Sastra
Rindu yang tak Pernah Usai
Teman-teman menjerit seperti nonton film horor di bioskop murah. Tapi yang paling aneh adalah detak jantungku sendiri.
Oleh: Ratu SS*)
PETIR menyambar atap Asrama Syafiah Dayah Darul Ihsan seperti amukan langit yang patah hati. Langit seperti ingin bicara, keras dan tak sabar. Cahayanya menghantam genteng-genteng tua yang menggigil, memaksa seisi asrama terjaga dari tidur dan lamunannya. Seperti pelabuhan besar diterpa sorot menara mercusuar, kamar kami yang biasanya remang dan sunyi, mendadak seolah disulap menjadi siang hari yang berteriak. Lampu-lampu pun mati—padam dalam diam, seperti ibu yang mendadak hilang dari pelukanku.
Teman-teman menjerit seperti nonton film horor di bioskop murah. Tapi yang paling aneh adalah detak jantungku sendiri. Ia berdetak seperti menyebut satu nama: Ibu.
Rasa rindu itu datang seperti maling. Diam-diam. Lalu mengguncang semuanya.
Rindu yang sepi. Rindu yang tak tahu arah. Rindu yang... absurd.
Namaku Dina Siregar. Anak sulung dari Medan, “terdampar” di Banda Aceh karena mondok di dayah Abu Krueng Kalee. Madrasahnya bagus, asrama katanya Islami. Tapi satu hal yang tidak ditulis di brosur pendaftaran: tentang bagaimana cara bertahan dari rindu yang menusuk secara diam mendalam kepada sosok surgaku.
Sumpah, aku sudah coba semuanya.
Video call? Sudah. Tapi sinyal di desa siem dekat gunung Glee Iniem seperti iman pas naik-turun. Seringnya turun.
Minta dikirim foto masakan ibu? Sudah. Tapi malah bikin aku merasa seperti pecundang—menatap rendang lewat layar handphone, padahal di dunia nyata aku makan mie instan seminggu berturut-turut.
Aku bahkan pernah mencium baju yang terakhir kali ibu peluk waktu nganterin aku ke dayah pas balik awal semester. Tapi baunya sudah berubah, lebih mirip bau cat lemari kayu daripada pelukan ibu.
Setiap Kamis sore, dan Ahad sore... entah kenapa semesta punya hobi “menyiksa”. Mungkin karena hari kunjungan. Di waktu dua sore itu, langit seolah jadi layar bioskop yang memutar ulang masa kecilku: ketika aku main air dan ibu mengomel, ketika aku pura-pura tidur supaya dipeluk, ketika aku sakit dan ibu panik sampai lupa pakai jilbab ke klinik.
Sakit. Tapi manis. Tapi tetap saja: sakit.
Lalu aku cerita ke orang. Salahnya aku di situ.
Jessica Azizah, anak kelas 12 IPA asal Gayo, Sica adalah perempuan yang cantik, pintar, tapi mulutnya lebih tajam dari komentar netizen di TikTok. Ketika aku bilang, aku sering kangen ibu, dia tertawa. Bahkan dia ajak kawan lain tawain Aku. Begitulah kawan usilku itu. saudara-saudara!
“Ya ampun Din, lo kayak janda muda beranak lima deh! Baru ditinggal emak sebentar udah seperti drama Korea aja.” Itu sentilan pedas anak gayo itu.
Aku pengen lempar mukena ke mukanya. Tapi aku perempuan baik-baik. Jadi aku cuma mengangguk, lalu pura-pura tidur sambil nangis diam-diam. Sampai mukaku kayak donat kebanjiran gula.
Sampai kemudian datanglah dia. Malaikat dalam bentuk manusia. Cantika Putri—anak Bandung, Banda Aceh ujung, maksudku. Kami satu kamar, satu selera humor, dan satu frekuensi ‘gila’.
“Tahu nggak,” katanya sambil mengupas Beng-Beng seperti bedah otak. “Jessica tuh kayak nasi goreng pake coklat. Cantik, tapi aneh.”
Aku tertawa. Itu pertama kalinya aku bisa ketawa dari rindu. Ketawa beneran, bukan yang palsu kayak senyum Jessica pas difoto bareng guru matematika.
Cantika itu seperti pendingin ruangan di musim rindu. Dia enggak banyak tanya, tapi ngerti. Kadang, itu lebih menyembuhkan daripada motivasi tiga paragraf dari motivator terkenal.
Dia cerita. Ternyata dia juga punya rindu yang membatu. Ayahnya meninggal dua tahun lalu. Ibunya kerja di luar negeri. Dan setiap malam dia juga sering pura-pura kuat, padahal hatinya keropos kayak papan di dinding dimakan rayap.
Kami lalu bikin ritual: menulis surat untuk ibu.
Bukan di HP. Tapi di kertas. Pakai pena. Yang bisa dibasahi air mata. Yang bisa dilipat-lipat, ditempel di dinding kamar, atau diselipkan di bawah bantal.
Kadang surat itu cuma satu kalimat:
“Bu, maaf tadi siang aku tidur pas ustazah ngajar. Tapi aku tetap ingat doamu.”
Atau:
“Bu, tadi aku jatuh di tangga. Luka. Tapi lebih luka waktu inget ibu gak bisa ada di sini.”
Dan Cantika pernah nulis ini:
“Ma, aku makan tahu bulat yang baunya mirip masakan Mama. Tapi setelah digigit, rasanya malah kayak kapur angus.”
Kami juga bikin “dinding rindu”. Di sana ada foto masa kecil, doa-doa ibu yang aku hafal, dan juga catatan kecil tentang momen yang kami rindukan Ada satu kertas warna biru, aku tulis:
“Ibu, aku kangen saat ibu bilang, ‘tidur, nak’ sebelum lampu kamar dimatikan.”
Malam itu, kami menangis bareng. Lalu tertawa bareng. Kadang bingung: ini duka atau bahagia?
Syahdan, Jessica datang suatu sore. Masuk ke kamar, tatap-tatap dinding rindu kami. Dia diam lama. Lalu pelan-pelan berkata,
“Gue... juga pernah kangen emak. Tapi udah lama enggak berani ngakuin.”
Dan sejak itu, dinding rindu kami jadi milik bersama. Jessica pun akhirnya nulis satu kalimat:
“Bu, terima kasih pernah rela berdiri sejam demi beli kue ulang tahun gue waktu kecil.”
Sejak malam itu, aku mengerti. Bahwa semua orang menyimpan rindu. Tapi tak semua orang tahu cara mengucapkannya.
Bahwa luka paling dalam bukanlah kehilangan... tapi ketakutan untuk mengakui bahwa kita masih butuh pelukan.
Aku pun tidak lagi malu mengakui:
Aku kangen ibu. Setiap hari. Setiap waktu. Dan aku akan terus merindukannya. Sebab rindu itu bukan kelemahan. Tapi bukti bahwa aku punya seseorang yang mencintaiku tanpa syarat.
Dan kini, saat hujan datang...
Saat petir mengguncang jendela...
Aku tahu itu bukan amarah langit dan bukan amarah semesta…
Itu adalah isyarat... bahwa di balik awan, ada ibu yang sedang menyebut namaku dalam doanya.
Dan mungkin... ibu juga sedang merindukanku.
iiiiiiiibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu…!!!!!!!!!!
*) Penulis adalah anggota kelas jurnalistik Putri Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Aceh, Besar
Email : ratueskuadrat@gmail.com

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.