Opini

Krisis Moral Bermedsos 

Apa yang diresahkannya itu memang telah menjadi tontonan harian di sosial media, salah satunya pada platform TikTok. Saking jengkelnya dengan

Editor: Ansari Hasyim
IST
Arif Ramdan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry 

Pemerintah Aceh, ulama, dan tokoh adat juga berperan penting dalam memberikan narasi tandingan yang mengangkat nilai-nilai positif, inspiratif, dan islami melalui konten digital yang kreatif dan kontekstual.

Para pendakwah jangan merasa cukup dengan ceramah di mimbar atau pengajian rutin di meunasah. Dunia senyap, dunia media digital, telah menjadi arena utama pertempuran nilai. Iblis saat ini tidak lagi berbisik di telinga; ia kini bersembunyi di balik algoritma, menjelma dalam konten viral, dan menyesatkan hati lewat layar 6 inci.

Sayangnya, kita terlalu sering membiarkannya karena merasa “itu hanya hiburan”, padahal di sanalah jiwa anak-anak kita mulai terkikis perlahan.

Jika Nourman Hidayat memberi ide membarakkan para remaja Tiktoker Mentel itu di Rindam Mata Ie, misalnya. Maka sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain, pertama, masyarakat tidak memberi ruang publik bagi “Tiktoker Mentel.” Lembaga adat, sekolah, dayah, instansi pemerintah, dan komunitas tidak lagi mengundang atau mempromosikan “TikTok Mentel” yang dikenal menampilkan konten bertentangan dengan budaya, etika dan syariat.

Kedua, ulama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat dapat secara terbuka menyatakan bahwa perilaku tersebut tidak merepresentasikan budaya masyarakat Aceh. Ini bisa dilakukan melalui khutbah, majelis adat, hingga pernyataan resmi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) atau organisasi masyarakat Islam lainnya.

Langkah lain dapat juga dengan cara pendidikan kontra-influencer di mana
Masyarakat didorong untuk memproduksi konten tandingan yang menampilkan figur muda yang sopan, Islami, dan berbudaya, serta menyuarakan bahwa perilaku “Tiktoker Mentel” merupakan perbuatan memalukan.
Mari jadikan media sosial sebagai ladang pahala, bukan tempat dosa tersembunyi.

Mari kita ingatkan anak-anak muda kita: bahwa kemuliaan diri bukanlah sesuatu yang bisa ditukar dengan likes, views, atau pujian fana, melainkan sesuatu yang dijaga dengan adab, iffah, dan haya’ sebagai pusaka dari Allah Ta’ala, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam, dan juga dari indatu kita. Jika tak mampu melakukan itu, rasanya kita malu menyebut diri sebagi “bansa teuleubeh ateuh rueng donya.”

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved