Konflik Palestina vs Israel
AS Kritik Keras Netanyahu, Sebut Israel Tak Berniat Akhiri Perang di Gaza
Padahal, lanjutnya, gencatan senjata dan kesepakatan penyelesaian sandera adalah langkah yang harus diambil.
SERAMBINEWS.COM, WASHINGTON DC - Utusan khusus Presiden AS untuk Timur Tengah Steve Witkoff mengatakan, Israel tidak berniat mengakhiri perang di Gaza.
Hal tersebut disampaikan Witkoff usai bertemu dengan keluarga dari orang Israel yang disandera Hamas dan disiarkan oleh Channel 12.
Saluran televisi tersebut tidak menyebutkan waktu atau lokasi pertemuan tersebut.
Dia menuturkan, Israel sengaja memperpanjang perang di Jalur Gaza.
Padahal, lanjutnya, gencatan senjata dan kesepakatan penyelesaian sandera adalah langkah yang harus diambil.
"Kami ingin membawa pulang para sandera, tetapi Israel tidak siap untuk mengakhiri perang," kata Witkoff, sebagaimana dilansir Anadolu Agency, Senin (12/5/2025).
Dia juga mengkritik penanganan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terhadap perang di Gaza.
"Pemerintah Israel memperpanjang perang, meskipun kami tidak melihat kemajuan lebih lanjut yang dapat dicapai," jelas Witkoff.
"Namun, saat ini ada peluang yang kami harap akan dimanfaatkan oleh Israel dan semua mediator. Kami memberikan tekanan kepada semua mediator dan melakukan segala cara untuk memulangkan para sandera," tambahnya.
Baca juga: Brigade Al-Quds Sergap Tank Israel di Gaza, Sejumlah Zionis Terkapar dan Luka-luka
Pernyataannya muncul saat Hamas mengatakan pada Minggu (11/5/2025) bahwa mereka akan membebaskan tentara Israel-Amerika Alexander Idan setelah melakukan pembicaraan dengan pemerintah AS di tengah upaya untuk mencapai gencatan senjata di Gaza.
Komentar Witkoff tersebut juga muncul menjelang rencana Presiden AS Trump yang akan melawat ke Timur Tengah dan berkunjung ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab mulai Selasa (13/5/2025) hingga Jumat (16/5/2025).
Rencana perjalanan tersebut tidak termasuk kunjungan ke Israel.
Media AS dan Israel juga baru-baru ini melaporkan meningkatnya ketegangan antara Trump dan Netanyahu.
Pemerintahan Trump mengisyaratkan bahwa mereka mungkin akan mengambil langkah-langkah independen terkait kebijakan Timur Tengah tanpa menunggu Netanyahu.
Israel memperkirakan bahwa 59 tawanan masih berada di Gaza, termasuk 21 orang yang diyakini masih hidup.
Sementara itu, lebih dari 9.900 warga Palestina dipenjara di Israel, di mana kelompok-kelompok hak asasi manusia melaporkan penyiksaan yang meluas, kelaparan, dan pengabaian medis, yang mengakibatkan beberapa kematian.
Israel telah memblokir bantuan kemanusiaan di perlintasan Gaza sejak 2 Maret, yang menyebabkan 2,4 juta penduduk wilayah tersebut menghadapi kelaparan parah.
Lembaga penyiaran publik Israel, Kan, juga melaporkan bahwa Netanyahu mengatakan kepada Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan Knesset pada Minggu bahwa ada kemungkinan besar bahwa pembebasan Alexander akan terus berlanjut.
Lebih dari 52.800 warga Palestina telah tewas di Gaza dalam serangan brutal Israel sejak Oktober 2023, sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak.
Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Israel Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perangnya di daerah kantong tersebut.
Baca juga: Israel-AS Retak, Steve Witkoff Sebut tak Ada Gunanya Memperpanjang Perang di Gaza
Warga Gaza Tolak Skema Bantuan AS-Israel karena Melanggar Martabat
Rencana Amerika Serikat (AS) dan Israel untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza menuai penolakan dari warga setempat.
Banyak yang menganggap langkah tersebut sebagai bentuk intervensi politik yang merendahkan martabat mereka dan mengabaikan mekanisme bantuan internasional yang sudah berjalan.
Inisiatif tersebut diumumkan pekan ini oleh Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee.
Rencananya, sekitar 1,2 juta warga Gaza setara 60 persen populasi akan menerima bantuan makanan melalui empat pusat distribusi yang tersebar di wilayah itu.
Operasi ini akan dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation, sebuah lembaga swasta baru, serta dijamin oleh kontraktor asal AS dengan pengamanan dari militer Israel.
Namun, banyak warga Gaza menilai skema ini sebagai bagian dari kontrol asing yang semakin kuat atas kehidupan mereka.
“Sejak kami dipaksa mengungsi ke selatan pada awal perang, kami mengalami kelaparan, kekurangan, dan ketakutan,” ujar Mohammed al-Ajrami, seorang pengungsi di Kota Gaza.
“Orang-orang di sini tidak percaya pada inisiatif apa pun yang melibatkan pihak-pihak yang sama yang mereka anggap bertanggung jawab atas penderitaan mereka,” lanjutnya.
“Yang kami inginkan adalah bantuan yang menjaga martabat kami. Lembaga-lembaga internasional seperti PBB memperlakukan kami dengan penuh rasa kemanusiaan. Kami tidak ingin bantuan bersyarat yang terkait dengan pengawasan politik atau militer”.
Penolakan juga disuarakan oleh Salah al-Ja’farawi, warga lain asal Gaza.
Ia menilai rencana tersebut tidak hanya berpotensi memperpanjang penderitaan, tetapi juga mengikis hak-hak rakyat Palestina.
“Setelah 18 tahun blokade dan lebih dari 19 bulan perang, masyarakat tidak akan menerima bantuan yang mengorbankan martabat mereka. Bantuan darurat adalah satu hal, tetapi jika rencana jangka panjangnya adalah mengikis hak-hak kami, maka bantuan itu tidak akan kami terima,” tegas dia.
Baca juga: Hamas dan Iran Janji Bersatu Lawan Agresi Israel di Gaza
Kekhawatiran atas militerisasi bantuan
Kehadiran militer Israel dalam proses distribusi juga menjadi sorotan tajam. Rami al-Najjar, seorang pekerja kemanusiaan lokal, menyatakan bantuan seharusnya disalurkan melalui lembaga-lembaga yang netral dan memiliki kredibilitas.
“Orang-orang memercayai organisasi internasional untuk mendistribusikan bantuan secara profesional, tanpa agenda politik,” ujarnya.
“Memasukkan aktor militer ke dalam proses ini akan mengirim pesan yang salah,” imbuhnya.
Kondisi kemanusiaan di Gaza terus memburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Sejak Maret, Israel memperketat blokade dan membatasi pasokan makanan, obat-obatan, serta bahan bakar.
Lembaga bantuan internasional melaporkan peningkatan kasus malanutrisi, khususnya di kalangan perempuan dan anak-anak.
Dikhawatirkan jadi alat tekanan politik Hussam al-Dajani, analis politik yang berbasis di Gaza, menilai inisiatif tersebut lebih dilandasi kepentingan strategis daripada pertimbangan kemanusiaan.
“Inisiatif ini tampaknya bukan tentang menyelamatkan nyawa dan lebih tentang mengurangi pengaruh Hamas,” katanya.
“Secara lokal, hal ini dipandang bukan sebagai penyelamat kemanusiaan, tetapi sebagai bentuk kontrol baru,” tutur dia.
Ia mengingatkan bahwa penggunaan kontraktor swasta dan tentara asing justru berisiko memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat.
“Rakyat Palestina melihat ini sebagai upaya untuk menciptakan ketergantungan dan memaksakan kepatuhan. Bantuan seharusnya tidak menjadi alat pemaksaan,” tandasnya.
“PBB memiliki mandat dan kepercayaan untuk memberikan bantuan yang tidak memihak. Rakyat di sini menyerukan tanggapan internasional yang bebas dari campur tangan politik,” tutupnya.
Baca juga: VIDEO - Polres Aceh Utara Ungkap Penyebaran Ribuan Rokok Ilegal Asal Thailand
Baca juga: Aturan Baru Ketentuan Penggunaan Atribut ASN dan PPPK 2025, Catat Jadwal Pakainya
Baca juga: VIDEO - Wagub Aceh Kenang Masa Belajar di Dayah Jeumala Amal
Trump Sesumbar Akhiri Perang Gaza dalam Dua Pekan di Tengah Serangan Israel yang Terus Meningkat |
![]() |
---|
Kehancuran Rumah Sakit Nasser Gaza usai Serangan Ganda Israel, 22 Orang Tewas Termasuk 5 Jurnalis |
![]() |
---|
Trump Siapkan Rencana Gaza Pasca-perang, Warga Palestina Khawatir Jadi Korban Relokasi Paksa |
![]() |
---|
Enam Orang Tewas dan Puluhan Terluka Akibat Serangan Israel ke Ibu Kota Yaman, Houthi Janji Balas |
![]() |
---|
Israel Serang Ibu Kota Yaman dengan Bom Cluster, Menargetkan Infrastruktur Sipil |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.