Pulau Sengketa Aceh Sumut

Tajam! Bunda Salma Kritik Ketua DPRD Sumut: Aceh Wilayah Sensitif, jangan Asal Bingkai Soal 4 Pulau

“Ini bukan zaman Hindia Belanda. Negara ini dibangun dengan kesepakatan, bukan dengan pemaksaan administratif,” kritik Bunda Salma.

Penulis: Indra Wijaya | Editor: Saifullah
For Serambinews.com
KRITIK BUNDA SALMA - Foto kolase Anggota DPRA, Hj Salmawati atau Bunda Salma (kiri), dan Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti Sitorus (kanan). Bunda Salma mengkritik keras pernyataan Ketua DPRD Sumut terkait polemik 4 pulau Aceh yang dicaplok Sumut. 

Laporan Indra Wijaya | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Hj Salmawati menyebutkan, saat ini sengketa atas 4 pulau antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) telah memasuki fase yang mengganggu stabilitas hubungan antar daerah.

Anggota DPRA yang akrab disapa Bunda Salma ini menyayangkan pernyataan Ketua DPRD Sumut, Erni Afriyanti Siregar terkait sengketa 4 pulau Aceh yang dicaplok provinsi tetangga tersebut.

Bunda Salma mengatakan, penetapan Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Pulau Panjang, sebagai bagian dari Sumut melalui keputusan administratif Mendagri adalah tindakan sepihak yang tidak mengindahkan spirit rekonsiliasi antara Aceh dan pusat.

“Saya bicara bukan hanya sebagai anggota DPRA, tapi sebagai warga Aceh,” ujar istri Gubernur Aceh, Muzakir Manaf ini. 

“Ini bukan semata urusan teknis-administratif seperti yang coba dibingkai Ketua DPRD Sumut,” tandasnya. 

“Ini adalah soal keadilan konstitusional, soal bagaimana negara memperlakukan Aceh pasca perdamaian,” kata Bunda Salma, Sabtu (14/6/2025).

Ia mengingatkan publik bahwa wilayah Aceh diatur secara khusus oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai manifestasi dari MoU Helsinki yang mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun. 

Dalam konteks itu, tegas dia, tindakan Mendagri menerbitkan keputusan tanpa konsultasi resmi dengan DPRA dan Pemerintah Aceh bukan hanya keliru, tapi juga melanggar prinsip perdamaian yang dijamin negara.

“Kalau pemerintah pusat bisa seenaknya menyeret wilayah Aceh tanpa dialog, tanpa musyawarah, lalu di mana lagi ruang kami sebagai daerah bersatus khusus?” tukas Bunda Salma

“Ini bukan sekadar penghapusan empat pulau, ini pengingkaran terhadap kehormatan Aceh sebagai pihak dalam kesepakatan damai,” ujarnya.

Soal sikap Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti Sitorus yang mendesak semua pihak patuh pada keputusan Mendagri, Bunda Salma menyebut hal itu sebagai sikap hegemonik yang tak mencerminkan etika kebangsaan antar daerah.

“Saya mohon DPRD Sumut tidak bertindak seperti penjajah yang berlindung di balik kertas pusat,” tandasnya. 

“Jangan seolah-olah karena Mendagri sudah memutuskan, maka itu jadi kebenaran mutlak,” urai dia. 

“Ini bukan zaman Hindia Belanda. Negara ini dibangun dengan kesepakatan, bukan dengan pemaksaan administratif,” kritik Bunda Salma.

Bunda Salma juga menilai bahwa  tawaran ‘Kelola Bersama’ Bobby dinilai problematis. 

Menurutnya, pendekatan tersebut menyesatkan karena menggunakan bahasa kompromi di atas pelanggaran.

“Apa artinya ‘kelola bersama’ kalau wilayahnya sendiri diambil tanpa diskusi? Itu seperti mencuri sawah orang lalu mengajak bertani bersama. Bukan kompromi, itu pelecehan terhadap logika keadilan,” tegasnya.

Bunda Salma mengakui bahwa jalur PTUN adalah mekanisme legal yang harus ditempuh.

Namun, ia menegaskan, bahwa proses hukum saja tidak cukup. 

Negara harus mengoreksi prosedur internalnya, mulai dari peta dasar, kajian ilmiah, hingga mekanisme pengambilan keputusan. 

Apalagi menyangkut Aceh sebagai bagian wilayah yang paling sensitif.

“Jangan berlindung di balik frasa ‘kajian ilmiah’. Jika memang ada dasar ilmiah, publikasikan," tandasnya.

"Undang tim ahli netral, buka diskusi publik, biarkan rakyat Aceh melihat apakah ini keputusan objektif atau keputusan politis yang dibungkus birokrasi,” usulnya.

Menariknya, Bunda Salma menyampaikan kritik dengan narasi yang sangat rasional, jauh dari romantisme separatis atau provokasi emosional. 

Ia menyebut bahwa sikap Aceh tetap dalam kerangka hukum Indonesia, tapi menuntut negara untuk mematuhi konstitusi dan etika keadilan.

“Aceh bukan provinsi manja, tapi juga bukan provinsi yang bisa dikebiri haknya,” papar dia. 

“Kalau pusat ingin damai ini langgeng, maka perlakukan Aceh sebagai partner dalam rekonsiliasi, bukan sebagai objek peta-peta yang digeser sesuka hati,” katanya.

Ia juga mengingatkan, bahwa konflik Aceh bermula dari ketidakadilan dan pemaksaan dari pusat. 

Jika luka lama itu dihidupkan kembali lewat keputusan teknokratik yang tak transparan, maka konsekuensi sosial-politiknya harus ditanggung bersama.

“Kami rakyat Aceh tidak sedang mencari musuh. Tapi jangan anggap kesabaran kami rakyat Aceh sebagai kelemahan,” tegas dia. 

“Negara harus segera memperbaiki proses ini. Jangan ulangi dosa historis terhadap Aceh dalam bentuk baru, bukan Aceh yang terlalu sensitif. Tapi negara yang terlalu cepat lupa," pungkas Bunda Salma.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved