Pulau Sengketa Aceh Sumut
Akademisi Kritik Tajam Keputusan Mendagri Soal 4 Pulau Singkil: “Tidak Populer dan Gampangan!”
Ia menilai keputusan itu dibuat tanpa mempertimbangkan aspek historis, yuridis, dan konstitusional yang mengikat status Aceh...
Penulis: Jafaruddin | Editor: Eddy Fitriadi
Laporan Jafaruddin I Lhokseumawe
SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE – Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau di perairan Singkil sebagai bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menuai sorotan tajam dari berbagai pihak di Aceh.
Salah satu kritik datang dari konsultan hukum sekaligus akademisi UIN Sultanah Nahrasiyah, Dr Bukhari MH CM.
Dalam keterangannya melalui rilis yang diterima Serambinews.com, Rabu (4/6/2025), Dr Bukhari menyebut keputusan tersebut sebagai “tidak populer dan gampangan”.
Ia menilai keputusan itu dibuat tanpa mempertimbangkan aspek historis, yuridis, dan konstitusional yang mengikat status Aceh sebagai daerah otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“Ini keputusan yang tidak populer dan gampangan. Seolah-olah dibuat secara sepihak, tanpa mempelajari sejarah perbatasan, aspek yuridis, maupun prinsip otonomi daerah yang berlaku di Aceh,” tegas Dr Bukhari.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Ditjen Bina Adwil) Kemendagri menyatakan bahwa pihaknya telah melibatkan semua pemangku kepentingan sebelum keputusan tersebut ditetapkan.
Namun, menurut Dr Bukhari, masih terdapat banyak prosedur dan tahapan yang justru dilewati oleh Kemendagri, sehingga memicu polemik dan kegaduhan saat ini.
“Keterlibatan semua pihak itu harus dibuktikan secara substantif, bukan sekadar formalitas administratif.
Ada tahapan-tahapan penting yang dilewati, termasuk mekanisme penyelesaian batas wilayah melalui pendekatan historis dan otonomi kekhususan Aceh. Ketika itu tidak dijalankan, maka wajar publik Aceh marah,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dalam teori kewenangan, setiap keputusan pemerintahan harus mengacu pada prinsip legalitas dan due process of law.
Keputusan yang diambil secara tergesa dan tanpa konsultasi yang bermakna justru mencederai prinsip keadilan dan kepastian hukum.
“Kewenangan bukan soal siapa yang bisa memutuskan, tapi siapa yang berhak. Mendagri seharusnya menjadi perekat antardaerah, bukan pemicu kegaduhan,” ujarnya.
Dr. Bukhari juga menyoroti bahwa perairan Aceh memiliki status khusus yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan provinsi lain, sehingga penetapan batas wilayah laut harus mengacu pada UU Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah yang berlaku.
Sebagai penutup, ia berharap Mendagri segera mencabut keputusan tersebut dan mengajak semua pihak duduk bersama menyelesaikan persoalan ini secara adil dan bermartabat.
“Janganlah Mendagri bikin gaduh dengan keputusannya. Ini bukan soal teknis administrasi semata, tapi menyangkut harga diri dan kewenangan Aceh sebagai daerah istimewa,” pungkas Dr Bukhari.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.