Breaking News

Mihrab

Ketua ISAD Aceh: Korupsi Lebih Najis dari Anjing dan Babi, Tapi Jadi Warisan di Indonesia

Tgk Mustafa memulai pernyataannya dengan pengalaman pribadi saat melihat kaos bertuliskan “Antri bukan budaya kita, budaya kita adalah korupsi.” 

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Ansari Hasyim
FOR SERAMBINEWS.COM
Ketua Umum DPP ISAD Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla. 

Ketua ISAD Aceh: Korupsi Lebih Najis dari Anjing dan Babi, Tapi Jadi Simbol Kemenangan di Indonesia

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Ketua Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla, melontarkan kritik tajam terhadap budaya permisif terhadap korupsi di Indonesia. 

Dalam pernyataan reflektifnya, ia menilai bahwa korupsi telah kehilangan statusnya sebagai perbuatan tercela dan kini justru dianggap sebagai bagian dari kebiasaan sosial yang lumrah.

Tgk Mustafa memulai pernyataannya dengan pengalaman pribadi saat melihat kaos bertuliskan “Antri bukan budaya kita, budaya kita adalah korupsi.” 

Menurutnya, tulisan tersebut adalah satire pedas namun mencerminkan realitas sosial yang mengkhawatirkan.

“Korupsi tak lagi dianggap perbuatan hina, melainkan kebiasaan yang diwariskan, dibenarkan, bahkan dirayakan ketika pelakunya berhasil lolos dari jerat hukum,” tegas Mustafa.

Ia mengingatkan bahwa dalam Islam, korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah dan termasuk dosa besar. 

Namun, masyarakat cenderung lebih takut dan jijik terhadap hal-hal najis secara fisik seperti anjing dan babi, dibandingkan perbuatan seperti suap dan pencurian uang negara.

Tgk Mustafa menekankan perbedaan antara dosa yang hidup dalam budaya tabu dan dosa yang hanya hidup dalam teks agama. 

Ia menyayangkan minimnya pendidikan moral yang membentuk rasa jijik terhadap korupsi sejak usia dini.

“Sejak kecil, anak-anak kita diajari bahwa makan babi itu haram dan menjijikkan. Menyentuhnya pun harus disamak secara khusus. Tapi nyaris tak ada pendidikan serupa tentang betapa najis dan hinanya mencuri uang negara, meskipun hanya satu rupiah. Akibatnya, korupsi tidak lagi dianggap memalukan” ujarnya.

Sebagai perbandingan, ia menyoroti budaya malu yang kuat di Jepang, di mana integritas dijaga bukan karena ajaran agama, tetapi karena rasa hormat terhadap kepercayaan publik. 

Di sana, pejabat yang terlibat skandal akan mengundurkan diri dan meminta maaf secara terbuka.

Sementara di Indonesia, korupsi kerap dijadikan lelucon, bahkan simbol kemenangan ketika pelakunya lolos dari hukuman.

“Ironisnya, ketika sudah mengenakan rompi oranye tahanan, masih ada yang sempat berpose dengan simbol victory. Benar-benar meubohyee (memalukan),” kata Tgk Mustafa.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved