Pulau Sengketa Aceh Sumut

Penetapan 4 Pulau oleh Mendagri Cacat, Dosen Hukum Unimal: Dua Instrumen Hukum Diabaikan

Empat pulau yang dimaksud, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, selama ini secara historis...

Penulis: Jafaruddin | Editor: Eddy Fitriadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Muksalmina SHI MH. Penetapan 4 Pulau oleh Mendagri Cacat, Dosen Hukum Unimal: Dua Instrumen Hukum Diabaikan. 

Laporan Jafaruddin I Lhokseumawe

SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE – Keputusan Menteri Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau perbatasan sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara dinilai telah mengabaikan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan tanpa dasar partisipasi Pemerintah Aceh.

Hal ini disampaikan oleh Muksalmina SHI MH, dosen Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal), menyikapi Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.

“Dua instrumen hukum utama diabaikan, yaitu UUPA dan Qanun Aceh tentang tata batas. Ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi sudah menyentuh pelanggaran terhadap otonomi khusus yang diberikan secara konstitusional kepada Aceh,” ujar Muksalmina kepada Serambi, Selasa (3/6/2025).

Empat pulau yang dimaksud, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, selama ini secara historis dan administratif telah menjadi bagian dari wilayah Aceh, khususnya Kabupaten Aceh Singkil.

Namun, keputusan baru Kemendagri menyebutkan bahwa keempatnya masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Menurut Muksalmina, tindakan Pemerintah pusat ini mencederai semangat rekognisi dan desentralisasi yang menjadi fondasi dari lahirnya UUPA sebagai produk hukum nasional yang bersifat lex specialis bagi Aceh.

“Penetapan wilayah administratif seharusnya melibatkan Pemerintah Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UUPA. Ketika ini diabaikan, maka keputusan itu cacat hukum secara formil,” tegasnya.

Ia juga menyebut bahwa penetapan batas wilayah lintas provinsi tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan teknokratis semata, apalagi tanpa koordinasi dan konsultasi publik.

“Ini menyangkut hak rakyat Aceh atas wilayahnya. Menghapus itu lewat satu keputusan administratif adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip keadilan,” imbuhnya.

Menurutnya, Pasal 8 ayat (3) UUPA secara tegas mengatur bahwa setiap kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh harus dikonsultasikan dan mendapatkan pertimbangan dari Gubernur Aceh.

Lebih lanjut, Pasal 8 ayat (4) mengamanatkan bahwa tata cara konsultasi tersebut diatur dalam Peraturan Presiden.

“Untuk itu, pada tahun 2008 telah diterbitkan Perpres Nomor 75 Tahun 2008, yang secara eksplisit mengatur prosedur konsultasi atas kebijakan administratif antara Pemerintah Pusat dan Aceh. Dalam hal ini, Kemendagri telah mengabaikan dua instrumen hukum sekaligus,” jelas Muksalmina.

Tak hanya bertentangan dengan UUPA dan Perpres, Muksalmina menilai SK Mendagri tersebut cacat secara formil dan materil karena tidak melakukan koordinasi dengan Pemerintah Aceh dan melanggar aturan hukum yang berlaku dan historis, sebenarnya pemerintah tidak boleh melanggar asas legalitas dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Lebih lanjut, ia merujuk pada Pasal 42 ayat (2) UUPA, yang kembali menegaskan kewajiban konsultasi terhadap kebijakan administratif dari Pemerintah Pusat yang menyangkut langsung kepentingan Aceh.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved