Pojok Humam Hamid
Kasus Pati, Sri Mulyani, dan “Kabeh Ka Pike”?
Di Aceh, ada sebuah ungkapan sederhana, “kabeh ka pike”?. Artinya, pikirkanlah baik-baik sebelum melangkah.
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
Di negeri yang gemar mengulang jargon pembangunan, angka-angka fiskal kerap diperlakukan seperti mantra.
Seringkali kumpulan angka itu diumumkan dengan penuh percaya diri, seolah-olah mampu menambal lubang-lubang anggaran dan memberi rasa aman bagi masa depan.
Tetapi sebagaimana sejarah selalu mengajarkan, mitos tidak pernah cukup untuk menahan runtuhnya sebuah peradaban.
Indonesia hari ini sedang berdiri di tepi jurang fiskal yang samar, dan kasus Kabupaten Pati hanyalah sebuah fragmen kecil dari drama besar itu.
Di kabupaten yang PAD-nya sekitar 15 persen dari total pendapatan, rakyat tiba-tiba harus menanggung kenaikan pajak bumi dan bangunan hingga 250 persen.
Logika sederhana dari seorang bupati, jika pusat mulai menahan transfer, maka daerah harus “kreatif” mencari sumber pendapatan alternatif.
Tetapi logika itu menabrak kenyataan paling keras—kemampuan rakyat kecil yang sehari-hari hidup dari sawah dan ladang.
Di saat yang hampir bersamaan, Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang selama ini menjadi wajah kredibilitas ekonomi Indonesia di mata dunia, menyampaikan sebuah narasi baru.
Seolah seorang ulama besar perempuan, ia menyamakan pajak esensinya sama dengan zakat. Bukan main.
Ia ingin pajak dipandang bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan tanggung jawab moral, bahkan spiritual.
Ia menginginkan pajak memiliki legitimasi lebih tinggi, sesuatu yang melampaui logika ekonomi, menyentuh ranah iman.
Tetapi justru dari situlah tampak rapuhnya fondasi fiskal kita. Ia telah mempertotonkan dengan terang benderang,negara yang kesulitan memperluas basis pajak kini harus meminjam bahasa agama agar rakyat mau membayar.
Baca juga: Sempat Ricuh, Kini Ada Demo Jilid 2 Bupati Pati, Mendagri Ingatkan Sadewo
Belajar dari Sejarah Romawi Barat
Sejarah telah menunjukkan betapa legitimasi fiskal adalah syarat utama kelangsungan sebuah negara.
Kekaisaran Romawi Barat runtuh bukan semata karena serangan barbar, melainkan karena basis pajaknya menyusut, sementara beban militer dan birokrasi tak pernah berkurang.
20 Tahun Aceh Damai: Gen Z, Egepe, Pesimisme Konstruktif, dan Imajinasi Tragis |
![]() |
---|
Netanyahu dan Gaza City: Ketika Jalan Pulang dan Jalan Keluar Terkunci |
![]() |
---|
MSAKA21: Jejak Panjang yang Sunyi, Aceh Sebelum Hindu–Buddha- Bagian VI |
![]() |
---|
Indonesia 80 Tahun: Di Ambang Kejayaan atau Terperosok ke Stagnasi? |
![]() |
---|
MSAKA21: Aceh, Gayo, Alas - Akar Bahasa dan “Kain Palekat Satu Kodi” |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.