Pulau Sengketa Aceh Sumut

Terkait 4 Pulau Aceh Masuk ke Sumut, Prof Humam Nilai Pemprov Aceh Tak Perlu Gugat Mendagri ke PTUN

Menurutnya, langkah tersebut tidak perlu dilakukan karena justru bersifat naif secara politik dan reduktif secara sosiologis.

|
Penulis: Rianza Alfandi | Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Laporan Rianza Alfandi | Banda Aceh 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Humam Hamid, menilai langkah menggugat keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara bukanlah pendekatan yang tepat. 

Menurutnya, langkah tersebut tidak perlu dilakukan karena justru bersifat naif secara politik dan reduktif secara sosiologis.

“Menyarankan Pemerintah Aceh untuk membawa sengketa pengalihan empat pulau ke PTUN adalah pendekatan yang naif secara politik dan reduktif secara sosiologis,” kata Prof. Humam, kepada Serambinews.com, Rabu (11/6/2025). 

Ia menjelaskan, sikap tersebut naif karena menganggap Aceh dapat diperlakukan seperti provinsi biasa, padahal Tanah Rencong memiliki latar belakang sejarah konflik panjang serta perjanjian damai yang seharusnya dihormati dan dijaga oleh pemerintah pusat.

Kemudian, kata Prof Humam, hal ini juga reduktif secara sosiologis karena mereduksi konflik identitas, kewilayahan, dan harga diri masyarakat lokal menjadi sekadar persoalan administratif dan hukum formal. 

Baca juga: Biadab! Israel Kembali Bantai Puluhan Warga Gaza di Titik Bantuan di Tengah Kelaparan

“Padahal, bagi masyarakat Aceh, pulau-pulau itu bukan hanya titik di peta, melainkan simbol dari sejarah, hak, dan martabat,” ujarnya. 

Naif secara politik, lanjut Prof Humam, artinya pemerintah pusat mengabaikan realitas kekuasaan, sejarah konflik, dan sensitivitas identitas yang melekat pada wilayah seperti Aceh. 

Lebih lanjut, Prof Humam juga menilai apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini menjadikan masalah seolah-olah netral dan teknokratis, padahal sarat muatan politik dan simbolik.

“Menganggap jalur hukum cukup menyelesaikan konflik, padahal yang dibutuhkan adalah rekognisi politik dan dialog strategis,” jelasnya.

Selain itu, juga tidak membaca potensi efek domino dan konsekuensi politik dari tindakan administratif di daerah pascakonflik, terutama ketika menyangkut isu wilayah yang sensitif dan menyentuh harga diri kolektif.

Di sisi lain, juga melemahkan kredibilitas pemerintah pusat dalam menjaga komitmen terhadap otonomi khusus dan perjanjian damai, yang seharusnya dijaga dengan kehati-hatian ekstra.

“Lebih parahnya ini berisiko memperkuat narasi ketidakpercayaan masyarakat Aceh terhadap pusat, yang bisa dimobilisasi oleh aktor-aktor lokal menjadi bentuk resistensi politik atau simbolik,” pungkasnya. 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved