Berita Aceh Besar

Mahasiswa Pascasarjana USK Kaji Dampak Eksploitasi Pasir Laut bagi Ekosistem dan Warga di Aceh Besar

Aktivitas ini tidak hanya mempercepat kerusakan lingkungan, tetapi juga mengguncang mata pencaharian nelayan tradisional yang bergantung pada laut seb

Penulis: Jafaruddin | Editor: Mursal Ismail
Kiriman M Romi
Kondisi pesisir kawasan Aceh Besar yang menjadi lokasi eksploitasi pasir laut, sehingga dikhawatirkan menjadi ancaman serius bagi ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat setempat. 

Aktivitas ini tidak hanya mempercepat kerusakan lingkungan, tetapi juga mengguncang mata pencaharian nelayan tradisional yang bergantung pada laut sebagai sumber hidup utama.

SERAMBINEWS.COM - Geliat pembangunan dan kebijakan eksploitasi sumber daya alam, masyarakat pesisir Aceh Besar kini dihadapkan pada ancaman yang semakin nyata. 

Pengerukan pasir laut yang masif dan tidak terkendali.

Aktivitas ini tidak hanya mempercepat kerusakan lingkungan, tetapi juga mengguncang mata pencaharian nelayan tradisional yang bergantung pada laut sebagai sumber hidup utama.

M. Romi, mahasiswa pascasarjana Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu (MPSPT) Universitas Syiah Kuala (USK), menyampaikan hal ini dalam siaran pers kepada Serambinews.com, Senin (9/6/2205). 

Ia menyoroti eksploitasi pasir laut telah mengubah wajah ekosistem pesisir secara drastis.

Erosi pantai, kerusakan terumbu karang, dan hilangnya habitat biota laut kini menjadi konsekuensi nyata yang dirasakan masyarakat di garis pantai Aceh Besar.

Baca juga: Seorang Pemuda Ditemukan Berlumuran Darah di Trotoar Jalan di Aceh Besar, Ini Identitasnya

“Perubahan morfologi dasar laut akibat pengerukan berdampak besar terhadap keseimbangan ekosistem.

Ini menyebabkan penurunan populasi ikan dan biota laut lain yang penting bagi kehidupan nelayan lokal,” ujar Romi.

Tak hanya itu, eksploitasi ini memicu gejolak sosial. Banyak penambangan dilakukan tanpa konsultasi publik yang memadai, sehingga menimbulkan konflik antara perusahaan tambang dan warga lokal.

Ketimpangan distribusi manfaat, serta dampak buruk yang ditanggung sepihak oleh masyarakat, memperparah ketegangan yang terjadi.

Situasi semakin kompleks dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023, yang kembali membuka keran ekspor pasir laut.

Meski diklaim sebagai upaya pengelolaan sedimentasi laut, kebijakan ini menuai kritik keras dari aktivis lingkungan dan pemerhati hak asasi manusia.

Baca juga: Soal Sengketa Pulau, Ketua DPRK Abdya Sarankan Mualem Duduk Bersama Eksekutif dan Legislatif Se-Aceh

Menurut laporan Environmental Reporting Collective (ERC), praktik ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga melanggar hak komunitas pesisir yang terdampak langsung.

“Alih-alih memperkuat ekonomi biru yang berkelanjutan, kebijakan ini justru bertolak belakang.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved