4 Pulau Dikembalikan ke Aceh
Ternyata Pengembalian 4 Pulau tak Cukup MoU Aceh–Sumut, Pakar Hukum: SK Mendagri Harus Dibatalkan
“Selama SK itu masih berlaku, maka secara hukum positif, empat pulau itu tetap berada dalam administrasi Sumatera Utara. MoU saja tak cukup,” ujarnya
Penulis: Jafaruddin | Editor: Saifullah
Laporan Jafaruddin I Lhokseumawe
SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Penandatanganan kesepakatan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) terkait status empat pulau di wilayah perbatasan dinilai belum cukup kuat untuk memulihkan secara sah kedaulatan administratif Aceh atas pulau-pulau tersebut.
Penandatanganan MoU dilakukan di Wisma Negara, Jakarta Pusat pada Selasa (17/6/2025), oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution.
Kesepakatan ini turut disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian dan Menteri Sekretaris Negara (Mensekneg), Prasetyo Hadi.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Malikussaleh (Unimal), Muksalmina, SHI, MH, menegaskan, bahwa pengembalian empat pulau itu harus disertai dengan pembatalan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1.1-6117 Tahun 2022 yang selama ini menjadi dasar pengalihan ke Sumut.
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Secara historis dan yuridis, berdasarkan Kepmendagri Nomor 111 Tahun 1992, keempatnya berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Namun, SK Mendagri terbaru tahun 2022, memicu polemik karena menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
“MoU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dalam konteks hukum administrasi Negara,” urainya.
“Karena MoU ini bersifat gentlemen agreement yang lebih merupakan komitmen moral-politik antara dua kepala daerah,” ujar Musalmina dalam siaran pers yang diterima Serambinews.com, Jumat (20/6/2025).
Dokumen ini, ulas Muksalmina, tidak dapat membatalkan atau mengungguli SK Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Ia menjelaskan, dalam sistem hukum Indonesia, SK Menteri tergolong sebagai keputusan administrasi negara (beschikking) yang bersifat konkret, individual, dan final.
SK tersebut memiliki daya ikat hukum sampai dicabut atau dibatalkan sesuai prosedur yang sah.
“Selama SK itu masih berlaku, maka secara hukum positif, empat pulau itu tetap berada dalam administrasi Sumatera Utara. MoU saja tidak cukup,” tegas Muksalmina.
Ia juga menegaskan bahwa penyelesaian batas wilayah tidak bisa hanya bergantung pada kesepakatan antardaerah.
Melainkan harus dituangkan dalam Peraturan Menteri, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 401 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa penegasan batas untuk daerah yang terbentuk sebelum berlakunya UU tersebut harus dilakukan melalui Peraturan Menteri, berdasarkan data teknis dari lembaga informasi geospasial.
“Artinya, jika pemerintah pusat memang mengakui wilayah Aceh atas empat pulau itu, maka seharusnya dituangkan secara formal melalui Permendagri, bukan sekadar MoU,” jelasnya.
Menurut Muksalmina, Mendagri telah memulai langkah administratif melalui penandatanganan MoU.
Namun harus segera ditindaklanjuti dengan mencabut SK sebelumnya dan menetapkan regulasi baru.
“Kita boleh merasa menang secara politis, tetapi belum menang secara hukum,” papar Pakar Hukum Tata Negara Unimal ini.
“Perjuangan Aceh masih panjang. Bahkan dalam revisi UUPA yang kini dibahas di DPR, batas wilayah Aceh harus disebut secara spesifik dengan titik koordinat agar tidak multitafsir di masa depan,” tambahnya.
Muksalmina pun mengajak seluruh elemen, mulai dari Pemerintah Aceh, legislatif, akademisi, hingga masyarakat sipil, untuk bersama-sama mengawal persoalan ini agar tidak kembali merugikan Aceh secara yuridis.
“Tanpa pembatalan SK dan penetapan melalui Permendagri yang baru, posisi Aceh atas empat pulau ini akan tetap lemah secara hukum,” tukas Muksalmina.
“Kita tidak ingin masalah ini kembali muncul di kemudian hari,” pungkasnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.