Opini
Krisis Moral Bermedsos
Apa yang diresahkannya itu memang telah menjadi tontonan harian di sosial media, salah satunya pada platform TikTok. Saking jengkelnya dengan
Oleh: Arif Ramdan, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry
AHAD, 4 Mei yang lalu sahabat saya, Nourman Hidayat, aktivis partai dakwah yang kini beralih profesi menjadi seorang advokat membagi keresahannya melalui pesan WhatsApp mengenai fenomena sebagian remaja di Aceh yang mulai menunjukkan perilaku tidak wajar, mentel, ganjen, dan bahkan remaja lelaki yang kemayu di sosial media.
Apa yang diresahkannya itu memang telah menjadi tontonan harian di sosial media, salah satunya pada platform TikTok.
Saking jengkelnya dengan fenomena tersebut, sebagai orangtua yang punya anak laki-laki, Nourman Hidayat mengajak--idenya itu diberitakan sejumlah media online di Aceh--para pemangku kebijakan, seperti Gubernur dan Pangdam Iskandar Muda untuk mengambil tindakan tegas kepada para “Tiktoker Mentel” itu dan segera dibawa ke barak militer untuk dididik menjadi remaja tangguh berwibawa yang akan meneruskan masa depan Aceh.
Fenomena "Tiktoker Mentel" yakni individu remaja laki-laki maupun perempuan yang mempertontonkan gaya, bahasa tubuh, dan konten yang menggoda, centil, kemayu bahkan vulgar demi popularitas telah menimbulkan kekhawatiran di Aceh yang dikenal memiliki akar budaya yang sangat kental dengan ajaran Islam di mana nilai-nilai seperti iffah (harga diri), haya’ (rasa malu), dan adab (kesopanan) telah lama menjadi fondasi kehidupan sosial masyarakat Aceh.
Media sosial seperti TikTok sering kali menjadi ruang bebas yang melepaskan individu dari kendali sosial tradisional, menciptakan semacam "anonimitas sosial" yang membuat sebagian orang berani melakukan hal-hal yang sebenarnya tabu dalam kehidupan nyata. Dalam banyak kasus, konten yang viral bukanlah yang edukatif atau inspiratif, melainkan yang kontroversial dan sensasional.
Algoritma viralitas TikTok cenderung mengangkat konten yang menarik perhatian secara instan, termasuk yang bernuansa mentel, kemayu, erotis, centil, atau tidak sopan. Hal inilah yang menjadi pintu masuk bagi perilaku "Tiktoker Mentel" merajalela, termasuk di kalangan sebagian remaja laki-laki di Aceh.
Media sosial saat ini telah memengaruhi cara individu membangun identitas dan harga diri. Remaja cenderung mengejar validasi sosial melalui “likes” dan komentar positif, yang membuat mereka lebih rentan menciptakan konten kontroversial demi eksistensi.
Hal ini selaras dengan fenomena yang kita saksikan pada perilaku “Tiktoker Mentel”, demi popularitas, sebagian orang rela mengorbankan nilai-nilai budaya dan etika.
Gejala "kementelan" di media sosial sejatinya merupakan awal dari krisis identitas budaya. Dalam masyarakat yang mengalami transisi cepat akibat digitalisasi, terjadi pergeseran nilai yang drastis.
Yang dulu dianggap sebagai aib atau pamali, kini dirayakan sebagai ekspresi kebebasan. Yang dulunya tabu, kini dilabeli sebagai kreativitas. Akibatnya, batas antara etika dan sensasi menjadi kabur.
Al-Qur’an dan hadis menekankan pentingnya menjaga pandangan, menahan hawa nafsu, serta menjaga kemuliaan diri (QS. An-Nur: 30-31).
Islam mengajarkan bahwa ekspresi diri tetap harus berada dalam koridor adab. Ketika media sosial menjadi tempat untuk mempertontonkan tubuh, rayuan, dan gaya hidup hedonistik, maka hal tersebut bukan hanya bertentangan dengan etika sosial, tetapi juga merusak spritualitas individu. Budaya Aceh sejatinya mengajarkan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini, konten “TikToker Mentel” yang mempertontonkan gaya hidup glamor, sensual, kemayu dan mendobrak batas norma bukan hanya tidak sesuai dengan nilai lokal, tetapi juga menunjukkan dekadensi etika yang mulai mengkhawatirkan.
Mereka tampil bukan lagi sebagai representasi jeune brave, pemuda berani, melainkan sebagai simbol ketercerabutan nilai dari akar sejarah dan budaya Aceh.
Di masa lalu, perempuan dan lelaki Aceh dikenal karena keberaniannya. Darah para syuhada dan pahlawan seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Keumala Hayati yang heroik, dan Teuku Chik Di Tiro mengajarkan kita akan budaya yang luhur.
Mereka bukan hanya gagah dalam fisik, tetapi juga dalam adab, semangat juang, dan kehormatan diri. Perempuan dan lelaki Aceh telah memahat sejarah peradaban sebagai pelindung marwah, bukan pelawak murahan di layar ponsel, menari centil diiringi musik viral, mengemis validasi publik lewat komentar dan likes. Ini bukan ekspresi diri yang sehat, ini merupakan bentuk kekalahan budaya yang nyata.
Narasi tandingan
Solusi terhadap fenomena ini bukanlah pelarangan semata, melainkan pembangunan kesadaran. Literasi digital yang hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi tidak cukup. Dibutuhkan literasi etika digital yakni pemahaman tentang bagaimana menggunakan media sosial secara bertanggung jawab, bermartabat, dan sesuai dengan nilai budaya serta agama.
Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini harus diperkuat dengan pembiasaan berpikir kritis dan reflektif terhadap konten digital. Komunitas, keluarga, dan institusi pendidikan di Aceh perlu terlibat aktif dalam membina generasi muda agar tidak larut dalam budaya digital yang nihil etika.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.