Pulau Sengketa Aceh Sumut

Laskar Teuku Umar Desak Prabowo Cabut Putusan Mendagri terkait 4 Pulau Milik Aceh Pindah ke Sumut

“Aceh sudah cukup terluka di masa lalu. Kini, hak kami kembali dicopot tanpa proses yang transparan. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Edi Wanda.

Penulis: Sadul Bahri | Editor: Saifullah
Serambi Indonesia
POLEMIK PENCAPLOKAN PULAU - Ketua Laskar Teuku Umar, Edi Wanda (baju hitam), dan Pang Jauhari turut bersuara lantang terkait polemik pencaplokan 4 pulau Aceh masuk ke wilayah administrasi Sumut. Laskar Teuku Umar meminta Presiden Prabowo mencabut SK Mendagri yang kontroversial tersebut. 

Laporan Sa’dul Bahri | Aceh Barat

SERAMBINEWS.COM, MEULABOH - Ketegangan baru muncul di perbatasan wilayah Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). 

Empat pulau yang selama ini dikenal sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, kini tercatat sebagai wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara (Sumut) berdasarkan keputusan Mendagri. 

Langkah ini langsung memicu protes keras dari berbagai elemen masyarakat Aceh, termasuk Laskar Teuku Umar Wilayah Barat Selatan Aceh.

Keempat pulau yang kini menjadi sengketa adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. 

Pengalihan status administratif tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.

Ketua Laskar Teuku Umar wilayah Barat Selatan Aceh, Edi Wanda, didampingi mantan Panglima GAM Wilayah Meulaboh, Pang Jauhari, kepada Serambinews.com, Senin (16/6/2025), mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera menenggelamkan atau membatalkan keputusan Mendagri yang dianggap sepihak dan melukai rasa keadilan masyarakat Aceh guna meredam kekecewaan warga Aceh.

“Aceh sudah cukup terluka di masa lalu. Kini, hak kami kembali dicopot tanpa proses yang transparan. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Edi Wanda.

Menurutnya, keputusan tersebut tidak hanya mengabaikan fakta sejarah dan kedekatan geografis keempat pulau dengan masyarakat Aceh, namun juga mengancam keharmonisan sosial yang selama ini dijaga. 

Ia menyebut pengalihan itu berisiko besar memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.

Laskar Teuku Umar Wilayah Barat Selatan Aceh menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penerbitan SK Menteri Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau milik Aceh Singkil sebagai wilayah administratif Sumatera Utara.

Menurut Ketua Laskar Teuku Umar, keputusan tersebut dinilai mengintervensi undang-undang, khususnya UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang batas wilayah Aceh dan UUPA Nomor 11 Tahun 2006 tentang Kekhususan dan Kewenangan Pemerintah Aceh.

“Langkah ini jelas mengangkangi undang-undang demi memuluskan perpindahan wilayah,” tegasnya.

Ia juga menegaskan adanya bukti fisik dan yuridis kuat yang menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut adalah milik Aceh.

Termasuk monumen lama, tanaman yang telah tumbuh sejak dulu, surat kepemilikan dari BPN Aceh, serta peta TNI AD tahun 1978 yang menegaskan batas wilayah Aceh Singkil hingga ujung Simanuk-manuk di pesisir pantai Singkil.

Sementara itu, Pang Jauhari yang juga penasihat Laskar Teuku Umar menambahkan, bahwa pulau-pulau tersebut bukan sekadar titik koordinat di peta, tetapi bagian dari identitas budaya dan sejarah masyarakat Aceh Singkil dan Aceh pada umumnya.

“Ini bukan hanya soal batas wilayah, ini soal jati diri dan kedaulatan. Jangan ciptakan ketegangan baru dengan mencabut apa yang menjadi hak rakyat Aceh,” kata Pang Jauhari.

Pulau-pulau yang disengketakan ini, menurut mereka, memiliki nilai strategis tinggi, baik secara ekonomi, budaya, maupun keamanan. 

Bagi nelayan Aceh Singkil, pulau-pulau tersebut menjadi tempat berlindung saat cuaca buruk. 

Selain itu, potensi wisata bahari yang dimiliki juga dinilai sangat menjanjikan untuk mendorong ekonomi lokal.

Untuk itu, Laskar Teuku Umar menyatakan akan menempuh berbagai jalur perjuangan, baik melalui diplomasi, hukum, hingga mobilisasi massa, demi memastikan keempat pulau tersebut kembali menjadi bagian dari Provinsi Aceh.

“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh, termasuk Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, untuk bersatu dan mendukung upaya mengambil kembali hak kita yang sah,” ujar Edi Wanda.

Situasi ini menandai babak baru dalam dinamika batas wilayah antar provinsi di Indonesia, yang bukan hanya menyangkut garis di peta, tetapi juga soal identitas, hak masyarakat lokal, dan rasa keadilan yang belum tuntas.(*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved