan takut akan menderita kerugian finansial.

Sehari sebelum Ramadhan, masyarakat Aceh juga menjalankan tradisi pajoh-pajoh atau jak meuramien, yakni kegiatan berpiknik ke pantai, sungai, atau danau sambil menikmati hidangan meugang. Bentuknya kurang lebih hampir sama seperti berwisata pada hari Rabu terakhir di bulan safar, atau masyarakat Aceh menyebutnya sebagai uro Rabu habeh. Tradisi pajoh-pajoh ini dianggap sebagai bentuk kebahagiaan dalam menyambut Ramadhan, sesuai dengan Hadis Nabi yang menyatakan bahwa orang yang bergembira menyambut Ramadhan akan diselamatkan dari panasnya neraka.

Bahkan, ada yang berpandangan pajoh-pajoh ini adalah hari dimana untuk memuaskan dirinya sendiri dengan segala sesuatu tetapi tetap dalam batas yang dibolehkan dan tidak berbenturan dengan ajaran Islam serta dengan tradisi adat. Namun, tradisi ini tidak selalu disetujui oleh para tetua adat. Sebagian orang tua berpendapat bahwa lebih baik memanfaatkan waktu sebelum Ramadhan untuk memperdalam ilmu agama dan saling bermaafan.

Penutup

Meugang bukan sekadar tradisi makan daging atau leumang saja, tetapi juga mencerminkan nilai sosial, budaya, dan keagamaan masyarakat Aceh. Lebih dari itu, kehadiran meugang dapat mempererat hubungan kekeluargaan. Tradisi ini juga mengajarkan kita akan indahnya nilai berbagi, di mana orang yang mampu sering memberikan daging kepada tetangga yang kurang mampu, anak yatim, dan fakir miskin. Sehingga akan menumbuhkan solidaritas di tengah masyarakat.

Meugang di Aceh secara langsung juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dengan meningkatnya permintaan daging, maka para peternak, pedagang, penjual sayur, hingga penjual bumbu dapur akan memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih besar selama periode meugang itu.

Dengan semangat kebersamaan ini, tradisi meugang tetap menjadi sebuah warisan budaya berharga yang terus dijaga dari generasi ke generasi. Ia akan mewarnai kehidupan masyarakat Aceh serta menjadi wujud nyata dari perpaduan Islam dan kebudayaan lokal yang harmonis di Aceh

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved