Opini
Masih Adakah Ulama Alumni Dayah?
Mereka dianggap sebagai ulama yang cendikia (orang yang menguasai ilmu dunia dan ilmu akhirat).
Muhibuddin Hanafiah, Akademisi Darussalam Banda Aceh
BAGI sebagian kalangan masyarakat Aceh, pertanyaan ini tidaklah patut diajukan ke ruang publik. Sebab, secara sosiologis sudah terbangun anggapan yang cukup familiar bahwa ulama itu hanyalah mereka yang tamat dari pendidikan dayah. Laqab ulama tidak dimiliki oleh lulusan lembaga pendidikan lainnya. Sama halnya dengan status seorang sarjana, sebuah titel yang hanya disemat kepada lulusan perguruan tinggi.
Sehingga jika alumni dayah kemudian melanjutkan studi di perguruan tinggi, maka mereka terhimpun dalam ISAD (Ikatan Sarjana Alumni Dayah).Mereka dianggap sebagai ulama yang cendikia (orang yang menguasai ilmu dunia dan ilmu akhirat). Lalu jika kemudian ada yang mencoba menggugat kemapanan laqab sosiologis tersebut maka bersiaplah dianggap sebagai lawan yang kepo dan tidak paham tentang dunia dayah. Bersiap juga untuk dikucilkan atau paling tidak dicibir di media sosial untuk kemudian diajak berdebat dengan mereka yang merasa dirinya sebagai penjaga otoritas dayah.
Kendati secara kebahasaan (linguistik), kata “ulama” merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata “‘alim” yang artinya orang yang berilmu pengetahuan, baik ilmu secara umum maupun ilmu pengetahuan keagamaan, namun khususnya di Aceh, kata “ulama” telah terlanjur dialamatkan kepada orang alim ilmu agama lulusan dayah atau pesantren saja. Konon lagi jika pemaknaan terhadap istilah “ulama” menanjak sedikit pada tataran filosofis, maka kata ulama tidak berhenti pada pengertian literal, sebatas ilmuwan jebolan lembaga pendidikan tertentu (agama maupun umum).
Namun masih harus dipertanyakan seberapa besar “hikmah” (bijaksana) yang berhasil digenggam oleh seorang sarjana tersebut. “Hikmah”, dalam pembahasaan sekarang lebih dekat maknanya dengan integritas moral, integritas mental, integritas spiritual. Lazimnya, orang-orang berilmu yang berhasil melangit ke maqam ini amatlah terbatas jumlahnya. Ke’alimannya dibalut rapi dengan ketinggian dan keluhuran akhlaknya, baik terhadap Tuhannya dan semua makhluk Tuhan (sesama manusia, hewan dan tumbuhan dan bahkan dengan lingkungan alam) dimanapun ia berada.
Kegagalan lembaga pendidikan di era sekarang dalam mengkader para ulama sebagai output maupun outcome adalah karena sempitnya pandangan terhadap kualifikasi lulusan. Kualifikasi seorang ilmuwan masih terjebak pada tataran kecakapan dalam menguasai ilmu tertentu secara kognitif dan psikomotorik un sich. Semantara pencapaian akan hikmah-hikmah sebagai indikator penting dari seorang ulama terabaikan begitu saja. Inilah kelalaian lembaga pendidikan Islam dewasa ini, baik di dayah, madrasah konon lagi di sekolah.
Patron seorang ulama
Nah, kalaulah patron ini yang dijadikan instrumen penilaian kita terhadap masih ada atau tidaknya Ulama (“u” dengan huruf kapital) yang dihasilkan dari pendidikan dayah—sebagai salah satu lembaga pendidikan umat Islam yang mumpuni—maka jawaban kita akan dengan agak rada-rada sungkan dan sedikit terpaksa dapat dikatakan sudah semakin sulit diperoleh. Sebab kita sedang bertarung dengan arus demoralisasi, despiritualisasi dan degradasi akhlak yang cukup dahsyat dan semakin memprihatinkan, dan telah merasuki semua lini kehidupan kita, tidak terkecuali di lembaga dayah.
Konon lagi akhir-akhir ini kasus-kasus penyimpangan seksual terhadap anak-anak (santri muda belia) marak terjadi di dayah yang melibatkan orang-orang senior yang notabene sebagai pimpinan spiritual, pendidik dan pengelola pendidikan di dayah. Kasus kekerasan seksual dan kekerasan fisik lainnya di dayah semakin meningkat tajam, kasus demi kasus amoral mendera para santri di sana. Sebagian kasus tersebut terendus media massa karena keberanian orang tua melaporkan kepada pihak berwajib. Sementara sebagian besar lainnya terendap ke dalam senyap bagai gunung es di lautan.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap dayah kian menurun drastis. Dayah yang diharapkan menjadi lembaga alternatif yang populis, dengan biaya pendidikan yang bersahabat untuk ukuran kehidupan kelas menengah, lumbung hegemoni ulama yang konsen dalam mengawal tegaknya dakwah dan kesalehan dalam beragama, justru berubah menjadi lingkungan yang tidak aman dan nyaman bagi penggemblengan mental keagamaan dan penyiapan generasi sebagai pemimpin di masa yang akan datang.
Di saat sekolah dan lembaga pendidikan komersial lainnya hanya berperan sebatas formalisasi pendidikan dan tidak lagi berperan sebagai pembentukan mentalitas merdeka peserta didik, harapan besar tertuju pada dayah atau pesantren. Sebagian dayah masih mampu mempertahankan keaslian dan kemurnian serta jati diri sebagai lembaga yang menjunjung tinggi akhlakul karimah, amal shalih dan pengabdian yang tulus dalam membina generasi umat.
Sedangkan sebagian yang lain dimana jumlahnya semakin banyak adalah dayah yang kehilangan ruh dan arah dalam sistem pendidikannya, terombang-ambing antara tuntutan moralitas dan komersialitas. Pada saat seperti itu lembaga dayah telah kehilangan eksistensi dan karakteristiknya yang filantropi dan humanis terhadap tujuan jangka panjangnya dalam menyiapkan generasi umat yang mumpuni di medan dakwah.
Dayah telah berubah
Memang harus diakui bahwa aura pendidikan di dayah sudah ada yang berubah dalam beberapa aspek, seperti dalam sistem pendidikan. Dimana dayah di era modern ini sudah nyaris menyerupai sistem sekolah yang menerapkan jenjang kelas, target waktu belajar dan kurikulum yang dirancang serta perolehan ijazah penyetaraan kepada lulusan sehingga bisa menerobos lapangan kerja yang menjanjikan profit yang besar.
Di sini orientasi pendidikan dayah sudah percis sama dengan pendidikan umum, yaitu menyasar pasar kerja yang semakin kompetitif. Penguasaan materi pembelajaran dengan meudrah kitab-kitab klasik mu'tabar dari mazhab tertentu menjadi penentu keberhasilan jak beut bak dayah. Dahulu belajar di dayah bisa menghabiskan waktu dua puluh sampai tiga puluh tahun lamanya pada satu dayah dan satu orang ulama saja.
Bayangkan jika harus berpindah-pindah dayah karena mengikuti ulama dengan keilmuan yang lebih spesifik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.